Suasana masih sama seperti kedatangan perdana Eran kemari; gedung kelabu, bendera yang mengelepak ringan meski tak ada embusan angin, dan air mancur yang berdiri megah di teras luas berselimut dedaunan kering sisa tahun lalu. Kabut kelam menggantung tipis, niscaya menjadi oksigen bagi tiap-tiap jiwa veiler yang berada di sini. Kabutnya menyambut kedatangan Eran dengan ramah. Seberkas asap menyulur lembut ke sekujur tubuh gadis itu, menyelubunginya dengan jubah yang berkelebat acap kali ia melangkah menuju markas.
"O-ho, kalau bukan Eran kecil yang sudah jarang pulang!" sebuah suara menyahut kala dirinya mencapai lobi. Ribuan lilin dalam sangkar menyala serentak dan menghidupkan benda-benda yang mengapung malas di langit-langit. Gumpalan-gumpalan asap hitam mengedar di beberapa titik, tetapi tak ada satupun yang menghampirinya selain bergetar menertawakannya.
Sepintas kemudian, sebuah gumpalan dari arah tangga mendekat dan memadat menjadi seorang pria berjanggut tipis. Topengnya memburai sempurna saat menghampiri Eran dengan sebuah senyuman. Ialah Vadrick, wakil kapten dari kubu pembela Edwen.
"Paman Vad," sapa gadis itu dengan riang. "Aku tidak kemari untuk pulang."
"Oh, tentu." Vadrick memutar bola mata. Ia mengangkat tangannya ke mulut dan berseru dengan lantang. "Taruhannya selesai, Thev! Eran cuma mampir."
Seorang veiler muncul dari kabut tipis yang menggantung di langit-langit, diikuti gumpalan-gumpalan di sekitarnya yang bergoyang-goyang menertawakan nasibnya.
"Heh." Thevan merogoh saku dan dengan sebal mengeluarkan beberapa keping emas putih. Vadrick menangkapnya dengan sukacita. "Kau tahu, Eran, kau baru menjadi veiler selama beberapa bulan dan mendadak menghilang lagi. Kami mulai bertaruh jangan-jangan kau kembali pada pria yang meminjammu tahun lalu itu."
Eran menyengir. Sebagian memang benar.
Sebuah gumpalan asap menyenggol bahu Vadrick, mengingatkannya akan sesuatu. "Oh, aku nyaris lupa—Apa Tuan Muda Edwen benar-benar menyuruhmu menjegal Tuan Besar?"
Eran mengangkat bahu pasrah. "Apa aku punya pilihan?"
"Luar biasa." Sahut sebuah gumpalan.
"Itu gila."
"Kalau aku jadi kau, mending aku mati untuk kedua kalinya sekalian."
Eran tersenyum kecut mendengar sahut-sahutan yang bergema di ruang. Ini memang sudah menjadi rahasia umum, toh para veiler juga akan berperang melawan Argent jika Edwen berkehendak. Kapan pun itu.
Beruntung Eran tak perlu mengobrol panjang lebar karena ada keperluan menanti. Ia harus sedikit berdusta, mengatakan maksud kedatangannya adalah untuk melaporkan misinya kepada sang Cortessor alih-alih Edwen, dan kedua veiler itu menggeleng tak percaya.
"Sungguh, Eran. Kalau kau berhasil di misi ini, kami akan dengan senang hati menempatkanmu selalu di samping Judan; menjadi asistennya! Wakil kapten kedua!"
"Aku hanya—"
"Ayo, anak bawang. Tunjukkan taringmu!"
Eran mendesis gemas. Tidak lagi ia memedulikan celotehan kedua senior yang disambut goyangan para gumpalan asap. Gadis itu cepat-cepat menghilang sebelum digoda habis-habisan oleh para seniornya. Ia masih takut kalau berlama-lama dengan sekumpulan pria.
Eran bersembunyi ke balik sebuah pintu. Ruang aslinya kecil, hanya ada satu kursi kayu dan satu pigura usang menggantung di atasnya, tetapi separuh dari ruangan ini telah hancur. Sebagai gantinya, sebuah taman luas terhampar. Sulur lumen menjulur antar pohon bunga, dan kabut putih menggelayut damai. Ketika gadis itu melangkah lebih jauh, ia mendapati Cortessor Alvaguer telah menanti di tepi sebuah air mancur.
Cortessor tersenyum saat Eran memberi salam kepadanya. Matanya menyusuri tiap inci jubah asap yang menyelubungi sang gadis. "Baru kali ini aku melihatmu sebagai seorang veiler. Meski, kuakui, kau lebih cocok diakui sebagai keluarga Erfallen daripada sekadar pengawal mereka."
Eran tersenyum bangga. "Peran mana pun yang perlu kujalani, aku menyukai keduanya. Tidak semua rakyat biasa bisa menjadi bagian dari Erfallen ... tanpa sebuah kecelakaan."
"Benar." Cortessor Alvaguer mengisyaratkan Eran untuk duduk. "Jadi, mengapa kita tak manfaatkan kesempatan itu sebelum kau lebih terkenal, Nak? Mari kita mulai dengan ... ah, tentu saja, apa yang ingin kau sampaikan kepadaku tempo hari di rumah mertuaku?"
Mendengar sang Cortessor menyebut kakek buyut Rayford seperti itu membuat Eran merasa aneh. Kalau dipikir-pikir kembali, Rayford memiliki hubungan yang lebih dekat kepada sang Cortessor ketimbang kepadanya, atau para Cortessian selain con Caltine. Bulu kuduk gadis itu sontak merinding. Rayford adalah kerabat seorang Cortessor, simbol negeri yang kedudukannya setara dengan Raja. Ah, seandainya Cortessor masih menjabat sebagai kepala pemerintahan, maka posisi Rayford setara dengan para pangeran!
Oh, sesungguhnya serumit apa kehidupan pria itu?
"Aku bertemu Caellan saat di Stentin," kata Eran, lantas melanjutkan dengan obrolannya kala itu, termasuk harapan-harapannya kepada Rayford. Seusai menceritakannya, Eran menambahkan dengan pelan. "Aku menjadi yakin betul kalau keinginanmu, yang engkau sampaikan di taman dahulu, adalah yang terbaik, Tuanku ... um, sejauh ini."
"Sejauh ini," sang Cortessor mengulang lambat-lambat. "Aku menyukai bagaimana kau masih berpikir ada yang lebih baik daripada ini. Dan, mungkin kau benar. Aku selalu mempertanyakan diriku, adakah yang lebih baik? Sesuatu yang, barangkali jika terjadi, takkan mendapat konsekuensi sebesar harapanku saat ini."
Eran menelan ludah. "Konsekuensi," ujarnya. "Engkau belum menjelaskannya kepadaku, Yang Mulia. Apa kiranya itu?"
"Kuasumsikan kau sudah memahami segala kebaikan dari tawaranku," kata Cortessor, yang segera disambut dengan anggukan. "Bagus. Kalau begitu akan kuberitahu konsekuensinya bagimu. Tidak banyak, tetapi kukira kau harus mempersiapkannya dari awal."
"Apa itu?"
Cortessor mengelus dagu. "Berhasil atau tidak, jika Rayford mengetahui ini ...." kemudian ia sengaja berhenti sejenak, sekadar ingin mengecek seberapa besar tingkat ketegangan Eran sekarang. Ia tersenyum tipis pada akhirnya. Senyum yang getir.
"Jika Rayford tahu rencanaku, situasi akan berubah menjadi sangat ... berbeda," katanya penuh dengan kehati-hatian. Saat ekspresi mata gadis itu mengeruh, sang Cortessor menambahkan dengan ketegasan yang berusaha dilembut-lembutkan. "Apa kau menyukai Rayford, Eran?"
"Tidak." Kecepatan jawaban gadis itu membuat Cortessor mengangkat alis. Eran sendiri bertanya-tanya akan kesialannya malam ini, karena telah mendapat pertanyaan serupa berulang kali.
Cortessor mengangkat alis. "Kau yakin, Eran? Andaikan rencana ini berhasil dengan begitu gemilang, kau menyia-nyiakan kesempatanmu untuk bersama dengan Rayford."
Kalau Cortessor berkata demikian, orang-orang akan memercayainya. Meski begitu Eran memaksakan diri untuk mengangkat dagu. "Tidak masalah. Itu adalah keputusan hati Rayford seutuhnya. Dan, andaikan aku masih bertahan dengan perasaanku dan ia ternyata juga menyukaiku"—Eran mendengus—"aku tidak yakin mampu menanggung rasa bersalah seumur hidup karena bahkan perasaannya pun dikendalikan orang lain!"
Eran terperangah ketika Cortessor menundukkan pandangan. Sial, apakah dia baru saja menyentak seorang kaisar? Dia bahkan bukan anaknya, dan Eran hanya—oh, astaga. Kenapa dia menyentak banyak orang penting malam ini?
"Aku mengerti." Cortessor tersenyum, melibas segala ketegangan yang merambat di taman. "Aku mengerti," ulangnya perlahan. "Kalau begitu, aku percaya kau tetap bisa melanjutkan ini semua, benar? Bahkan tanpa keterlibatan perasaan seperti yang dikehendaki oleh Edwen semula, segalanya berjalan dengan lancar. Dan itu ... sempurna! Itulah yang ingin kukatakan."
Jangan takut. Eran mendengar gaung asing di dalam benaknya, dan senyum Cortessor melebar.
Gadis itu memaksakan respons serupa. "Terima kasih." Tenggorokannya tak pernah lebih tercekat daripada saat ini. "Aku akan berusaha sebaik mungkin."
"Kau adalah teman yang sangat berdedikasi, bukankah begitu?" sang kaisar membenahi kata-katanya. "Omong-omong kita tidak bisa terus-terusan bertemu seperti ini, atau akan ada yang mencurigai. Bagaimana jika kita berkirim surat mulai sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTIROM: The Marionette ✓
Fantasy[BOOK 4] "The price of romancing the death." ---------------------------- LAST BOOK OF ANTI SERIES (word count: 90k-95k words) ---------------------------- Rayford akhirnya menemukan tambatan hati yang tepat, tetapi untuk mencapai kegemilangan hidu...