Pengangguran

114 5 0
                                    

Inilah untuk pertama kalinya, Ben merasakan menjadi seorang pengangguran. Pagi itu, Ben terlihat duduk santai di sebuah pos ronda ditemani oleh sepeda motornya yang baru tiba setelah dikirim melalui perusahaan ekspedisi.

Ah, Ben seakan menyelami kenangan-kenangan dengan pos ronda itu. Tempat dimana ia dan kawan-kawannya berkumpul dan bercerita saat berseragam putih abu-abu.

Koran!" teriak Ben.

Pekerjaan yang mungkin dalam beberapa tahun lagi akan menghilang ditengah gempuran perkembangan teknologi yang begitu cepat.

"Wah, tinggal koran ini saja," ucap sang penjual.

"Tak apa-apa," jawab Ben sambil memberikan selembar uang sepuluh ribuan. "Kembaliannya ambil saja," sambung Ben.

"Terima kasih, bos!" jawab si penjual koran terlihat senang sambil berlalu.

Ben pun mulai membuka halaman demi halaman. Sesekali wajahnya terlihat begitu serius membaca sebuah headline. Walau kini Ben adalah seorang pengangguran, tapi ia tak boleh melewatkan informasi-informasi penting. Baginya sebuah informasi dapat merubah sebuah keadaan.

"Jek! Ojek!" tiba-tiba terdengar suara laki-laki memanggil.

"Jek. Ayo lekas!" ucap si laki-laki tadi seperti terburu-buru. Nafasnya terengah-engah seperti habis lari jauh.

"Ojek? Siapa? Aku bukan ojek," balas Ben sambil menggulung koran yang baru saja ia beli.

"Bukankah ini motormu?" tanya si laki-laki. "Lagi pula, bukankah kamu sedang mangkal di pos ronda ini sedang mencari penumpang?"

"Aku bukan ojek. Apa karena aku membawa sepeda motor dan duduk di pos ronda ini, lantas itu berarti aku tukang ojek?"

"Maaf kalau begitu. Tapi kali ini, aku membutuhkan tumpangan sepeda motormu."

"Sudah kubilang, aku bukan ojek," Ben bersikukuh.

"Woy!" teriak segerombolan orang terlihat garang. Sebagian dari mereka membawa balok kayu.

"Apa kamu pencuri?" tanya Ben.

"Bukan! Percayalah, aku tak melakukan tindak kriminal apapun. Namaku Rawi. Aku sedang mencari pekerjaan."

"Tapi, kenapa orang-orang itu mengejarmu?"

"Nanti aku ceritakan. Tapi, kau harus antarkan aku pergi dari sini terlebih dahulu."

Ben pun beranjak dari pos ronda. Ia segera menyela sepeda motornya. Segerombolan orang-orang itu terlihat semakin mendekat.

"Kalau begitu naiklah," ucap Ben.

Ben dan Rawi pun meluncur mencoba untuk menghilangkan jejak dari kejaran gerombolan itu. Namun, ternyata beberapa dari gerombalan itu rupanya masih mengejar Ben dan Rawi dengan mengendarai sepeda motor.

Ben pun seakan melihatkan kemampuan membalapnya. Ben dulu memang pernah mengikuti kejuaraan balap motor. Namun sayang, pada suatu malam menjelang balapan, sepeda motor Ben hanya disisakan satu roda saja. Itu sebuah sabotase atau memang mungkin murni pencurian.

"Gila! Jangan ngebut seperti ini. Aku tak punya asuransi. Lagi pula, aku belum mau mati dengan menyandang status sebagai pengangguran," protes Rawi.

"Kalau tak ngebut kita akan tertangkap," sahut Ben sambil melihat kedua spion sepeda motornya.

Setelah situasi terlihat cukup aman, Ben menurunkan kecepatan sepeda motornya. Ia menyusuri ruas-ruas jalan menuju sebuah perbukitan. Ben pun berhenti disebuah perbukitan dan turun dari sepeda motornya disusul oleh Rawi. Mereka berdua duduk dihamparan rumput.

"Terima kasih, e ...!"  ucap Rawi.

"Namaku Ben," ucap Ben memperkenalkan.

"Terima kasih, Ben! Kamu sudah menolongku."

"It's oke! Jadi, mengapa orang-orang itu mengejarmu?" tanya Ben tanpa basa-basi.

Rawi tak langsung menjawab pertanyaan Ben. Ia terdiam sambil menikmati pemandangan indah dari atas perbukitan.

"Dulu, aku bekerja disebuah perusahaan," ucap Rawi membuka kisahnya. "Hampir 2 tahun aku bekerja disitu. Perusahaan rintisan yang tidak terlalu besar. Tapi aku mendapatkan gaji besar, belum lagi ditambah tunjangan ini dan itu. Bonus sudah dipastikan setiap bulan dapat. Makan disediakan setiap hari seperti prasmanan. Kamu dapat makan semaumu di tempat itu," lanjut Rawi dengan dengan serius, tapi raut wajahnya terlihat sendu.

"Wah, pekerjaan idaman semua orang, bukan?" sahut Ben sambil duduk dengan meluruskan kedua kakinya.

"Awalnya mungkin seperti itu. Tapi beberapa bulan yang lalu, owner perusahaan kami ditangkap karena didakwa melakukan kasus pencucian uang dan ... "

"Penipuan bukan? Tindak pencucian uang sudah pasti diiringi dengan tindak penipuan. Kalau tidak menipu untuk apa uang 'dicuci-cuci' segala," seloroh Ben, tapi kemudian raut wajahnya berubah menjadi serius.

"Benar. Lalu dalam sekejap, kemewahan itu musnah seperti tidak pernah ada. Kami bahkan sebagai karyawan dipanggil oleh pihak berwajib untuk menjadi saksi. Tentu saja kami tidak tahu menahu perihal itu. Aku bahkan sampai sekarang tak tahu pencucian uang itu berasal dari kasus judi, penjualan narkoba, korupsi, atau yang lain," beber Rawi.

Suasana diatas perbukitan itu terlihat sunyi. Terlihat burung silih berganti mengepakkan sayapnya. Pepohonan pun seakan tak mau kalah mengibas-ngibaskan dedaunannya.

"Lalu?" tanya Ben.

"Lalu apanya?" tanya balik Rawi sedikit heran.

"Kamu belum menjelaskan siapa gerombolan orang-orang yang mengejarmu tadi? Seakan mereka tak segan untuk menerkammu."

"Ohya, aku lupa menjelaskan bagian itu. Mereka, orang-orang itu mengaku salah satu pihak kreditur yang menagih hutang ke tempat perusahaanku itu."

"Tunggu, tapi mengapa mereka mengejarmu?" tanya Ben heran.

"Aku pun tak tahu pasti. Tapi, beberapa rekan kerjaku pun juga mengalami nasib yang sama denganku. Sudah aku jelaskan kepada mereka, kalau aku bukan orang yang bertanggung jawab mengenai perihal itu. Lagi pula, semua harta benda milik owner tempatku bekerja itu sudah ludes tanpa sisa."

"Lalu, apa kamu sudah mendapatkan pekerjaan baru? Bukankah tadi kau bilang sedang mencari pekerjaan?" tanya Ben dijawab dengan gelengan kepala Rawi.

Angin sepoi-sepoi begitu terasa. Ben dan Rawi terlibat obrolan santai, tapi terkadang serius. Diatas bukit itu dapat menikmati pemandangan kota. Ramai, tapi tak begitu sesak.

"Jadi, apa rencanamu?" tanya balik Rawi.

"Entahlah, aku tak tahu. Tapi yang pasti aku tak tertarik untuk melamar atau mencari-cari lowongan pekerjaan lagi di perusahaan orang," ucap Ben bimbang, tapi pasti...  Pasti tidak akan melamar pekerjaan lagi. Bimbang karena Ben masih belum mempunyai sesuatu yang pasti untuk dikerjakan setelah memutuskan resign.

Mendengar itu, Rawi hanya tertawa. Didalam benaknya, walaupun ia dan Ben sekarang adalah sama-sama mempunyai 'status' pengangguran, tapi ada hal yang membedakan.

Pertama, Ben menjadi pengangguran karena sebuah pilihan. Ben memilih resign karena ia sudah jenuh dengan tempatnya bekerja dengan segala rutinitasnya. Sedangkan Rawi, menjadi pengangguran karena memang perusahaannya berhenti beroperasi, tanpa uang pesangon.

Kedua, Rawi masih bersemangat untuk tetap mencari-cari pekerjaan di perusahaan. Sedangkan Ben sama sekali tak tertarik.

       Hari sudah semakin siang. Ben dan Rawi pun beranjak menuju sepeda motor milik Ben.

"Ini bayaranmu," ucap Rawi sambil memberikan uang kepada Ben yang jumlahnya lumayan cukup besar apabila sekedar untuk ongkos ojek.

Ben tertawa melihat Rawi menyodorkan beberapa lembar uang kertas kepadanya. "Sudah kubilang, aku bukan ojek. Simpan saja uangmu." Tentu saja, Ben tak tega menerima uang dari Rawi yang sedang bersusah payah mencari pekerjaan. 

Ben dan Rawi pun kembali menyusuri jalan-jalan kota siang itu. Cerah, tapi tak terasa panas, ditemani dengan angin sepoi-sepoi yang begitu menyejukkan. Pertemuan yang tak disengaja, tapi pada akhirnya di dunia ini tak ada yang kebetulan. 

Sarjana Penjaga Makam (Judul Horor, Cerita Penuh Makna)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang