Ben mengendarai sepeda motornya saat pagi masih menunjukkan pukul 6 lewat 15 menit. Hari itu, Ben libur sebagai penjaga makam. Ia harus mengerjakan sebuah proposal penelitian. Ben menuju kampus tempatnya mengajar part time, bukan untuk mengajar hari itu, melainkan dia harus mengambil sebuah dokumen.
Suatu hari, Ben melihat lowongan pekerjaan di papan pengumuman kampusnya. Lowongan sebagai dosen tetap dengan syarat minimal S-2 dan pernah melakukan sebuah penelitian. Walau Ben bergelar S-2, tapi minim pengalaman dalam bidang penelitian. Penelitian terakhirnya adalah saat ia menyelesaikan tesis S-2nya. Sudah sangat lama.
Walau Ben sendiri tak yakin akan menyelesaikan semua persyaratan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Tapi, setidaknya penelitian yang dia lakukan akan berguna dilain waktu. Ben tiba diparkiran kampus pukul 8 lebih sedikit karena tadi Ben mampir sarapan nasi kuning terlebih dahulu. Ia lantas langsung menuju lantai 2.
"Ben!" panggil seseorang. "Saya pikir tidak jadi mengambil dokumennya," ucapnya lagi.
"Masa tidak jadi mengambil?" sahut Ben. "Itu kan dokumen penting. Bisa mengubah masa depan," gurau Ben.
"Ah, bisa saja," jawab Pak Tarso sambil tersenyum.
Ben sendiri sebetulnya tidak tahu persis apa jabatan Pak Tarso karena beliau banyak sekali jobdeskripsionnya. Terkadang menyiapkan absensi perkuliahan, mengantar dokumen, menata ruangan mahasiswa yang akan sidang skripsi, maupun membantu tata usaha. Setelah mengambil dokumen dan memasukkan ke dalam tasnya, Ben tak langsung pergi. Ia menyempatkan duduk di sebuah taman yang tak begitu besar yang dinaungi pohon mangga. Entahlah, apa yang sedang Ben pikirkan?
Semalam, saat Ben melintasi stasiun kereta, ia melihat Randu sedang sibuk bekerja sebagai porter. Ia begitu sibuk mengangkat tas – tas maupun koper para penumpang kereta yang akan menaiki kereta maupun yang baru saja tiba. Tangan kanannya menarik sebuah koper dan satunya lagi memanggul tas di pundaknya. Sebetulnya, Ben ingin mentraktir Randu malam itu, tapi sepertinya Randu sedang banyak pelanggan yang terus mengalir. Ben tidak mau memutus rezeki Randu. Tapi Ben berjanji, jika nanti ia bertemu dengan Randu kembali, ia akan mentraktirnya, satu porsi sate kambing dan semangkuk soto tangkar.
Ben pun kembali tancap gas menuju sebuah tempat. Ia tak ingin membuang – buang waktu lagi. Ia menuju sebuah tempat yang jaraknya lumayan cukup jauh dengan mengendarai sepeda motor. Ben fokus mengendarai sepeda motornya. Cuaca cukup mendukung hari itu. Tidak panas, tapi juga tidak mendung. Ben terlihat berhenti di sebuah perempatan jalan. Ia terlihat bingung jalan mana yang harus ia tempuh. Sebetulnya wilayah itu tak asing bagi Ben. Ben sudah pernah melintasi beberapa kali.
Sebetulnya, Ben baru dua kali bertemu dengan Pak Asir. Ben sebetulnya masih canggung untuk menemuinya kembali. Ben pun sampai di alamat yang dituju. Rumah itu besar dengan pekarangan yang luas. Rumah model jaman dulu. Di pekarangan rumah itu terlihat beberapa mobil dan sepeda motor terparkir. Disekelilingnya pun hampir semua rumah modelnya seperti itu. Rumah besar model jaman dulu dengan pekarangan yang luas. Di depan pagar terdapat beberapa tenda penjual makanan. Sepertinya itu adalah sebuah rumah yang disulap menjadi perkantoran.
Ben pun memarkir sepeda motornya di pekarangan. Tapi, ia tidak langsung memasuki rumah itu. Ben melangkahkahkan kakinya menuju luar pekarangan.
"Ben! Ben, kan? Hah, Bagaimana kabarmu? Sungguh, aku tak percaya bisa bertemu denganmu disini," sapa seorang wanita antusias bertemu dengan Ben.
"Laras!" sahut Ben. Laras adalah orang terakhir yang Ben temui saat akan pulang kampung. Ben, masih ingat betul. Siang itu, Laras dengan mobil sedan warna hitamnya bertemu dengannya. Ben mengira, ia tak akan pernah bertemu lagi dengannya.
"Sedang apa kamu disini, Ben? tanya Laras sambil menyalami Ben. Raut wajahnya tak bisa dibohongi kalau Laras begitu senang bertemu dengan Ben.
"Ah, seharusnya aku yang bertanya? Sedang apa kamu berada di kota kelahiranku?" ucap Ben tersenyum.
"Dunia ini sempit, ya?" ucap mereka kompak. Mereka berdua terlihat terdiam, lalu tertawa kembali. Mungkin, tak pernah mengira akan mengucapkan kalimat yang sama.
Ben dan Laras berbincang di sebuah kursi kayu panjang.
"Aku teringat dengan pertemuan kita dihari itu. Aku pikir, kita tak akan pernah bertemu kembali," ucap Laras.
"Aku pikir juga seperti itu. Hidup kadang penuh misteri, bukan?" tukas Ben. "Lalu, keberadaanmu disini?" ucap Ben seperti ingin tahu.
"Ini kantor cabangku, Ben. Aku sudah ditugaskan di kota ini, sudah hampir 3 bulan."
"Wah, 3 bulan? Bukankah itu waktu yang cukup lama bukan? Tapi, kenapa kita baru bertemu setelah 3 bulan, ya?" balas Ben.
"Seperti yang kamu bilang, hidup terkadang penuh misteri, kan?" sahut Laras yang tak henti – hentinya terlihat tersenyum. "Jadi, kamu sekarang bekerja dimana, Ben?" sambungnya lagi.
"Aku bekerja sebagai penjaga makam, Ras."
Laras tertawa mendengar jawaban Ben. "Jangan bercanda Ben. Lalu, kalau kamu penjaga makam, kenapa berada disini? Itu yang juga ingin aku tanyakan."
"Aku ingin bertemu dengan Pak Asir. Apa kamu mengenalnya?"
"Pak Asir? Apa kamu serius mencari beliau? Wah, ada keperluan apa? Ah, masa seorang penjaga makam mencari dewan komisaris? Serius kamu, Ben?"
"Pak Asir, dewan komisaris? Ucap Ben seolah tak percaya.
"Iya betul, beliau salah satu dewan komisaris di perusahaan kami."
Ben terlihat terdiam. Dalam benaknya, ia ingin membatalkan pertemuan dengan Pak Asir. Jika Ben membatalkan pertemuan dengan Pak Asir, lalu bagaimana dengan rencana penelitiannya? Lagi pula, Pak Aris yang Ben temui saat pertama kali terlihat seperti dosen pada umumnya. Tapi, Ben tak menyangka, Pak Asir adalah seorang Dewan Komisaris perusahaan.
"Ben, kenapa kamu melamun?" tanya Laras. Suaranya lembut walau agak terdengar serak. "Apa kamu mau menemui Pak Asir sekarang?"
"Tentu saja," tegas Ben.
Ben dan Laras pun berjalan di pekarangan memasuki kantor yang sebetulnya adalah sebuah rumah klasik jaman dulu.
"Apa lain waktu, kita bisa bertemu lagi, Ben?" ucap Laras setengah ragu. Ia tak ingin terlihat begitu bahagia di depan Ben.
"Tentu saja. Tapi ... ."
"Tapi, kenapa Ben? Apa kamu sibuk?"
"Bukan itu, Ras. Apa kamu tidak merasa malu bertemu denganku yang bekerja sebagai penjaga makam?"
"Kamu benar bekerja sebagai penjaga makam, Ben?" tanya Laras lagi seolah ingin meyakinkan. Ben terlihat hanya menganggukkan kepala. "Kalau penjaga makam, memangnya kenapa? Bukankah itu profesi yang membutuhkan keberanian, bukan?" imbuh Laras seolah tak peduli dan menyemangati Ben.
Lagi pula, dalam pandangan Laras. Ben tetaplah Ben. Ia seorang yang pintar dan pekerja keras. Pandangan Laras kepada Ben tetap tidak berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarjana Penjaga Makam (Judul Horor, Cerita Penuh Makna)
Ficción GeneralBen memutuskan resign dari tempatnya bekerja. Iming-iming kenaikan gaji pun tak begitu ia hiraukan. "Ini bukan persoalan uang, tapi ... " ucap Ben. "Tapi apa?" potong Winda salah satu temannya. "Aku sudah mulai tidak menikmati apa yang aku kerjakan...