[ Selesai ]
"Lo itu cantik, dengan warna lo sendiri. Standar dunia itu tinggi, Shafa. Lo gak harus terlihat seperti mereka."
Shafa, gadis yang terobsesi mengubah penampilannya agar mencapai standar gadis ideal, bertemu dengan teman satu klub olimpia...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bibir sang remaja tersenyum lebar ketika melihat hasil jepretannya saat jam pulang sekolah tadi. Seperti biasa, gadis yang menjadi objeknya selama beberapa minggu itu pasti ada jadwal ekskul tari pada Kamis siang.
Namun senyum Malvin tak bertahan lama saat pintu kamarnya di buka secara tiba-tiba oleh sang Papa. Di balik kacamata kotaknya, mata Papa nampak melotot penuh emosi ketika melihatnya.
Refleks, Malvin menyembunyikan kamera miliknya di belakang tubuh, berharap Papa tak melihat benda yang tengah ia pegang dengan erat itu.
"Ternyata kamu pikir Papa main-main, ya?" Pria itu berkacak pinggang, menatap tajam manik sang putra yang tingginya hanya sebatas bahunya.
"Aku gak pernah nganggap Papa main-main. Aku juga gak bolos, kok. Aku belajar ke ruang klub, tapi gak ada kawanku yang tau. Makanya mereka kira aku bolos," ujar Malvin dengan jantung yang berdebar.
Demi apapun, ia sangat takut ketika berhadapan dengan Papanya seperti ini. Walaupun begitu, ia tak sepenuhnya berbohong. Toh, ia memang sempat pergi ke ruang klub olimp meski bukan untuk belajar.
Papa berdecak keras, lalu menghembuskan napasnya. "Papa udah bicara sama pembina kamu buat mengeluarkan kamu dari klub fotografi gak jelas itu!"
"Papa apa-apaan, sih?!" Dada Malvin kembang kempis karena emosi. Remaja itu benar-benar tak suka dengan sikap Papa yang suka seenaknya.
"Aku udah masuk klub olimpiade sesuai apa yang Papa mau, tapi aku mohon jangan larang apa yang aku sukai. Emangnya sesusah itu?"
Tanpa menjawab pertanyaan Malvin, Papa membalikkan badannya begitu saja. Tangannya memegang kenop pintu, kemudian sedikit menoleh hanya untuk berucap, "Katanya mau ngasih ucapan terimakasih buat saya, apa ini balasan kamu atas apa yang telah saya kasih selama ini?"
Tubuh Malvin mendadak beku. Jauh dalam lubuk hatinya, Malvin merasa terluka. Apa pantas seorang Papa berkata seperti itu pada putranya? Malvin rasa tidak. Karena kehadirannya di dunia ini pun, bukan karena keinginannya. Mereka yang menghadirkannya ke dunia, dan mereka pula yang sepantasnya bertanggung jawab.
Ketika pintu ditutup dengan keras, tubuh Malvin meluruh begitu saja di atas lantai yang dingin. Remaja itu menatap kameranya sebentar, ada banyak foto gadis yang ia sukai berada di dalam sana.
Kamera pertamanya sudah hancur berkeping-keping karena ulah sang Papa. Apa kali ini pun ia harus membiarkan kamera miliknya berakhir seperti yang sudah-sudah? Malvin ingin mempertahankan apa yang ia inginkan, tapi situasi yang ada membuat remaja itu terpaksa mengubur apa yang ia sukai demi sang Papa.
"Gak Papa, lah! Kan, gue masih bisa liat dia di sekolah," bisik Malvin pada dirinya sendiri. Senyum tipisnya terbit, menutupi luka yang selama ini ia sembunyikan seorang diri.
. . .
"Shafa!" teriakan penuh semangat itu membuat sang gadis membalikkan tubuhnya. Matanya menyipit kala sosok yang memanggilnya justru tak ia temui. Hingga saat satu tangan melambai tinggi padanya, gadis itu lantas memberikan senyuman lebarnya.