"Shoot!"
Malvin tersentak kaget mendengar teriakan anak basket di bawah sana. Ia menoleh pada Shafa yang tengah fokus mengerjakan soal dan mendengkus pelan. "Fa, kayaknya salah, deh, kita milih belajar di tribun gini."
"Emangnya kenapa? Dulu waktu partner gue si Amelia, dia malah ngajak gue ke sini. Katanya biar semangat belajar, kan, sambil liat kakel ganteng."
Bulu kuduk Malvin seketika berdiri. "Kalo yang ngomong cewek ya wajar! Masa iya gue malah liat kakel ganteng? Gak logis, berasa gay gue jadinya."
Shafa menurunkan kakinya yang semula ia angkat ke atas bangku tribun. Gadis itu menyusun lembar soal latihan miliknya, kemudian menatap Malvin. "Lo gak fokus dari tadi, ada masalah apa?" tanya Shafa dengan mata menyipit karena silau matahari.
Sang remaja menyandarkan punggungnya. Malvin memang tak bisa fokus sejak tadi. Pikirannya sedikit kacau karena perkataan Papanya tadi malam, sewaktu mereka mengobrol berdua di balkon kamarnya.
Awalnya, Malvin kira Papa ingin mengancamnya seperti yang sudah-sudah karena ia mengungkapkan keinginannya. Tapi ternyata, Papa justru memberitahukan satu hal yang membuat Malvin merasa bersalah pada Diana.
"Diana gak bisa punya anak, dia didiagnosis gak bisa hamil karena rahimnya bermasalah."
Ucapan Papa malam itu menampar dirinya dengan telak. Pantas saja selama ini Papa menyuruhnya untuk memanggil Diana Mama. Karena sebenarnya pun, Diana ingin merasakan bagaimana menjadi seorang Mama, meski di mulut ia berkata lain.
"Vin! Tuh, kan, bengong lagi!" Shafa berdecak pelan. "Siapa, sih, yang semalam minta belajar selain di sekolah karena katanya masih ngerasa kurang? Giliran-"
"Iya, maaf. Ada sedikit masalah di rumah, gue jadi kepikiran. Janji, deh, gue bakal fokus sekarang."
Shafa mengangguk pelan. Lembar soal yang sempat ia letakkan kini ia ambil kembali. Ketika dirinya berdiri, Malvin mengernyitkan keningnya. "Mau kemana?" tanyanya dengan sedikit mendongak.
"Ke perpus bentar. Ada soal yang kurang gue ngerti, kayaknya di perpus gue pernah liat bukunya."
"Kan, ada google, Fa. Kenapa gak nyari yang cepet aja?"
"Kalau itu, sih, cara lo! Nyari di buku itu seru, lho! Biar ada usahanya juga. Kan, gak semua hal bisa di dapatin secara instan, Vin."
Mendengar ucapan itu, Malvin terdiam. Ia kira Shafa adalah tipe gadis yang gak suka hal merepotkan. Tapi ia malah melupakan satu hal, bahwa Shafa adalah peraih medali emas. Ah, Malvin jadi merasa malu.
"Yaudah, tapi jangan lama-lama, oke? Keliatan banget kalau gue jomblo." Shafa mengacungkan ibu jarinya tinggi-tinggi sebagai respon, dan meninggalkan Malvin yang masih menatap punggungnya hingga hilang di balik tembok pembatas.
. . .
Ketika tangan sang gadis hendak terulur memegang kenop pintu, tangannya terpaksa mengambang di udara karena mendengar suara dengan intonasi tinggi di dalam sana. Shafa menundukkan kepalanya, dalam hati ia merutuk. Apa perpustakaan kini beralih menjadi tempat debat?
"Lo jadi gila semenjak putus sama gue!" Nada mendorong bahu Gerry kasar hingga sang remaja terpaksa mundur beberapa langkah.
Gerry terkekeh sinis. Tangan Nada yang terangkat di udara hendak kembali mendorong dirinya. Namun ia mencekalnya dengan kuat. "Jadi cewek, tuh, lembut dikit, kek," ujarnya. Jantung Nada langsung berpacu cepat ketika manik Gerry menelusuri tiap inci tubuhnya.
"Lo pikir gue bodoh karena mau aja lo porotin kayak gitu? Nad, gue cuman nunggu waktu main yang pas, lho. Tapi lo gak sadar, kan? Jadi, siapa yang bodoh di sini?" Bisik Gerry tepat di telinga sang gadis. Matanya mulai terpejam dan hidungnya mengendus wangi tubuh Nada dalam-dalam.
