Meski sejak tadi berusaha fokus, Malvin tak bisa mengelak bahwa rencana perpindahan Shafa terus mengganggu pikirannya. Decakan kasar terdengar begitu saja, rambutnya ia acak dengan frustasi. Bertepatan dengan itu, pintu kamarnya di buka oleh Diana.
"Kamu kenapa, Vin?" tanya Diana seraya melangkah masuk dengan tangan yang membawa segelas susu hangat. Malvin menyandarkan punggungnya pada kursi, lalu memutarnya hingga berhadapan dengan sang Mama.
"Partner lombaku mau pindah sekolah," balas Malvin dengan lesu.
Kening Diana mengernyit. "Kalau gitu harusnya Bu Rara udah ngehubungin Papa kamu, kan? Tapi kayaknya Papa kamu gak ada ngomong apa-apa, deh."
Ketika gelas itu Diana sodorkan, Malvin langsung mengulurkan tangannya untuk menerima. "Iya, baru rencana, sih. Tapi gak tau 'ah." Bibir Malvin mengerucut lucu, membuat Diana terkekeh ketika melihatnya. Remaja itu tampak tak begitu peduli dengan sikap Diana yang terus mengelus surai cokelatnya.
Meneguk habis susu hangat yang Diana bawa, Malvin mengusap bibirnya dengan telapak tangan, lantas kembali menyerahkan gelas itu pada sang Mama. "Terimakasih," ucapnya yang langsung m membuat Diana tersenyum.
"Jangan pikirin apapun, fokus aja sama lombanya, oke? Katanya kamu mau ngalahin si Aksa, kan?"
Malvin mengangguk, membuat Diana menatapnya dengan gemas. Setelah memberi kecupan singkat pada puncak kepala putra tirinya, wanita itu lantas undur diri.
Melihat pintu kamarnya sudah tertutup rapat, Malvin segera meraih ponselnya yang sejak tadi bergetar. Belasan notifikasi dari Ayana yang sengaja ia abaikan, membuatnya sedikit merasa bersalah. Akan tetapi, Malvin benar-benar tak memiliki niat untuk membalas pesan dari gadis itu sedikitpun.
Bahkan, belakangan ini ia tak lagi melihat Ayana latihan menari. Gadis itu sempat bertanya, tapi Malvin tak memberi jawaban pasti karena ia pun tak mengerti apa yang salah dengan dirinya sendiri.
Perasaannya pada Ayana berubah begitu saja. Semuanya terasa hambar dan tak lagi berwarna.
Menghela napas panjang, Malvin mengetikkan kalimat yang membuat Ayana berhenti mengirimkan pesan-pesan tak penting itu lagi. Status 'mengetik' pada ruang chat-nya kini menghilang, Ayana tak jadi mengirimkan apa yang telah ia ketik.
| Maaf, gue sibuk
| Jangan ngirim chat-an lagi, gue keganggu, Ay
Malvin mematikan layar ponselnya, bersikap masa bodoh pada apa yang mungkin saja Ayana pikirkan di seberang sana.
. . .
"Kita gak beneran pindah, kan, Bu?"
Shafa berdiri di ambang pintu kamar Ibu, sementara Ibu sedang berada di dalamnya sembari mengemasi barang-barang. Pertanyaan tak logis itu membuat Ibu segera mengalihkan atensinya dan mengernyitkan kening.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancarona
Fiksi Remaja[ Selesai ] "Lo itu cantik, dengan warna lo sendiri. Standar dunia itu tinggi, Shafa. Lo gak harus terlihat seperti mereka." Shafa, gadis yang terobsesi mengubah penampilannya agar mencapai standar gadis ideal, bertemu dengan teman satu klub olimpia...