[24.1] Menyerah Demi Apa? Cinta? [+]

20 11 7
                                    

Meski kutandai sebagai [+] tetapi bab ini tidak ada adegan dewasa apapun. Hanya saja ... aku merasa ... harus menaruhnya untuk makna-makna tersirat. 👀


=========================


29, Bulan Tanam. Tahun 1939.

Besok adalah hari ujian tesis Rayford, dan tinggal tiga hari lagi menuju pernikahan Kamilla.

Eran semakin uring-uringan. Sungguh, tidak bisakah sekali-sekali ia dan Rayford melewati hari tanpa ada beban yang hinggap? Eran memandang bayangannya di kaca dengan dongkol, mengutuk dirinya sendiri, dan beranjak dengan malas-malasan. Langit sudah gelap betul, sebentar lagi Rayford pulang dari persiapan ujian, dan belum ada makan malam kedua yang disiapkan.

Eran menuju ke dapur dalam rumah dengan kalut. Sungguh, menyelami isi pikiran Eran amat membosankan dan membuat kita terseret dalam frustasinya, maka amati saja caranya memasak dengan penuh emosi. Ia mengupas wortel agak tebal sehingga dagingnya tinggal separuh, cukup membuat kerutan di dahinya bertambah. Gara-gara itu Eran bertambah kesal dan menceburkan potongan buncis ke panci air terlalu kasar, sehingga air mendidih terciprat kepadanya, dan Eran nyaris saja mengumpat. Puncaknya adalah ketika ia menyadari bahwa daging yang dimarinasinya kelewatan empuk. Pelupuk mata Eran penuh dengan air mata yang siap-siap mengalir deras ke pipinya.

"Oh Tuhan." Gadis itu berjongkok, menenggelamkan wajahnya dalam kubangan air mata yang tertangkup kedua tangan. "Aku capek."

Selama sesaat Eran terisak sampai waktunya mengangkat buncis dan wortel dari air rebusan. Dengan sesenggukan ia menandangi steik nyaris gagal itu dan membawanya ke ruang penghubung. Saat Eran mencuci muka, waktu menunjukkan pukul sepuluh dan terdengar suara langkah kaki Rayford. Tak berderap seperti biasanya, melainkan nyaris tak terdengar, kalau-kalau Eran tak menajamkan pendengaran.

"Salaam—oh, baunya enak sekali," ujar Rayford sembari memasuki ruangan. "Kau memasak steik untukku?"

Eran tersenyum kecut. "Semoga rasanya seenak yang kaukira, Ray."

"Yah, kau tahu aku tidak pernah cerewet soal makanan." Rayford mendorong pintu dengan punggung. Selama sesaat ia berdiam di sana, membuat sang gadis terheran-heran dengan tingkahnya, lantas menyadari wajahnya yang memucat.

"Apa terjadi sesuatu? Kau sering pucat akhir-akhir ini." Eran mulai berpikir tidak-tidak, mengira Rayford murung karena pernikahan Kamilla. Pria itu memang mudah pucat saat menerima tekanan masalah sekarang. "Apa Profesor tiba-tiba memundurkan jadwal ujianmu?"

Rayford mengusap wajah. "Bukan," jawabnya lugas, membuat Eran makin cemas. Ia beralih ke sofa dengan langkah gontai. Kaos kaki masih terpasang dan aroma keringatnya membuat Eran segera menyingkirkan kaki-kaki itu agar merosot ke lantai. Jangan sampai sofa Erfallen ternodai dengan aroma kaki busuk Rayford! Lagi pula pria itu tidak protes. Dia memejamkan matanya, mengatur napas yang sedikit berantakan, lantas melepas kancing-kancing teratas kemejanya dan mengibas-ngibas sejenak.

"Kau kepanasan? Lantas mengapa wajahmu pucat? Biar kuambilkan obatmu—hei!" Eran berseru saat Rayford mencengkeram pergelangannya dengan cepat. Beruntung refleksnya sudah lebih baik, sehingga ia tak buru-buru menyentaknya. Eran menyentil jemari Rayford.

"Tidak," kata Rayford. Suaranya serak, rasa-rasanya mengucapkan beberapa kalimat lagi akan menyayat tenggorokannya yang kering. "Daripada lapar, aku lebih haus."

"Ahhh, kau mau teh?"

"Bukan." Rayford tidak sembunyi-sembunyi lagi saat ibu jarinya tanpa sadar mengelus nadi yang menonjol pada pergelangan tangan gadis itu. Ia menelan ludah, cukup untuk membuat Eran menyadari apa yang terjadi. Oh, bukan pernikahan Kamilla ternyata. Kenyataan ini membuatnya teramat lega, kendati kekhawatiran lain muncul. Ia merasakan sekujur tubuhnya merinding.

ANTIROM: The Marionette ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang