Kondisi pemakaman siang itu terlihat seperti hari - hari sebelumnya. Walaupun, akhir - akhir ini cuaca terasa begitu terik. Untungnya, di area pemakaman terdapat banyak pepohonan. Ben dan Rawi sedang membersihkan beberapa area makam.
"Wi, aku ke rumah Pak Radi dulu, ya," ucap Ben.
"Loh, ada keperluan apa memangnya? Tumben - tumbenan."
"Pak Radi memintaku mencari orang pintar," sahut Ben.
"Orang pintar? Profesor maksudmu?" tanya Rawi penasaran. Tapi, Ben tak menjawabnya.
Rawi pun kembali bekerja membersihkan sudut - sudut makam. Dari kejauhan terlihat seseorang sedang duduk diatas rerumputan sambil memegang map. Pakaiannya rapi layaknya seorang pekerja kantoran. Orang itu adalah Raka. Salah satu pemuda rantau. "Ka!" Rawi menghampiri. "Wah, apa kamu diterima di perusahaan kembali?"
"Ah, perusahaan apa?" jawab Raka tersenyum.
"Pakaianmu rapi seperti ini? Pasti habis dari interview, bukan?" timpal Rawi.
"Ah, tidak kok. Aku habis mengambil paklaring di tempat kerjaku sebelumnya."
"Ohh! Aku pikir kamu sudah tak betah lagi berjualan."
"Ah, gila!" sahut Raka.
Raka meninggalkan pekerjaan di tempat bekerja sebelumnya dengan alasan ingin fokus berjualan. Ia memutuskan resign dari tempatnya bekerja 2 bulan yang lalu. Sebelumnya, Raka bekerja di sebuah perusahaan sambil berjualan selepas pulang bekerja. Raka adalah anak rantau di Kampung Kali. Ia meninggalkan kotanya dan meninggalkan pekerjaan yang sudah digelutinya. Sebelum berjualan Es Teh dan Gorengan, Raka pernah bekerja di sebuah perusahaan di kota sebelah. Hingga 2 bulan yang lalu, ia memutuskan keluar karena ingin fokus menjalani bisnis kecilnya itu.
"Dari tadi aku perhatikan, kamu seperti sedang melamuni sesuatu? Apa kamu merindukan ibumu?" tanya Rawi tiba - tiba.
Pertanyaan itu membuat Raka cukup terkejut. Alasan Raka merantau memang karena satu alasan. Ia bertengkar dengan ibunya.
"Kalau ibu tak mau ikut denganku, aku yang akan pergi dari rumah ini. Aku tak mau mengurusi ibu lagi. Buat apa berjualan kalau selalu rugi dan berhutang," ucap Raka suatu hari.
Raka memberikan pilihan kepada ibunya untuk berhenti berjualan dan tinggal dengannya. Bukannya Raka melarang ibunya berjualan, tapi Ibu Raka tak bisa mengelola usahannya itu. Bahkan seringkali berhutang kepada orang lain bahkan koperasi. Hal yang membuat Raka kesal adalah ibunya berhutang tanpa sepengetahuannya dan selalu merengek dan menangis agar Raka yang membayar hutangnya.
Puncaknya adalah semua tabungan Raka habis untuk membayar utang ibunya, bahkan ia harus batal menikah dengan calon istrinya. Bukannya bertobat, Ibu Raka kembali melakukan hal yang berulang. Pada akhirnya, Raka memutuskan untuk merantau dan meninggalkan ibunya itu. Uangnya seakan habis hanya untuk membayar utangnya ibunya.
"Bukankah, ini tahun ke-3 kamu sudah tak bertemu dengan ibumu?" tanya Rawi seolah tak peduli dengan Raka.
"Aku bahkan tak merindukannya. Aku senang dengan hidupku sekarang," balas Raka seakan ia masih menyimpan kekesalan kepada ibunya itu.
Rawi pun terdiam. Apa yang menyebabkan Raka sebegitu membenci ibunya? Apa karena persoalan utang?
"Apa kamu tak mau menghubunginya?" kata Rawi lagi.
"Aku bahkan sudah membuang nomornya, sejak aku memutuskan pergi dari kotaku. Aku sudah tak ingin mengingatnya," ucap Raka seakan kembali memberikan jawaban yang menohok.
Dalam ingatan Raka, kelakuan ibunya masih begitu membekas. Setiap kali berhutang, maka ia akan meminta Raka yang melunasinya sambil merengek dan menangis. Saat Raka bertanya, untuk apa ia berhutang? Ibunya tak pernah menjawab. Raka bukan bank yang bisa setiap saat memberikan uang. Ia hanya pekerja biasa.
