Rayford pergi tak lama kemudian, karena harus mengunjungi laboratorium Profesor Rikard. Edwen pun berbaik hati meminta dua veiler untuk menyertainya kalau-kalau terjadi serangan tambahan. Sang pewaris juga berjanji akan memberikan mantel baru. Meski begitu Rayford menolaknya secara halus, toh mantelnya murah.
Edwen mengundang Eran untuk duduk bersamanya ditemani teh melati yang mengepul pekat. Namun, alih-alih diliputi atmosfer serius seperti biasa, senyum culas dan tatapan penuh selidik Edwen membuat sang gadis canggung. Ia bahkan tak nyaman di sofa beludru paling empuk yang pernah didudukinya.
"Jadi? Apa yang kau lakukan semalam bersamanya sampai-sampai Rayford mengubah pikiran secepat itu?" Kala Eran mengangkat alis kebingungan dengan pertanyaan Edwen, sang pewaris berdeham pelan. "Kau tahu, pria lajang sehat dan gadis ... di kamar."
Eran terperangah. "Kau tidak sungguhan mengira kami melakukan hal-hal yang ... Demi Tuhan, hanya karena aku pernah mengalami sesuatu dua kali, bukan berarti aku akan menyerahkan diriku begitu saja untuk melelehkan kepala batunya! Lagi pula kau baru saja menghina seorang Guru Muda, dan—"
"Ya, ya. Maafkan aku." Edwen spontan mengangkat tangan. "Aku tidak bermaksud, dan tampaknya aku juga tidak sanggup membuat lelucon."
Edwen memang pembuat lelucon terburuk. Ia tidak bisa menyaingi Anthoniras untuk perihal satu ini.
"Andai kau tahu apa yang terjadi semalam," gerutu sang gadis. Ia memulai dari keluhan tidur di kamar Jamen hingga mimpi buruk yang mampir kedua kali, hingga ia terpaksa tidur di sofa di apartemen Rayford. Edwen, kendati tetap tenang saat mendengarnya, memancarkan ekspresi bertumpuk di kedua matanya yang kelam.
"Mimpi melahirkan yang kau ceritakan beberapa bulan lalu?"
Eran membenarkan dengan enggan. "Dan, jika aku boleh menarik kesimpulan ... nampaknya ini karena ketakutanku. Bagaimanapun aku pernah mendapatkannya saat menginap di markas veiler pertama kali, dan jujur saja aku sangat gelisah berada satu atap dengan ratusan lelaki, meski sebagian dari mereka berwujud asap."
"Dan kau semalam cemas karena menempati kamar Jamen."
"Aku tidak bisa memungkirinya," aku Eran lesu. "Aku sempat berhalusinasi mencium aroma anggur di sana."
"Tetap saja mimpi melahirkan itu begitu janggal." Edwen menandaskan tehnya, kemudian menghela diri dari sofa. Sembari mengenakan sarung tangan, ia berkata lagi. "Karena kau sudah tahu, maka hindari hal-hal yang bisa membangkitkan trauma, atau kau takkan bisa menyelesaikan misi ini. Kita sudah mendapatkan Rayford. Kau tak boleh sia-siakan itu."
"Aku mengerti."
"Dan," imbuh sang pewaris, "jangan lupa pastikan kembali rencana untuk membatasi ruang gerak Rayford—jangan sampai dia bertindak gegabah di misi ini."
Eran mengangguk. "Ke mana kau akan pergi, Ed?"
"Penelitian, tentu saja. Aku akan memulai proyek peninjauan mulai Senin depan, dan kira-kira selama satu bulan, jadi kuserahkan Rayford kepadamu selama itu."
+ + +
Rayford menyusuri jalan dengan setengah melamun. Segera setelah meninggalkan Manor Erfallen, sengatan semangat menguap dari sekujur kulitnya. Semakin jauh dirinya melangkah, semakin besar gejolak kegelisahan yang meliputi Rayford. Hei—padahal ia sudah menyatakan bergabung, apalagi yang dikhawatirkannya?
