Hari itu Ben sudah mulai berkemas. Keberangkatan keretanya masih sekitar pukul 10.15 pagi.
"Ben!" panggil seorang wanita.
Wanita itu mengendarai sebuah mobil sedan hitam buatan Eropa.
"Kau Ras, rupanya. Apa baru mau berangkat kerja?" tanya Ben kepada wanita itu. Larasati namanya.
Laras wanita cantik itu hanya menganggukkan kepala. Ia turun dari mobilnya seakan memperhatikan Ben dengan seksama.
"'Tapi Ben, apa kamu berangkat bekerja dengan membawa barang sebanyak ini?" tanya Laras melihat Ben membawa sebuah koper dengan tas ransel.
"Tentu saja tidak. Siapa yang mengatakan aku mau berangkat bekerja?"
"Lalu?" tanya Laras heran.
"Aku mau pulang kampung," jawab Ben sambil menunggu sesuatu.
"Ohh, kamu sedang cuti ternyata, ya."
"Tidak. Aku sudah tak bekerja lagi di perusahaanku yang sekarang. Aku sudah mengundurkan diri."
"Apa kamu sedang bercanda? Sejak kapan? Kenapa kamu tak memberitahuku?"
Ben tertawa mendengar perkataan terakhir Larasati.
"Bukannya aku tak mau memberitahumu. Aku sudah mencarimu, tapi sepertinya kamu sedang sibuk. Kemarin hari terakhirku bekerja. Aku putuskan untuk pulang kampung saja. Lagi pula, jika aku terus disini dan tak mempunyai pekerjaan, itu akan memberikan masalah baru untuk pemerintah daerah," seloroh Ben.
Lasarati terdiam. Ia tak mengira akan berpisah dengan Ben setelah sekian tahun berteman dengannya. Larasati masih ingat betul pertama kali bertemu dengan Ben disuatu hari.
"Ras!" panggil Ben. "Apa yang sedang kau lamuni?"
"Ohya, aku tak sedang melamun," ucap Laras mengelak.
"Kalau begitu aku pamit, ya." Sebuah taxi baru saja menjemput Ben.
"Secepat itu? Mengapa begitu mendadak sekali? Apa tak ada makan malam?"
Ben tertawa. "Jangan berlebihan seperti itu. Lagi pula kan, kita hanya berpisah tempat, bukan berpisah alam," selorohnya lagi.
"Kalau begitu, sampai berjumpa lagi, Ben. Semoga sukses."
"Untukmu juga," sahut Ben sambil memasuki taxi yang sudah menunggunya.
Taxi itu meluncur ke arah selatan menuju sebuah stasiun kereta api. Larasati hanya bisa termangu menatap kepergian Ben. Teman yang baginya begitu sangat menghibur dan begitu baik.
Ben seakan begitu menikmati perjalanan dengan menggunakan kereta api hari itu. Sebuah perjalanan yang sebetulnya tidak direncanakan. Tatapannya terlihat silih berganti melihat pemandangan alam yang begitu indah. Ben memang lebih menyukai menggunakan kereta api ketimbang moda transportasi lain seperti bus maupun pesawat terbang.
Sesekali, Ben memainkan ponselnya. Tapi tak lama, ia seperti sedang mengamati gerbong kereta yang hanya diduduki oleh beberapa orang saja. Ben mengambil sebuah buku agenda. Ia seperti sedang menulis dan merencanakan sesuatu.
Otaknya mulai menghitung tentang tabungan, pekerjaan apa yang harus ia kerjakan setelah sesampainya di kampung nanti, dan banyak hal lain lagi. Ben mengambil sebuah koran yang tadi sempat ia beli. Membacanya, beralih ke halaman satu ke yang lainnya walau ia tak menuntaskan membaca halaman sebelumnya.
Tak lama ia pun menggulung koran yang sedang ia baca dan kemudian meletakkannya di sisi jendela. Ben tiba-tiba teringat dengan Larasati. Ah, kenapa aku tak menikahinya saja? Ben berkata dalam hatinya. Ah bedebah, apa yang aku pikirkan? Ben seakan ingin meralatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarjana Penjaga Makam (Judul Horor, Cerita Penuh Makna)
General FictionBen memutuskan resign dari tempatnya bekerja. Iming-iming kenaikan gaji pun tak begitu ia hiraukan. "Ini bukan persoalan uang, tapi ... " ucap Ben. "Tapi apa?" potong Winda salah satu temannya. "Aku sudah mulai tidak menikmati apa yang aku kerjakan...