• 11 •

10 4 0
                                        

Shafa mendengkus keras ketika melihat Nada yang melirik ke arahnya secara terang-terangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Shafa mendengkus keras ketika melihat Nada yang melirik ke arahnya secara terang-terangan. Meski sudah di beri tatapan tak suka, Nada seolah masa bodoh dan terus melirik ke arahnya, membuat Shafa merasa risih karena tingkahnya itu.

Mungkin karena ia pindah tempat duduk tanpa mengucapkan apapun, Nada jadi merasa kehilangan dirinya yang selama ini ia andalkan. Ah, Shafa jadi merasa kasihan.

Tapi Shafa gak bisa berbohong, kalau ia merasa lebih nyaman duduk sendirian di bandingkan harus duduk bersama Nada. Heran, kenapa hal ini gak ia lakukan sejak dulu?

"Yah, gak ada lagi, deh, yang bisa lo contekin." Amelia memberikan senyum menyebalkan, membuat Nada berdecak ketika melihatnya.

"Gue juga bisa tanpa dia," jawab Nada cepat. Gadis itu segera membuka buku paketnya dan membacanya sebentar, namun akhirnya kembali ia tutup. Percuma, otak bekunya gak akan bisa menyerap kata-kata yang ia baca.

Amelia tertawa melihat tingkah temannya. Selama ini Nada terlalu bergantung pada Shafa, membuat gadis itu selalu menganggap enteng segala hal. "Kali ini lo harus berusaha sendiri. Tuh, anak mulai belagu sekarang, sih," ucap Amelia seraya menunjuk Shafa dengan dagunya.

Mendengar itu, Nada mengangguk setuju. Ia juga merasakan hal yang aneh dari Shafa. Selama setahun menjadi teman sebangku gadis itu, tentunya Nada kenal betul bagaimana sifat pemalu Shafa yang mendarah daging. Namun kali ini, seolah ada yang memberontak dalam diri gadis itu, Shafa seperti orang lain yang baru saja ia kenal

Getaran di ponselnya membuat sang gadis segera merogoh saku. Nama 'Gerry' yang tertera di notifikasi membuat satu alis Nada terangkat bingung. Namun, ketika membaca pesan dari sang remaja, bibir Nada seketika bungkam.

Apa yang Shafa katakan tadi pagi bukan hanya bualan gadis itu untuk menakut-nakuti dirinya. Nada kembali melirik ke arah Shafa, gadis di seberang sana juga melakukan hal yang serupa. Namun, Shafa memutuskan kontak mata diantara keduanya dengan cepat.

Nada mengigit bibir bawahnya dengan keras. "Mati gue," lirihnya yang membuat Amelia menatap heran ke arahnya.

. . .

Bel tanda istirahat berbunyi, namun Shafa sama sekali tak bisa menyantap makanan kantin karena seseorang menghampirinya tadi. Katanya, Bu Rara memanggil.

Ini masih awal tahun ajaran baru, wajar saja Shafa merasa sedikit bingung. Karena biasanya, Bu Rara memanggil kalau dirinya akan di pilih menjadi perwakilan sekolah dalam olimpiade cabang geografi.

"Permisi," ucapnya santun dengan ketukan di pintu. Bu Rara menoleh, hal yang sama juga di lakukan oleh Malvin.

"Silakan masuk, nak." Bu Rara menggeser posisi duduknya, memberikan Shafa ruang untuk berdiskusi bersama.

Mengambil napas sejenak, sang guru mengeluarkan ponselnya yang menampilkan ruang chat bersama beberapa pembina olimpiade yang lain. "Begini saja, Ibu akan langsung bicara ke intinya, ya?"

Malvin mengangguk dengan kaku. Demi apapun, ia merasa amat gugup saat ini. "Sebentar lagi akan ada olimpiade, setiap cabang di harapkan mengirimkan dua perwakilan. Nah, Ibu—"

"Maaf, Bu." Shafa mengangkat tangannya. Bu Rara menatapnya heran karena memotong ucapannya begitu saja.

"Kenapa Shafa?"

"Bukannya sekarang masih tahun ajaran baru? Kenapa tiba-tiba ada lomba olimpiade?" Demi apapun, binar polos pada netra sang gadis membuat Shafa terlihat begitu lugu seperti anak kecil.

Bu Rara tersenyum lembut. "Gak tiba-tiba, nak. Memang sebelumnya sudah sempat di bicarakan, katanya beberapa lomba di tahun ini akan di majukan. Hanya saja, saya belum sempat menyampaikan ke kalian.

"Jadi, rencananya saya akan mengirimkan kamu dan Malvin di lomba kali ini. Bagaimana Malvin? Kamu siap? Ini lomba perdana kamu, lho."

Badan Malvin seketika menjadi tegap. Kelopak matanya berkedip beberapa kali seolah tengah menyadarkan dirinya dari lamunan singkat. "I-ibu beneran milih saya? Tapi saya baru gabung beberapa hari, lho."

"Ibu gak liat seberapa lama kamu bergabung, yang Ibu lihat justru potensi kamu." Bu Rara mengutak-atik ponselnya sejenak, kemudian memperlihatkan layar ponselnya pada kedua anak didiknya itu.

"Link pendaftarannya sudah Ibu kirimkan, ya? Silakan di isi terus kirim ke Ibu lagi sebagai bukti." Keduanya mengangguk kompak.

Sepeninggalan Bu Rara, Malvin langsung menatap tangannya yang kini bergetar. Shafa yang melihat tingkah remaja itu seketika langsung tertawa. "Apasih? Kayaknya lo seneng banget ya di tunjuk buat jadi perwakilan?" ujar Shafa di sela tawanya.

Gadis itu bangkit dari duduk, kemudian berjalan menuju rak berisi lembar soal latihan yang biasa ia gunakan untuk mengasah kemampuannya.

Malvin tersenyum lebar di tempatnya. "Iyalah! Ini kesempatan gue buat nunjukin ke Papa kalo dia gak sia-sia ngerawat gue dari kecil."

Membalikkan tubuhnya dengan beberapa lembar kertas di tangannya, Shafa mengernyit. "Mana ada orang tua yang ngerasa sia-sia karena ngerawat kita dari kecil, Vin. Ada-ada aja lo 'ah." Shafa geleng-geleng kepala di akhir kalimatnya.

Ucapan itu membuat Malvin terdiam dengan senyum yang perlahan luntur. Ada, Fa. Papa gue contohnya, batin remaja itu dalam hati. Namun, ketika mengingat wajah Papa yang pastinya akan merasa bangga dengan berita ini, Malvin kembali tersenyum lebar. Hal sederhana itu yang membuatnya kembali bersemangat.

"Sini, gue juga mau latihan. Mana tau ntar ada soal yang sama, kan?"

Shafa mengangguk, lantas memberikan lembar soal lain pada Malvin. Beberapa anggota olimpiade cabang lain mulai berdatangan. Agaknya, mereka sudah mendapat informasi mengenai lomba yang akan dilaksanakan dalam beberapa minggu ke depan.

Sebenarnya Shafa sedikit khawatir soal Malvin. Melihat ekspresinya saja, Shafa sudah bisa tau kalau Malvin menaruh harapan yang tinggi di lomba pertamanya ini. Shafa hanya takut, kalau harapan itu membuat Malvin jatuh terlalu dalam kalau sampai ia gagal.

"Fa, gue mau ke kantin bentar. Lo mau nitip?" tanya Malvin.

Tangan Shafa langsung merogoh saku. Ia juga tak bisa memungkiri bahwa ia kelaparan sejak tadi. Cacing-cacing di perutnya seolah sedang demo meminta nutrisi. Namun, matanya langsung terbelalak kala tak menemukan sepeserpun uang di sakunya.

"Kenapa? Uang lo hilang?" tanya Malvin sedikit panik karena melihat ekspresi Shafa.

Tapi detik berikutnya, Shafa justru terkekeh geli karena ulahnya sendiri. "Gue lupa, gue lagi puasa. Makasih, ya. Gak nitip dulu, deh."

"Puasa ganti, ya?" Malvin menatap dengan ekspresi penasaran. Sebenarnya Shafa tak ingin membahas tentang hal ini. Namun melihat Malvin yang masih menunggu balasan dari pertanyaannya, pada akhirnya Shafa menghembuskan napasnya pelan.

"Bukan, sih. Gue mau mulai diet, soalnya badan gue udah berat banget." Tatapan Malvin berubah datar mendengar penuturan sang gadis. Malvin tau benar ia bukan siapa-siapa dalam kehidupan Shafa. Tapi baginya, Shafa adalah teman pertama yang ia punya hingga Malvin tak ingin gadis itu terluka.

"Jangan maksain diri, Fa," ucap Malvin akhirnya.

Shafa tertawa sarkas. "Kenapa semuanya ngira gue maksain diri, sih? Gue ngelakuin ini demi diri gue sendiri, kok."

"Demi diri lo, atau demi orang lain biar mereka diam dan berhenti menghina lo?" Telak, Shafa tak bisa membantah ucapan Malvin. Gadis itu terdiam dengan bibir mengatup. Sebenarnya, untuk apa ia melakukan semua ini?

___

PancaronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang