Siang itu, terlihat 3 orang laki -laki berlari menuju area pemakaman. Mereka seperti berlomba menuju sebuah garis finish. Raut muka 3 lelaki itu terlihat bahagia seperti anak kecil yang habis diberi hadiah. Tiga lelaki itu kompak menghentikan langkahnya tepat sebelum memasuki area pemakaman. Nafasnya terlihat tersengal - sengal. Ben, Rawi, dan Lanang berteduh dibawah salah satu pohon di area pemakaman sambil merebahkan tubuhnya di atas rerumputan.
Ben terlihat sedang mengecek handphonenya, sedangkan Rawi terlihat sedang menulis sesuatu di buku agendanya yang diambil dari tas slempangnya. Begitupun dengan Lanang, ia terlihat menghitung sesuatu dari amplop yang baru saja ia terima dari jerih payahnya bersama Ben dan Rawi. Lalu, Lanang pun melipat tas ransel yang ia buat dari karung terigu itu sebagai sandaran kepalanya diatas rerumputan area makam.
"Serius sekali kamu, Ben! Sedang liat apa, toh?" tanya Rawi.
"Ah, tidak kok," sahut Ben sambil masih memainkan handphonenya.
Ben kembali sedikit kepo melihat aktifitas teman - temanya yang pernah bekerja di Jakarta. Ada yang sedang asik berlibur, ada pula yang sedang rapat. Jaman sekarang, tak upload aktitifias seakan tak dianggap eksis. Jika diingat, setelah Ben memutuskan resign dari tempatnya bekerja di Jakarta, tak seorang teman maupun rekan sekantornya pernah menghubunginya.
Berbeda dengan Lanang yang sepertinya sedang asik menikmati suasana pemakaman siang itu. Lanang adalah seorang pria yang giat bekerja. Apapun, ia kerjakan sepanjang itu halal dan tak merugikan orang lain.
"Kalau begitu, aku pamit duluan, ya. Masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan," ucap Lanang bangkit dari sandarannya.
"Buru - buru sekali, Nang. Santai saja dululah," sahut Rawi.
"Maunya sih begitu," timpal Lanang sambil membersihkan baju dan celananya dari rumput - rumput yang menempel.
"Okelah kalau begitu," sahut Ben.
Terlihat petugas makam yang lain sedang membersihkan setiap sudut - sudut area pemakaman.
"Sering - sering saja kita mendapatkan pekerjaan seperti ini, ya," kata Rawi.
Ben dan Rawi pun bergegas ke kontrakan Madi. Ben menitipkan sepeda motornya. Sesampainya disana, tak ditemukan batang hidung Madi. Setelah mengambil sepeda motor, Ben dan Rawi pun meluncur ke sebuah tempat.
"Sepertinya hari ini, aku ada janji. Tapi, aku lupa apa itu?" ucap Rawi.
"Coba buka saja buku agendamu. Bukankah kamu selalu mencatanya disana?" saran Ben.
Rawi pun mengambil buku agenda miliknya dari tas slempangnya. Sedangkan, Ben fokus mengendarai sepeda motor. Tapi, setelah dibaca dengan seksama, tak ditemukan catatan penting. Rawi masih kembali mengingat - ingat.
"Ketemu tidak?" tanya Ben.
"Tidak."
Ben pun terus melanjutkan mengendarai sepeda motornya ke sebuah alamat.
"Ah! Aku baru ingat!," ucap Rawi setengah berteriak.
"Ah, cumi kamu, Wi! Mengagetkanku saja," sahut Ben. "Memangnya ada apa?" tanyanya lagi.
"Aku baru ingat. Aku belum memesan perkakas untuk berjualan."
"Perkakas? Jualan? Memangnya kamu mau jualan apa?" tanya Ben penasaran.
"Bukan untukku"
"Lalu?"
"Untuk si Raka. Ia membutuhkan perkakas tambahan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarjana Penjaga Makam (Judul Horor, Cerita Penuh Makna)
Fiksi UmumBen memutuskan resign dari tempatnya bekerja. Iming-iming kenaikan gaji pun tak begitu ia hiraukan. "Ini bukan persoalan uang, tapi ... " ucap Ben. "Tapi apa?" potong Winda salah satu temannya. "Aku sudah mulai tidak menikmati apa yang aku kerjakan...