13, Bulan Putih. Tahun 1939.
Eran bermimpi bagus pagi ini. Itu pasti gara-gara ia tidur di kamar Rayford. Kamar pria itu tidak besar, seperti apartemen kelas menengah pada umumnya, dan disesaki lemari-lemari buku yang tinggi di sisi seberang pintu. Kasurnya menghadap satu-satunya jendela, dan Eran bisa mencium aroma Rayford yang membekas bertahun-tahun tiap kali angin berembus pelan.
"Oh, mm, Tuhan." Eran memeluk bantal. Tidak ada aroma keringat pria itu, walau parfumnya persis seperti bau selimut di apartemennya di Elentaire. Eran mereguk aromanya dalam-dalam, merasakan jantungnya berdegup, dan berguling-guling sejenak di kasur.
Ah, tak pernah terbayangkan olehnya akan berada sedekat ini kepada Rayford! Semalam mereka bersantap di kedai langganan Rayford dahulu, berjalan menyusuri kanal Applebaker yang terkenal, dan melihat-lihat sejenak toko-toko sepanjang jalan pulang sebelum tengah malam menjelang. Bukankah ini seperti kencan? Eran tak pernah benar-benar kencan dengan seorang pria sebelumnya!
Setelah kurang lebih satu jam memenuhi sanubarinya dengan segala hal tentang Rayford, Eran bangkit dari tempat tidur dengan sukacita. Ia membuka jendela lebar-lebar dan mengendap keluar kamar. Hening. Rayford pasti masih terlelap.
Semalam mereka juga sempat mampir ke toko kelontong untuk membeli bahan sarapan. Cukup sederhana saja; Eran akan membuat omelet dengan tuna kalengan, menghangatkan sup kalengan, dan mengeluarkan teko susu dari kulkas. Ada terlalu banyak makanan kalengan di lemari Rayford, dan Eran akhirnya paham mengapa pria itu menyeimbangkannya dengan lebih banyak mengonsumsi dedaunan yang ditanamnya sendiri di pot-pot sepanjang langkan kamar apartemen.
"Selamat pagi," sapanya riang saat Rayford keluar kamar dengan menyeret kaki. Ia mengucek mata, mencerna sejenak kehadiran Eran di dapurnya, lantas mengangguk pelan.
"Aku nyaris lupa kalau ada kau di sini," katanya sembari melipir ke wastafel. "Aku bangun dan sempat mengira ini adalah lima tahun yang lalu."
Eran terkekeh. Ia menaruh mangkuk sup di meja makan yang berdebu. Ups. Ia buru-buru mengangkatnya dan mencari persediaan kain lap. "Mudah untuk bernostalgia saat kembali ke rumah sendiri, bukan?"
"Mm." Rayford mengacungkan jempol karena mulutnya masih berkumur, menumpahkannya ke wastafel, lalu menyeka air yang menetes. "Aku akan menunjukkanmu tempat-tempat penting yang perlu kau ingat. Apa Edwen sudah memberitahumu soal Arial?"
Eran menggeleng. "Maksudku, dia pernah menjelaskan sedikit kalau itu tempat para setengah monster bekerja, dan jenderalnya adalah kerabat dinasti, tetapi dia tak pernah menyuruhku ke sana."
"Mungkin itu hak istimewamu karena menjadi bagian dari Erfallen. Semua klan besar Cortess adalah pendiri Arial. Kau pasti sudah tahu itu juga kan?"
Mereka berkumpul di meja makan dan mulai sibuk memenuhi piring dengan porsi masing-masing. Eran sudah hafal betul dengan jatah Rayford dan Jamen. Jika Rayford mengambil separuh porsi utama, maka Jamen akan mengambil sebagian besar sisanya, dan Eran selalu bagian yang terkecil—sesuai dengan bobot tampung perut. Tak pernah ada perdebatan. Dan kini, ketika Jamen telah menghilang dari kehidupan mereka, Rayford secara otomatis mengambil sebagian besar porsi. Eran pun merelakan jatah tuna kalengan kepadanya.
"Setelah itu kita ke rumah Caellan, ya?" tanya Rayford di sela-sela makan. "Sudah lama aku tak mengunjunginya."
"Bagaimana kabar mereka? Apakah Luna baik-baik saja?"
"Oh, ya. Luna sedang hamil anak pertama."
"Sungguh? Kau akan segera menjadi seorang paman, Ray." Eran tersenyum. "Dan itu menyenangkan. Kau tahu, keponakanku berjumlah enam bocah! Semuanya menggemaskan sekaligus menyebalkan, aku mencintai mereka karena hal yang berbeda-beda."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTIROM: The Marionette ✓
Fantasy[BOOK 4] "The price of romancing the death." ---------------------------- LAST BOOK OF ANTI SERIES (word count: 90k-95k words) ---------------------------- Rayford akhirnya menemukan tambatan hati yang tepat, tetapi untuk mencapai kegemilangan hidu...