Pagi itu, Ben kembali berada di pemakaman. Ben terlihat sedang menyapu membersihkan dedaunan yang berserakan diatas rumput pemakaman yang kosong. Hampir sekian lama, Ben tidak full time sebagai penjaga makam. Selain sibuk mengajar, Ben juga bergelut sebagai buruh pabrik. Tapi, untuk sementara pabrik sedang tidak beroperasi. Itu karena pabrik tempat Ben mengais nafkah sedang diinvestigasi karena masalah perizinan. Padahal, pemilik pabrik sudah mengatakan, bahwa pabriknya adalah sudah memenuhi persyaratan. Namun, untuk memastikah lebih valid, pemilik pabrik memilih untuk menunggu hasil pemeriksaan.
"Ben!" panggil seseorang menghampiri Ben. Suara dan sosok itu sudah tidak asing lagi.
"Wah kamu, Sen! Sudah lama tidak keliahatan, ya. Aku dengar kamu pergi ke Jerman?" tanya Ben meletakkan sapu dan serok didekat sebuah pohon.
"Betul, Ben! Baru kemarin aku pulang."
"Wah, keren! Dalam rangka apa kamu pergi kesana?" tanya Ben sambil duduk diatas rumput pemakaman.
"Aku diundang berkunjung produsen peralatan camping. Hanya itu saja."
"Wah keren sekali. Sesuai dengan hoby kamu."
"Kapan - kapan kita camping lagi. Mencoba peralatan camping baru yang aku dapat dari kunjungan itu," ajak Seno.
"Boleh juga."
"Tapi, ngomong - ngomong, aku tak melihat Rawi," tanya Seno penasaran sambil menoleh ke kanan dan kiri seperti mencari keberadaan Rawi.
"Rawi sedang mriang," cetus Ben.
"Apa karena dia terlalu keras bekerja? Sebelum aku pergi ke Jerman, aku bertemu dengannya pukul 4 pagi di pos, dia bilang sedang menunggu tumpangan untuk pergi ke kota seberang untuk belajar cara ekspor," beber Seno.
"Begitulah Rawi, semangat bekerjanya seperti tak kenal waktu. Padahal sudah pernah kami peringati untuk beristirhat sejenak.
Siang nanti, aku mau menjenguknya.""Wah boleh juga. Nanti aku bawakan makanan kesukaannya," timpal Seno.
Hari itu terlihat cerah, tidak panas, tidak pula mendung. Beberapa penjaga makam terlihat sedang mengerjakan rutinitasnya. Apalagi kalau sudah menjelang siang, beberapa pedagang makanan melintasi area dalam pemakaman.
"Kalau begitu, aku jalan dulu, Ben!" pamit Seno."Loh, buru - buru sekali, Sen!"
"Aku mau membeli beberapa bahan untuk hidroponik," jawab Seno.
Belum sempat Seno beranjak dari duduknya, terlihat seorang laki - laki lari memasuki area pemakaman. Ia terlihat langsung meloncat kedalam gentong besar yang biasa untuk menampung dedaunan ataupun rumput yang berserakan.
"Wah, siapa tuh, Sen?" tanya Ben.
"Ayo kita dekati," ucap Seno.Laki - laki itu terlihat melongokkan kepalanya sambil celingukan seperti habis dikejar masa.
"Eh, kamu ngapain? Copet, ya!" timpal Ben. Gaya bicaranya sudah terlihat seperti Rawi.
"Copet? Mana copet?" tanya balik laki - laki itu sambil keluar dari gentong besar berwarna orange.
Kemeja polosnya terlihat kotor menempel dedaunan dan potongan rumput.
"Kamu copet bukan?" tanya Ben lagi.
"Masa aku copet? Dikira copet yang ada. Hampir saja aku babak belur," ucap lelaki itu sampil membersihkan kemeja dan celananya.
"Loh, kok bisa?" kali ini Seno yang menimpali.
Sejak awal, Ben juga tak berpikir lelaki itu copet atau pelaku tindak kriminalitas lainnya. Dari penampilannya sepertinya lelaki itu memang orang baik - baik.
"Aku tadi ikut mengantri melamar pekerjaan di sebuah toko. Saat mengantri sepertinya ada sindikat copet yang ikut melamar pekerjaan, saat aku pergoki kawanan mereka yang akan mengambil dompet seseorang, ia malah meneriakiku copet ditambah sindikat lainya juga meneriakiku. Dari pada babak belur, mending aku kabur.
Sudah berapa ratus lowongan yang aku lamar. Puluhan wawancara yang aku datangi. Bahkan hanya sekedar menjadi tukang cuci piring di hotel saja, syarat yang diajukan lebih rumit dari yang aku pikir. Bisa mencuci dan membedakan mana sabun cuci dan tepung, bukankah itu syarat utama untuk bisa mencuci piring, kan?"Ben dan Seno malah termenung mendengar cerita laki - laki itu. Mereka duduk bersila seperti mengelilingi api unggun.
"Memang seperti itulah yang terjadi di negeri ini. Tidak heran banyak pengangguran," ucap Seno.
"Apa kamu butuh sekali pekerjaan?" tanya Ben.
"Tentu saja. Pekerjaan apa saja yang penting halal."
Ben dan Seno saling menatap.
"Apa kamu punya kertas dan pulpen?" tanya Seno.
Lelaki itu mengangguk dan mengambil sebuah buku dan pulpen dari dalam tas yang ia bawa dan memberikannya kepada Seno. Seno terlihat menulis sesuatu di buku itu
"Kalau begitu, kamu besok sore datang ke tempat ini."
"Apa kamu serius?" tanya lelaki itu masih agak tak percaya.
"Tentu saja. Tak mungkin memberikan harapan semu kepada seseorang yang sedang berharap," timpal Ben.
Mereka bertiga berbincang sejenak. Sebelum akhirnya Seno pergi. Sedangkan Ben dan Deva nama lelaki itu masih bercengkerama.
"Kalau begitu aku duluan, Dev. Masih ada yang harus aku kerjakan. Apa kamu mau masih duduk disini?" tanya Ben.
"Rasanya, aku masih ingin berada disini. Tempat ini seperti bukan pemakaman pada umumnya."
Ben pun pergi dengan membawa sapu dan alat kebersihan lainnya. Sedangkan, Deva masih betah duduk berlama - lama di area pemakaman tepat dibawah sebuah pohon. Tak lama, Deva mengambil sebuah selembar kertas dari dalam tasnya. Ia begitu lama melihat kertas itu seakan sedang berbicara secara mendalam.
Deva beranjak dari tempat duduknya dan membuang selembar kertas itu kedalam gentong besar tempat ia bersembunyi tadi. Deva melangkah keluar pemakaman dengan senyum dan harapan baru. Selembar kertas yang ia buang tadi adalah selembar ijazah sarjana miliknya seakan membuang semua kekecewaannya selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarjana Penjaga Makam (Judul Horor, Cerita Penuh Makna)
Ficção GeralBen memutuskan resign dari tempatnya bekerja. Iming-iming kenaikan gaji pun tak begitu ia hiraukan. "Ini bukan persoalan uang, tapi ... " ucap Ben. "Tapi apa?" potong Winda salah satu temannya. "Aku sudah mulai tidak menikmati apa yang aku kerjakan...