Justru itu. Satu sisi di dalam benaknya bersuara, mengajukan langkah dan melipat tangan—andaikan punya—dan mengangkat dagu. Kemudian dua sisi paling berlawanan di dalam benak Rayford pun berperang; keduanya mempertahankan pendirian masing-masing. Sudahlah, bukankah memang kodratnya Rayford menjadi penyelesai perkara para bangsawan bermasalah itu? Tidak—bukankah Rayford sudah bertekad untuk tidak ikut serta dalam masalah lagi?
Sementara sang pemilik tubuh merasa sebaiknya membelah badan adalah opsi yang paling memungkinkan, lantas tersadar, bahwa gagasan sendiri itu bodoh. Rayford menghela napas.
Setibanya di laboratorium Profesor, ia menyibukkan diri dengan tesis. Murid baru yang kemarin datang lagi, dan berkata telah begadang demi memahami metode penelitian yang dipakai sang senior. Rayford, tak ingin mengecewakan upaya sang murid, membantunya belajar selepas itu. Lagi pula ini sebuah pengalihan perhatian yang bagus juga. Ia bisa melupakan sejenak perasaan-perasaan aneh yang sedari tadi meliputinya.
Menjelang pukul tiga sore, sang murid menyatakan kesanggupannya untuk membantu mencatat perkembangan penelitian selama satu bulan, dan itu adalah bantuan yang besar! Rayford memang sempat membayangkan tesis yang mangkrak sekali lagi karena misi baru yang perlu dijalankan, tetapi dengan bantuan murid baru itu, ia yakin tak perlu mengecewakan Profesor Rikard.
"Kalau begitu kita bisa memulainya esok," kata Rayford sembari menunjuk rak bertumpuk di pojok ruang, tempat sederet herba asing bertunas segar. "Jangan lupa siapkan catatan khusus untuk itu."
"Tentu. Ada lagi yang kau butuhkan, Senior? Apa kau mau kubantu berbenah?"
"Tidak," jawabnya, kendati meja kerja Rayford berantakan betul. Tampaknya ia akan berlama-lama di sini untuk menuntaskan pengalihan perhatiannya. "Pulanglah."
Benar, ia membutuhkan pengalih perhatian. Ini konyol, padahal Rayford sudah memenuhi godaan untuk menanggung beban orang lain lagi, tetapi kenapa rasanya ada yang salah?
Bukan—tampaknya lebih daripada itu. Saat Rayford mengarahkan pandangan pada hutan di luar jendela-jendela besar, ia tahu ada yang mengawasinya di sana.
"Senior," lagi-lagi murid baru itu memanggilnya dengan cara yang serupa. Ia melongok dari arah pintu. "Kau dapat tamu lagi—sekarang pamanmu menunggu di luar."
Apa? Rayford membeliak. Murid itu bilang apa?
Rayford ... tak punya paman.
Namun, karena tak ada tanda-tanda kebohongan pada wajahnya, Rayford buru-buru menyusul. Belum juga ia melihat wajah si paman gadungan yang dimaksud, tahu-tahu bahunya dirangkul.
"Hei, Ray. Lama tak jumpa." Anthoniras tersenyum, dan tak ada wajah yang paling ingin dihindari Rayford saat itu juga. Ia tak bisa berkutik karena cengkeraman Anthoniras di bahunya terlampau erat. "Kau sudah selesai? Sebab kita ada pertemuan keluarga kecil yang harus dihadiri."
"Apa maksud—"
Rayford tak mampu menyelesaikan kata-kata, sebab tubuh keduanya melumat ke udara, menyisakan sang murid yang terbengong-bengong.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTIROM: The Marionette ✓
Fantasia[BOOK 4] "The price of romancing the death." ---------------------------- LAST BOOK OF ANTI SERIES (word count: 90k-95k words) ---------------------------- Rayford akhirnya menemukan tambatan hati yang tepat, tetapi untuk mencapai kegemilangan hidu...