Area pemakaman, seringkali memberikan sebuah kisah lain. Tidak hanya cerita tentang seseorang yang telah meninggalkan dunia ini. Tapi, ada banyak cerita lain dibaliknya. Sebagai teman, Rawi hanya bisa memberikan uneg - unegnya. Mungkin, Raka masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri.
"Kalau begitu, aku pamit dulu, Wi!"
Raka pun bergegas pergi meninggalkan area makam. Sebetulnya, Raka adalah orang yang baik dan ramah.
"Ka! Ka!" tiba - tiba seseorang memanggil Raka tepat di area gerbang pemakaman.
"Oh kamu, Kur. Ada apa? Sepertinya gelisah sekali," sahut Raka.
"E ... e ... A ... apa aku boleh?" ucap Sukur tiba - tiba terbata.
"Kamu kenapa, Kur? Katakan saja, mungkin aku bisa membantumu," kata Raka yang melihat wajah Sukur begitu cemas.
"Apa aku boleh pinjam uang?"
"Pinjam uang?" Sukur terlihat mengangguk. "Untuk apa?" tanya Raka lagi.
"Ibuku sakit, Ka. Aku ingin membawanya ke klinik, tapi ... aku tak punya uang sama sekali."
"Ibumu sakit? Mau pinjam uang berapa, Kur?" sahut Raka bertanya balik. Tapi, Sukur terdiam tak menjawab pertanyaan Raka. Sukur seperti terlihat sedang kebingungan.
"Dua ratus ribu," ucap Sukur. "E... lima ratus ribu," ucap Sukur kembali merevisinya.
"Dua ratus ribu atau lima ratus ribu, Kur?" tanya balik Raka. Tapi, lagi - lagi Sukur tak langsung menjawabnya. "Aku genapin saja, Kur!" ucap Raka sambil memasukkan uang yang diambil dari dompetnya ke saku kemeja Sukur.
Sukur terlihat terkejut. Ia mengambil uang itu dan terlihat menghitungnya. Tapi, belum selesai menghitung, Sukur menatap Raka. "Ini lebih, Ka!"
"Tidak apa - apa, Kur. Kamu bisa mengembalikannya kapan saja. Dicicil pun tidak apa - apa," sahut Raka
"Ibumu pasti senang mempunyai anak sepertimu, Ka! Aku yakin ibumu selalu merindukanmu" tukas Sukur. "Kalau begitu aku duluan, Ka." Sukur terlihat berlari menyeberangi jalan.
Ucapan Sukur seakan menampar Raka. Bagaimana mungkin, Sukur bisa bicara seperti itu? Sedangkan, ia tak tahu bagaimana kisah yang sedang dialami oleh Raka. Sepanjang perjalanan, Raka terngiang dengan ucapan Sukur tadi.
Brugggg!
Raka menabarak sebuah mobil pickup yang sedang terparkir karena tidak memperhatikan jalan. Kini, dilema dialami Raka. Ia bingung bagaimana cara mengelola situasi seperti ini. Ditengah kedilema'annya, Raka diperlihatkan sesuatu. Seorang pria sedang menyuapi seorang ibu diatas kursi rodanya. Tubuh Raka tiba - tiba menjadi lemas. Ia berusaha mencari sebuah dudukan untuk menopang badannya. Ia menyeka pipinya yang tiba - tiba saja air matanya mengalir.
Raka mengambil handphonenya. Ia melihat daftar kontak di handponenya itu. Terlihat di salah satu kontaknya bertuliskan, Ibu. Nomor ibunya ternyata masih Raka simpan. Ia tak pernah menghapus atau bahkan membuangnya. Nomor yang sudah hampir tiga tahun tak pernah dihubunginya. Suara yang hampir tiga tahun tak pernah ia dengar. Kabar yang tidak pernah ia dengar lagi hampir tiga tahun. Walau sejak kejadian itu, Raka mengganti telepon selulernya. Tapi, nomor ibunya tetap ia simpan.
Siang itu, Raka seakan merindukan sosok itu. Air matanya tiba - tiba mengalir tak bisa dibendung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarjana Penjaga Makam (Judul Horor, Cerita Penuh Makna)
Fiksi UmumBen memutuskan resign dari tempatnya bekerja. Iming-iming kenaikan gaji pun tak begitu ia hiraukan. "Ini bukan persoalan uang, tapi ... " ucap Ben. "Tapi apa?" potong Winda salah satu temannya. "Aku sudah mulai tidak menikmati apa yang aku kerjakan...