Siang itu Ben terlihat di sebuah showroom mobil. Ia terlihat berbincang dengan salah satu pegawai showroom. Namun tak lama, Ben bersalaman dengan pegawai itu dan lalu keluar dari showroom. Ben terlihat sesekali mencoba menelepon seseorang, tapi sepertinya orang yang sedang coba ia hubungi tak mengangkat teleponnya. Ben terlihat membalas sebuah pesan. Tak lama, ia duduk disebuah bangku di depan showroom. Ben terlihat menghela nafas seperti ada sesuatu yang sedang ia pikirkan.
Telepon seluler milik Ben terdengar berdering. Ben tak langsung mengangkatnya. Ia hanya melihat sepintas layar telepon selulernya, siapa gerangan yang menghubunginya? Ben lalu mengangkatnya.
"Hallo Ben! Kamu dimana? Apa kamu lupa hari ini ada meeting penting?"
Terdengar suara wanita dari sambungan telepon seluler.
"Aku tidak lupa. Tapi sepertinya, aku tidak bisa hadir di meeting itu."
"Maksud kamu bagaimana?"
"Sudah kubilang, aku tak bisa hadir. Lagi pula, kehadiranku tak begitu penting."
"Ohya, terserah kamu saja!" sahut si wanita itu cukup kesal mengakhiri perbincangan dengan Ben.
Ben pun seakan tidak peduli. Ia masih duduk di sebuah bangku yang berada di depan showroom. Tatapannya seperti sedang mengamati lalu lalang orang-orang maupun kendaraan yang sedang melintas. Tak cukup ramai memang kondisi saat itu. Terlihat seorang bapak penjual dimsum seperti sedang melepas lelah.
"Pak, aku beli dimsumnya, ya, satu porsi," ucap Ben menghampiri si penjual dimsum itu.
"Oke!" jawab si bapak penjual dimsum dengan semangat 45.
Bapak itu terlihat cekatan menyiapkan pesanan Ben. Namun sepertinya, si penjual itu terlalu banyak membungkus pesanan Ben. Jangan-jangan, ini adalah trik si bapak agar Ben membayar lebih.
"Pak, saya hanya pesan satu porsi saja. Tapi ini sepertinya terlalu banyak," ucap Ben buru-buru menegur si bapak itu.
"Lebih apanya? Satu porsi, ya, memang segini," jawab si penjual sambil memberikan pesanan dimsum.
"Jadi, berapa pak?" tanya Ben.
"Sudah terserah berapa saja," jawab si bapak penjual santai.
Ben semakin bingung dengan jawaban si bapak penjual dimsum itu. Sudah satu porsinya begitu banyak, ditambah bayarnya terserah. Ben pun mulai curiga kepada si bapak itu. Jangan-jangan, dimsum ini sudah basi atau malah dibuat dari bahan yang tidak halal.
"Sudah untukmu saja, gratis!" sambung si penjual lagi sambil bergegas pergi.
Ben pun makin dibuat terkejut. Jualan macam apa ini? Ben mencoba mencicipi dimsum yang baru saja dibelinya.
"Enak kok. Tapi kenapa si penjual itu malah memberikan gratis dengan porsi yang cukup banyak?" Ben bertanya-tanya.
"Pak! Pak!" panggil seseorang seperti memanggil si bapak penjual dimsum.
"Ya, ada apa?" sahut si bapak penjual dimsum menghentikan langkahnya.
"Ini uang yang bapak berikan untuk membeli dagangan dimsum saya beserta gerobag-gerobagnya tadi. Saya mengurungkan niat untuk menjualnya," ucap seorang pria.
Ben makin terkejut dengan apa yang dilihatnya siang itu. Ben pun seakan semakin penasaran dengan apa yang terjadi antara bapak si penjual dimsum dan si pria itu.
"Loh, memangnya kenapa? Apa uang itu kurang untuk membeli dimsum dan gerobag dimsummu ini?" tanya si bapak.
"Bukan begitu pak. Kalau bapak membeli dimsum dengan gerobagnya, lalu nanti saya akan berjualan apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarjana Penjaga Makam (Judul Horor, Cerita Penuh Makna)
General FictionBen memutuskan resign dari tempatnya bekerja. Iming-iming kenaikan gaji pun tak begitu ia hiraukan. "Ini bukan persoalan uang, tapi ... " ucap Ben. "Tapi apa?" potong Winda salah satu temannya. "Aku sudah mulai tidak menikmati apa yang aku kerjakan...