"Gerry!" Shafa membuka pintu perpustakaan dengan kasar ketika melihat Gerry seolah telah kehilangan akal sehatnya. Gadis itu meletakkan asal lembar soalnya di atas rak buku, kemudian menghampiri Nada yang terlihat syok atas kejadian itu.
"Lepas!" perintahnya seraya menarik lengan Nada ke belakang tubuhnya. Shafa benar-benar tak suka melihat raut wajah Gerry yang penuh dengan nafsu. Gadis itu memundurkan langkahnya, membuat Nada melakukan hal yang serupa. "Lo bakalan habis kalau gue lapor ke guru BK! Lo lupa di perpus ada cctv-nya?"
Gerry memutar bola matanya malas, sementara Nada yang berada di belakang tubuh Shafa tampak terdiam dengan pandangan kosong.
"Gak seru lo 'ah, mainnya cepu!" Gerry membetulkan kancing seragamnya yang sedikit terbuka, kemudian berjalan ke luar perpustakaan. Sebelum itu, ia sempat menoleh dan berhenti di samping Nada, membisikkan sesuatu pada gadis itu.
"Jangan lupa balikin duit gue, cewek kayak lo sesekali harus di kasih pelajaran biar gak ngelunjak. Kalau gak mampu, anggap aja semua uang gue yang lo pake sebagai bayaran satu malam yang lo habisin bareng gue, oke?"
Tubuh Nada langsung menegang takut, Gerry benar-benar telah kehilangan akal sehatnya. Sementara Shafa langsung mendorong remaja itu agar segera pergi dan mengunci pintu perpustakaan.
Di saat seperti ini, Shafa jadi bertanya-tanya kemana petugas yang biasanya berjaga di sini? Kalau ia tak pergi ke sini tadi, mungkin saat ini sekolah sudah gempar dengan berita pelecehan. Membayangkannya saja Shafa jadi merinding.
Membalikkan badannya, gadis itu menatap Nada yang masih menundukkan kepalanya. "Gue udah pernah bilang, jangan pernah main-main sama cowok. Tapi apa? Lo malah mau main-main sama Malvin dan putusin Gerry gitu aja. Sekarang gimana?"
Nada mengangkat kepalanya, menatap manik Shafa dengan lekat. " Biasanya mereka gak gitu. Malahan, mereka bakalan mohon-mohon sampe berlutut di depan gue minta balikan. Mereka gak masalah gue porotin asal bisa terus pacaran sama gue."
"Sayangnya gak semua cowok itu sama, Nad!" Shafa mendengkus keras, membuat Nada merasa kesal dan takut di saat yang bersamaan. Ia takut kalau Gerry akan melakukan hal yang lebih jauh dari ini, dan kesal karena ucapan Shafa selalu benar.
"Buat saat ini lo aman, setidaknya sampe lo lunasin uang Gerry yang lo pake buat belanja."
Setelah mengatakannya, Shafa pergi begitu saja. Meninggalkan Nada yang kini membisu.
Masalah yang terjadi membuat Shafa lupa dengan tujuan awalnya datang ke perpustakaan. Lembar soal yang ia pegang sudah kusut karena sempat ia remuk sebagai pelampiasan kesal. Nada bukan orang baik, tapi kenapa ia selalu ingin membantu gadis itu? Shafa sendiri tak mengerti dengan dirinya.
Ketika ia kembali ke tribun, Malvin tak lagi sendirian. Shafa menyipitkan pandangannya, melihat siapa sosok gadis yang sedang duduk di sebelah sang remaja.
Wajah Malvin tampak sangat berseri. Senyuman lebar remaja itu membuat Shafa merasakan hal yang serupa. Seolah bahagianya Malvin turut membuatnya bahagia. Namun, karena yang melukis senyum itu bukanlah dirinya, ada perasaan tak suka dalam hati sang gadis.
Apalagi ketika melihat tangan Malvin yang terulur untuk membetulkan surai gadis itu yang tertiup angin. Shafa memegang dadanya yang berdenyut. "Gue kenapa, sih?" monolognya seorang diri.
___
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancarona
Teen Fiction[ Selesai ] "Lo itu cantik, dengan warna lo sendiri. Standar dunia itu tinggi, Shafa. Lo gak harus terlihat seperti mereka." Shafa, gadis yang terobsesi mengubah penampilannya agar mencapai standar gadis ideal, bertemu dengan teman satu klub olimpia...