• 29 •

20 4 1
                                        

4 tahun kemudian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

4 tahun kemudian ...

Surai berwarna ungu yang sengaja Malvin cat, kini ia sisir menggunakan sela jarinya. Jeans yang memiliki model sobek di bagian paha dan lutut menambah kesan berandalan pada remaja itu.

Papa memejamkan matanya seraya menyentuh kening. Kepalanya terasa amat pusing hanya karena menghadapi anak semata wayangnya yang semakin di luar kendali.

"Cat kembali rambut kamu, kalau gak Papa cukur habis," ucap Papa setelah menghela napas panjang.

Malvin memutar bola matanya malas seraya berdecak. Tangannya berkacak pinggang, tapi bibirnya tak mengucapkan penolakan apapun. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi, pasti orang kampus ada yang mengadukannya ke Papa.

Kisah berandalan ketika SMA seolah kembali terulang. Dalam satu bulan ini, Diana sudah hampir lima kali di panggil ke kampus karena masalah dirinya. Entah itu tawuran ataupun ikut kegiatan ilegal.

Seharusnya Papa sadar, bahwa sikapnya saat ini adalah bagian dari penolakannya. Tapi sepertinya, Papa hendak tutup mata atas itu semua.

"Papa gak capek dengan sikap ku yang kayak gini?" tanya Malvin tanpa ekspresi.

Papa yang semula hendak membalikkan badannya untuk kembali memasuki rumah lantas menghentikan langkahnya. Keningnya mengernyit dengan sorot penuh tanya. Akan tetapi, ekspresinya berubah dingin ketika netranya menatap sepasang netra sang putra.

"Jangan buat ulah lagi, atau Papa kirim kamu ke luar negeri," ancam Papa sembari menunjuk dirinya dengan sorot tajam.

Malvin mengembuskan napasnya lelah. Lagi-lagi hanya ancaman yang ia dapat. Memang apa salahnya mencoba mengerti dirinya? Malvin kira selama ini Papa memang memberikannya jalan, tapi ternyata semua itu adalah sikap egois Papa terhadapnya.

Ruang geraknya di kekang, jurusan yang ia inginkan justru di tolak mentah-mentah. Sementara itu, Papa malah menyuruhnya masuk jurusan hukum. Lagi-lagi, Papa menggunakan kata 'demi kebaikan kamu' untuk menutupi sisi egoisnya.

Sejak berhasil meraih medali perak para olimpiade pertamanya empat tahun lalu, Papa semakin gencar mendukungnya. Malvin bahagia, karena ia bisa melihat senyuman Papa kala itu.

Meski bukan medali emas, Papa sangat mengapresiasi usahanya. Dibandingkan dengan Aksa—anak tiri Mamanya, Malvin lebih unggul. Toh, Aksa tak mendapatkan apapun di perlombaan kala itu.

Dari sana, Papa semakin menekannya dan memasukinya ke macam-macam tempat les. Malvin bahkan sampai kesusahan mengatur waktu. Tidur pun hanya beberapa jam saja. Rasanya ... Ia benar-benar lelah.

Berdecak kesal, remaja itu merogoh saku celana sembari berjalan menuju motornya yang terparkir di halaman rumah. Helm full face itu ia kenakan dengan terburu-buru karena terlanjur kesal.

Mendengar deru motor sang putra, Papa langsung berlari keluar hendak menahan. Akan tetapi, ia kalah cepat dengan Malvin yang lebih dulu menancap gas dan pergi dari sana.

PancaronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang