[END] 2/2

83 12 26
                                    

Pukul 23:49

Apa kau ingat Cortessire, Sayangku? Sebuah kota terkutuk yang dibangun di tengah alam kasar, dilicinkan oleh air mata dan keringat para budak, dan mengubur tulang-tulang mereka sebagai pondasi? Di mana matahari menyorot sepanjang masa, dan bunga-bunga beracun menyusup di antara celah-celah keretak marmer? Kau beruntung, Sayangku, sebab ternyata kau mengunjungi Cortessire lebih dahulu daripada Caellan!

Ketika Edwen membawanya menyusuri lorong yang membentang di atas danau hitam Cortessire, Caellan tak bisa berhenti bergidik. Selama ini dia adalah pria yang disegani—Kepercayaan Vandalone adalah sematan barunya semenjak sepuluh tahun terakhir—tetapi ia seolah-olah menciut ketika menginjakkan kaki di Cortessire. Imajinasi tentang Par berderap sepanjang lorong, mengejar dan tertawa-tawa, terbayang-bayang sempurna di otaknya yang malang. Caellan tidak menyukai ini. Ia tidak menikmati pilar-pilar yang dicekik sulur-sulur hingga retak, atau marmer sejernih air yang pecah berantakan, selain ingin bergegas pulang.

Sayangnya, ia tidak bisa pulang selama 24 jam ke depan.

Mereka tiba di depan sepasang pintu ganda menuju ruang tahta Cortessor. Akhirnya. Kalau rencana mereka berhasil, ruang tahta itu akan menjadi milik Rayford.

Pintu mengayun dibuka oleh sepasang Lakar. Saat Edwen dan Caellan masuk, semua dewan telah menanti di dalam. Berpasang-pasang mata tertuju kepada dua perwakilan termuda ini.

Pukul 23:53

"Salaam, wahai Dewan Erfallen, dan Lord Caltine." Seorang Guru Agung yang berdiri di samping Cortessor mengayunkan tangan. "Mari, tuan-tuan yang baik, silakan duduk. Tujuh menit tersisa sebelum Perang Dinasti dimulai."

Melangkah menuju tempat duduk pun memakan waktu dua menit sendiri. Ruang tahta megah itu luas luar biasa. Kandelir kristal yang menggantung tidak lagi berlapis sepuluh, melainkan lima puluh, dan dikait jutaan lumen yang berpendar secerah matahari. Kursi-kursi dewan besar dan berjarak dua petak antar kursi, dipisahkan oleh dinding-dinding rendah yang menyembunyikan berbagai rahasia di tangan-tangan yang mengepal.

Saat Edwen dan Caellan berpisah menuju tempat yang tersedia—Erfallen dua kursi di samping Cortessor, sementara kursi Caltine paling jauh dan berada di bawah bayang-bayang—Dewan Cortess berkomentar. "Menikmati waktu, tuan-tuan muda?" meski ia duduk tepat di samping Edwen, ia sengaja mengeraskan suara untuk didengar seisi ruangan.

Edwen tersenyum. Ia mengibaskan jas ekor panjangnya sebelum duduk. "Sayang sekali kami tidak sempat ikut bermain, Tuanku," katanya santun. "Setidaknya kami juga ingin bersenang-senang dengan para tetua di sini."

Bibir kering Dewan Cortess berkerut marah. Dia bukanlah pria yang menyenangkan, selaiknya sang putra. Raut wajahnya lebih keji daripada Armandes, jiwanya lebih kelam daripada mendiang Argent, dan kekuasaannya hanya setingkat di bawah Cortessor. Orang-orang menyebutnya sebagai Kaisar yang Tersingkirkan, dan jelas sekali Dewan Cortess tak menyukainya.

Pukul 23:55

"Lima menit." Guru Agung mengangkat tangan. "Mari, Dewan Erfallen dan Lord Caltine—serahkan surat suaramu. Jika tidak ada nama yang kalian ajukan, maka kalian dianggap membelot dari perang, dan keputusan berada pada tangan Cortessor yang terpilih."

Cortessor Alvaguer memejamkan mata. Ia menarik napas dalam-dalam.

"Silakan, Lord Olliviare." Guru Agung mengayunkan tangan sekali lagi. Kali ini muncul sang kapten Lakar, Viktor Olliviare, dari udara bebas.

"Tentu." Edwen beranjak, begitu pula Caellan. Sembari menyerahkan surat suaranya, ia juga mengeluarkan gulungan titipan Ashten. "Tuanku," ia menyapa Viktor dengan senyum. "Pewaris Tremaine menitipkan ini kepadaku, ditujukan kepada Dewan Tremaine yang baik."

ANTIROM: The Marionette ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang