Cuaca cerah pagi ini nyatanya tak membuat suasana hati Shafa ikut cerah. Semalaman ia tak bisa tidur karena terus teringat kata-kata menyakitkan dari Virda. Karena itu, selama berjalan menuju ruang kelasnya gadis itu tampak sempoyongan dan tak bertenaga.
Shafa harap, saat sampai di kelas nanti ia masih bisa tidur sebentar, setidaknya sampai bel masuk berbunyi.
Namun, niatnya itu harus ia urungkan ketika Nada dengan tiba-tiba memegang erat tangannya dan menyeretnya keluar kelas. "Nad, sakit!" Shafa meringis, melihat pergelangan tangannya yang kini memerah.
"Lo kenapa, sih?" tanyanya tak terima.
Nada melipat tangannya di depan dada dengan dagu terangkat. Bibirnya tersenyum remeh menatap Shafa yang jelas-jelas lebih pendek darinya. "Lo lupa sama peringatan gue ya?" tanya gadis itu dengan tenang, berbanding terbalik dengan perasaannya yang seolah ingin menerkam Shafa saat ini juga.
Kening Shafa mengernyit tak mengerti. "Peringatan apa?"
"Jangan coba-coba deketin Malvin! Dia itu target gue! Atau, sebenarnya lo udah tau kalau dia anak ketua yayasan dan jadi caper ke dia?" Sesaat kemudian, Nada tertawa sendiri karena ucapannya. "Sadar diri, Fa. Lo gak malu di omongin sama tiga angkatan karena deket sama Malvin?"
Mata Shafa terbelalak kaget. Demi apapun, Shafa tak tahu menahu kalau dirinya sampai menjadi bahan omongan di sekolahnya.
"Maksud lo?"
Nada mengibaskan rambut panjangnya. "Waktu Malvin jemput lo buat pergi ke ruang klub kemaren, lo langsung jadi bahan omongan tiga angkatan. Makanya, jangan cuma diem di kelas atau di ruang klub doang!"
Teringat satu hal, jari lentik Nada berbunyi. Gadis itu tersenyum penuh arti ketika Shafa masih menatapnya dengan sorot penasaran. "Lo belum liat mading kelas, kan? Ada yang ngasih hadiah buat lo, tapi gak tau siapa pelakunya."
Perasaan Shafa berubah menjadi tak enak. Tubuh besarnya langsung berlari menuju kelasnya. Begitu dirinya terlihat di depan pintu, pandangan mereka semua langsung tertuju padanya. Shafa meneguk ludahnya dengan perasaan yang berkecamuk. Ia kira ia bisa menjalani masa SMA-nya tanpa masalah seperti yang sudah-sudah. Tapi nyatanya semua tak berjalan mulus seperti apa yang ia inginkan meski ia tak buat masalah.
"Ini badutnya?" tanya seorang cewek berbuat pendek, kemudian disusul tawa oleh yang lain. Shafa menunduk takut, namun karena penasaran ia jadi berjalan masuk ke dalam kelasnya.
Matanya memanas ketika melihat foto dirinya yang tengah menangis dan berlari meninggalkan gedung pesta ulang tahun Virda semalam. "Siapa ...," ucapnya pelan, kemudian mencopot semua foto-foto itu dengan napas yang memburu. "Siapa yang nempel foto ini, hah?!" teriaknya tak terima.
Namun bukannya menjawab atau sekedar merespon, mereka malah tertawa melihat dirinya. "Mirip badut, njir!!" seru salah satu dari mereka, lalu tertawa.
Shafa menyeka air matanya, dadanya terasa sesak tiap kali menerima tatapan penuh ejekan dari mereka.
Dengan gerakan cepat, gadis itu berlari keluar kelas. Lagi-lagi, perasaan ingin menghilang dari bumi kembali Shafa rasakan.
Nada tersenyum sinis menatap Shafa yang tengah berlari menyusuri koridor kelas untuk menjauh dari semua orang. Tangannya merogoh saku kemudian, lalu mengirimkan foto dan mengetikkan sebuah kalimat pada Shafa.
| Send a picture
| Lo pikir lo cantik sampe ganjen banget ke Malvin? Sadar diri! Lo dandan kayak gini, pun, yang ada jatuhnya lo jadi kayak badut, tau?
Sebuah pesan dari nomor yang ia beli untuk sekali pakai. Nada tak akan mengelak, bahwa selama ini pun, ia sangat tak suka pada Shafa. Kebaikannya hanya topeng untuk mendapatkan apa yang ia mau ketika berada di dekat gadis itu.
. . .
Suara gebrakan di pintu membuat Malvin yang tadinya baru saja memejamkan mata lantas terperanjat kaget. Matanya menyipit ketika melihat seorang gadis dengan tubuh gempal memasuki ruang fotografi yang gelap.
Isak tangis yang terdengar membuat remaja itu menghela napasnya pelan. Setidaknya, ia harus diam sampai gadis itu menyelesaikan tangisnya, begitu pikirnya. Namun ketika ia melihat orang itu adalah Shafa, ia jadi berdiri dengan refleks dan menghampiri gadis itu.
"Shafa?" panggilnya pada sang gadis. Shafa yang tengah menutup mulutnya agar tangisnya tak mengeluarkan sebuah isakan lantas mendongak. Ia pikir ruang fotografi kosong, Shafa jadi merasa malu.
"Lo kenapa?" tanya Malvin sembari mengambil posisi jongkok di depan gadis itu. Shafa menggeleng pelan, kemudian mengelap air matanya.
"Heran, kenapa tiap kali gue nangis selalu ada lo, sih? Gue malu, tau?" Shafa mencoba bersikap biasa meski nada suaranya bergetar.
Malvin hanya terdiam. Ia hanya menatap Shafa tanpa membalas kata-kata gadis itu. Tadinya, ia ingin tidur karena semalaman begadang mengejar ketertinggalannya di pelajaran umum. Karena itu, untuk hari ini saja Malvin ingin melanggar perintah sang Papa dan kembali bolos. Namun, ia sama sekali tak menyangka bahwa ia akan bertemu Shafa lagi selain di jam bimbingan siang nanti. Apalagi Shafa dalam keadaan kacau yang tak jauh beda dengan tadi malam.
"Gue gak akan maksa," ucap Malvin seraya mengubah posisi duduknya di samping Shafa. Punggungnya ia sandarkan pada tembok dengan kedua kaki yang tertekuk.
"Maksa apa?" tanya Shafa tak mengerti.
"Maksa lo buat cerita kayak tadi malem."
Shafa terdiam, kemudian hembusan napas kasar terdengar dari bibirnya. "Lo pergi bisa? Gue pengen sendiri sebentar aja," ujar gadis itu dengan suara lirih.
"Mana bisa! Gue yang di sini duluan, tau? Gue, tuh, tadinya mau tidur. Tiba-tiba ada cewek dateng terus nangis, mau gue cuekin ternyata ceweknya lo!"
"Yaudah sekarang lo bisa tidur dan bersikap seolah lo gak liat gue nangis, kan?"
Malvin menggeleng cepat, terlihat lucu di mata Shafa hingga gadis itu tertawa gemas. "Karena lo udah di sini, sekalian aja bolos bareng gue." Mata Shafa langsung membola mendengar penuturan enteng sang remaja.
"Mana bisa?! Seumur-umur gue gak pernah bolos tau!"
"Ya makanya gue ngajak lo bolos. Setidaknya lo harus punya kenangan di masa SMA lo ini, Fa. Jangan belajar terus, deh."
Shafa mendengkus. "Gak heran kenapa gue sering liat lo di panggil ke ruang guru. Lo aja tukang bolos gini! Cuman bedanya ... Waktu itu gue gak kenal lo dan gak tau nama lo."
Dia jadi lupa sama apa yang bikin dia nangis? monolog Malvin. rasanya ia ingin tertawa karena Shafa melupakan masalahnya secepat itu. Atau mungkin gadis ini sedang mengalihkan perhatiannya?
Malvin melipat tangannya di depan dada. "Ternyata kita belum saling kenal ya, Fa? Bahkan sekarang." Kening Shafa mengernyit tak mengerti. "Gue pernah bilang buat cerita apapun ke gue, kan? Kali ini kalo gue yang cerita boleh? Biar lo kenal gue, lebih dari apa yang orang lain tau."
Kini, satu alis Shafa terangkat dengan sorot penuh tanda tanya. "Jadi temen cerita gue, mau?" tanya Malvin dengan senyuman lebarnya. Kening Shafa yang mengernyit ini melonggar. Membalas senyum sang remaja, pada akhirnya Shafa mengangguk setuju.
___
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancarona
Teen Fiction[ Selesai ] "Lo itu cantik, dengan warna lo sendiri. Standar dunia itu tinggi, Shafa. Lo gak harus terlihat seperti mereka." Shafa, gadis yang terobsesi mengubah penampilannya agar mencapai standar gadis ideal, bertemu dengan teman satu klub olimpia...