Siang itu, sosok yang sudah tak asing lagi sedang mengamati sebuah bangunan yang sedang dilakukan renovasi. Rawi dipercaya oleh pemilik bangunan untuk memastikan renovasi berjalan sesuai rencana. Ditengah - tengah kesibukannya, Rawi tetap menjalani pekerjaannya sebagai penjaga makam, berjualan, dan tak lupa seringkali membantu orang - orang yang membutuhkan bantuannya. Ketekunan Rawi bekerja dilandasi alasan kuat, ia ingin sekali menabung dan menginvestasikan hasil kerjannya, bukan untuk membeli mobil mewah, rumah megah, atau berpergian ke luar negeri, tapi ia ingin membantu orang - orang yang memang sedang kesulitan.
Tak banyak yang tahu, saat Rawi kecil, bahkan saat usianya belum dapat mencerna kerasnya hidup, kedua orang tua Rawi pernah diusir dari kontrakan tempat yang selama ini menjadi tempat untuk berteduh dari teriknya matahari dan dinginnya udara malam, apalagi dikala hujan terus.
Ayahnya yang saat itu baru saja di PHK dan sulit mendapatkan pekerjaan, diusir tanpa diberi kesempatan. Bengisnya hidup, membuat Rawi dan orang tuanya harus tidur dibawah kolong jembatan. Kejadian itu, bahkan membekas dalam kehidupan Rawi sampai saat ini. Selalu seperti itu, Tuhan mengutus makhluk lainnya di muka bumi untuk meringankan beban keluarga Rawi. Ada seseorang yang selalu membelikan Rawi susu dan makanan. Hampir setiap hari, orang itu membantu tanpa berharap imbalan apapun.
Sampai sekarang, Rawi belum sempat mengucapkan terima kasih kepada orang itu karena memang saat itu, Rawi masih kecil dan belum tahu apa - apa. Jika diberi kesempatan, Rawi ingin sekali bertemu orang itu. Mungkin, beliau sudah sangat tua sekali, atau mungkin, sudah tidak ada di dunia ini lagi.
"Nak Rawi, ini laporan mingguan yang diminta," ucap Pak Eman menghampiri.
"Terima kasih, pak!" sahut Rawi.
Rawi menuju sepeda motornya. Ia menggeber sepeda motornya ke sebuah tempat. Disana, ia akan membahas beberapa hal penting. Rawi teringat dengan ucapan Seno.
"Memangnya, kamu tidak takut, uangmu habis?" tanya Rawi suatu ketika.
Seno yang mendengar pertanyaan Rawi sedikit tertawa, lalu terdiam. Sejujurnya, saat ditodong pertanyaan seperti itu, Reno cukup bingung menjawabnya.
"Takut uangku habis? Apa kamu pernah berpikir, semua makhluk dimuka bumi ini, baik itu yang di darat, laut, udara, bahkan yang tersembunyi di dalam perut bumi akan kehabisan nafas? Sejujurnya, rezeki itu diluar kendaliku. Jika, banyak orang berpikir tak punya uang, maka tak bisa makan, lalu mati? Tapi realitanya tak seperti itu.
Aku pernah tak punya uang sepeser pun. Jika kerangka berpikirnya seperti tadi, seharusnya aku tak bisa makan, lalu mati. Namun, aku masih bisa makan, tanpa perlu membelinya dengan uang. Ada saja yang memberiku makan, mentraktirku, atau lainnya."
Penjelasan Seno begitu menohok. Rezeki memang di luar kendali manusia. Ada yang bertahun - tahun memiliki uang dan harta berlimpah, hitungan hari saja menjadi tak punya apa - apa.
Rawi sampai di tempat yang dituju. Ia memarkirkan sepeda motornya dibawah pohon. Pohon itu sebelumnya dianggap singit dan digunakan oleh beberapa orang untuk menaruh sajen dan meminta pesugihan. Lalu, sebagian pohon itu dipangkas oleh warga. Tapi, akhirnya disulap menjadi rumah pohon. Siapa lagi kalau bukan Seno yang membuatnya.
"Wi!" panggil seseorang yang sedang memetik jambu air. "Aku pikir Ben datang denganmu," tanyanya lagi. Sosok itu adalah Seno.
"Menyusul katanya. Madi belum datang?"
"Dia kan sedang ke luar kota. Katanya, ikut hasil rapatnya saja," jawab Seno asik menyicipi jambu air.
Siang itu, mereka akan membahas beberapa hal. Tentang data keluarga yang tak memiliki pekerjaan yang akan diajarkan mengenai hidroponik atau beternak, anak - anak yang belum sekolah walau sudah masuk usianya, maupun hal lain.
Rumah pohon itu berada di sebuah lahan, dekat pertigaan jalan. Kadang Ben, Rawi, dan lainnya melepas suntuk di rumah pohon itu, baik siang atau di malam hari. Bahkan di waktu subuh, sambil menikmati misteri semesta. Terkadang hidup memang penuh misteri, atau memang hidup itu adalah bagian dari misteri?
Kejadiaan traumatik yang dialami Rawi saat kecil, mengubah cara pikirnya. Rawi yang bukan berasal dari keluarga mampu itu, berusaha untuk mengubah hidupnya. Jika Tuhan mengizinkan, ia tidak ingin melihat anak - anak lain mengalami seperti apa yang ia alami dulu.
Terlihat sebuah mobil pabrikan Jerman memasuki lahan rumah pohon. Dibelakangnya diikuti seseorang mengendarai sepeda motor.
"Nah, itu Ben!" ucap Rawi.
Tapi, siapa gerangan seseorang yang ada di balik mobil berwarna hitam itu? Ben menghampiri Rawi yang sedang asik duduk menikmati rujak buah bikinan Seno. Entah dari mana Seno mendapatkan bumbu rujak itu. Rawi hanya melihat Seno uang sibuk memetik beberapa jenis buah dari pohon. Seno memang banyak akal dan kebiasaannya."Sudah lama, Wi? Sen?" tanya Ben.
"Kalo aku sih baru saja datang, tapi kalau Seno sepertinya dari tadi. Nih, buktinya," ucap Rawi sambil menunjuk rujak buah hasil bikinan Seno. "Siapa gerangan yang bersamamu itu, Ben?" tanya Rawi penasaran.
Tak lama, keluar sosok dari balik mobil itu. Seorang perempuan berpakaian rapi, dan tentu saja cantik. Masa ganteng?
"Ini Rawi," ucap Ben memperkenalkan.
Wanita itu tersenyum manis sambil menyalami Rawi.
"Dan yang disana, yang sedang memanjat pohon itu, Seno. Teman kami juga," balas Rawi tiba - tiba memperkenalkan Seno yang sedang sibuk diatas pohon. "Apa dia ikut rapat juga?" Bisik Rawi lirih.
"Tentu saja ingin melihat pemaparan rapat kita."
"Ah, gila. Sudah seperti rapat perusahaan saja."
Rawi tak berpikir akan ada yang berminat dengan program - program yang sebetulnya hanya untuk lingkungan kecil saja. Sosok itu terlihat cepat membaur dengan Rawi dan Seno. Tak malu - malu menikmati rujak buah hasil memetik langsung dari pohonnya bikinan Seno.
"Ini sih enak. Aku yakin, program kalian akan sangat membantu," ucap wanita itu.
Mereka terlihat ceria, tapi di beberapa pembahasan terlihat serius. Rumah pohon itu terdiri dari dua susun. Rumah pohon yang beratap ada di ketinggian sekitar 2 meter, diatasnya lagi hanya ada rumah pohon tanpa atap yang memang dibuat agar dapat melihat pemandangan langit.
Rapat siang itu berjalan lancar. Data - data yang dibutuhkan akan dilengkapi, program - program yang diharapkan dapat membantu ekonomi warga sekitar dan pendidikan anak pun disiapkan secara matang. Rapat berjalan lancar, sosok wanita itu pun berpamitan pulang. Begitupun dengan Ben, Rawi, dan Seno sudah siap diatas kemudi sepeda motornya masing - masing.
Rananta Wirawan atau yang biasa dipanggil Rawi. Kerasnya hidup yang dialaminya semenjak kecil, memberikannya banyak pembelajaran. Hidup adalah selingan. Terkadang sulit, terkadang senang. Jika kamu ada pada posisi sulit, berusahalah, sampai Tuhan memberikan jalan keluarnya. Jika kamu berada disaat senang, bantulah mereka yang sedang kesulitan, walau hal kecil. Bisa jadi, kamu adalah jalan keluar yang diberikan Tuhan untuk membantu orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarjana Penjaga Makam (Judul Horor, Cerita Penuh Makna)
Tiểu Thuyết ChungBen memutuskan resign dari tempatnya bekerja. Iming-iming kenaikan gaji pun tak begitu ia hiraukan. "Ini bukan persoalan uang, tapi ... " ucap Ben. "Tapi apa?" potong Winda salah satu temannya. "Aku sudah mulai tidak menikmati apa yang aku kerjakan...