• 28 •

8 4 0
                                    

Mengabaikan Diana yang sibuk tertawa karena sinetron kesukaannya, Malvin justru memainkan ponsel dengan senyum tipis yang terlihat di bibirnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mengabaikan Diana yang sibuk tertawa karena sinetron kesukaannya, Malvin justru memainkan ponsel dengan senyum tipis yang terlihat di bibirnya. Ia kira, Maudy adalah tipe gadis yang menolak kehadiran cowok lain dengan alasan menjaga perasaan pacarnya.

Namun ternyata, gadis itu bersikap sangat terbuka padanya. Alih-alih mengabaikannya, Maudy justru bercerita panjang lebar tentang Shafa. Mulai dari kisah masa kecilnya, hingga kedekatan Shafa dengan Bapak. Tak penting, tapi Malvin menyukainya.

Seolah ia ingin tau tentang Shafa lebih banyak lagi. Entahlah, rasanya ... Malvin merindukan gadis itu.

| Ibu bilang di Semarang ada kawan SMA-nya yang sekarang jadi ahli gizi

| Jadi kakak mulai ngejalanin diet lagi, tapi dengan cara yang lebih sehat!

Senyum di bibir Malvin luntur begitu saja. Bagaimana bisa ia lupa bahwa alasan Shafa pindah salah satunya adalah karena kasus perundungan gadis itu?

Tapi ketika ia tau bahwa Shafa menjalani diet yang lebih sehat dan melalui pengawasan, ia bisa sedikit merasa lega.

Malvin menghela napasnya pelan, kemudian mengetikkan sebuah balasan singkat pada Maudy. Ketika ponselnya ia matikan, Diana melirik dengan penasaran.

"Udahan bales chat pacarnya?" goda Diana seraya mencolek dagu Malvin dan terkikik geli.

Malvin langsung menjauh dan mengusap dagunya. "Apaan, sih, Ma?!" ucapnya dengan nada kesal.

Diana malah tertawa. Meski tak bisa memiliki anak, setidaknya Diana bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang Ibu dari anak yang sedang dalam masa pubertas. Belakangan ini, ia jadi sering menggoda Malvin hingga anak tirinya itu mencak-mencak karena kesal.

Suara pintu yang tertutup membuat keduanya menoleh serentak. Papa berjalan ke arah keduanya dengan tatapan datar andalannya. Matanya fokus menatap ponsel. "Kenapa kamu masih di sini?" tanya Papa seraya melirik Malvin sesaat.

"Emang aku harus kemana?" Malvin menatap Papanya tak mengerti. Pertanyaan macam apa itu? pikirnya.

"Ke kamar sana! Ulang lagi apa yang kamu pelajari tadi di sekolah, atau baca buku pembahasan soal. Ingat, lomba kamu tinggal dua hari lagi, Malvin. Jangan berpikir buat main-main. Sampai Papa tau kalau kamu punya pacar, fasilitas kamu Papa ambil."

Ancaman sang Papa membuat Malvin mendengkus kesal. Remaja itu memutar bola matanya malas sebelum beranjak dari duduknya. Diana hanya melirik tanpa mau ikut campur. Masalahnya, apa yang suaminya katakan ada benarnya. Lebih baik Malvin mengulang pelajaran dari pada menemaninya menonton sinetron di sini.

Menutup pintu kamarnya, Malvin menghela napas. "Gue aja gak yakin bakalan menang tanpa lo, Shafa," gumamnya.

. . .

Ghalih melambaikan tangannya dengan sangat heboh. Remaja itu sudah masuk ke dalam bis, sementara Malvin baru saja turun dari mobil sang Papa setelah diberikan hujan kecupan oleh Diana.

PancaronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang