Nganggur Itu Berat! Biar Aku Saja!

65 2 0
                                    

     Banyak orang berpikir, pekerjaan kecil itu tak penting. Namun seringkali, pekerjaan - pekerjaan kecil  sebagai awal pembuka untuk mendapatkan pekerjaan - pekerjaan yang lebih besar.

      "Jadi, kamu sudah berapa lama menganggur, No?" tanya Ben kepada seseorang yang sedang sibuk menyengget buah mangga di sebuah halaman rumah yang sebenarnya tidak berpenghuni.

      "Sudah berapa lama, ya?  Sejak aku di PHK dari perusahaanku yang dulu. Dua, atau mungkin tiga tahun yang lalu." Namanya Yono.

      "Memangnya kamu dulu bekerja dimana?" tanya Ben penasaran atau memang mungkin hanya iseng bertanya saja.

     "Aku bekerja sebagai buruh. Di Kalimantan."

     "Kalimantan?"
       Yono hanya mengangukkkan kepala.

     "Setelah di PHK, aku sebenarnya sudah banyak melamar pekerjaan kesana kemari. Tapi, kamu tahu kan? Mencari pekerjaan sekarang, susahnya bukan main. Minimal harus ada orang dalam. Syaratnya pun kadang, diluar akal sehat. Di luar negeri saja, tak begitu berbelit."

     Ben mendengarkan curahan Yono yang sesekali mengelap mangga dengan kain yang diselempangkan dipundaknya, lalu memasukkanya kedalam keranjang kayu.

       "Lalu?"

        "Lalu apanya?" sanggah Yono. "Aku sekarang bekerja apa?" sambung Yono seolah sudah tahu arah pertanyaan Ben. "Ya begini ini. Menjaga rumah kosong ini agar tetap terawat. Pak RT memintaku merawat rumah ini yang pemiliknya tinggal di Bekasi. Mangga yang aku petikpun, sebagian aku jual, sebagian aku bagi kepada yang lain. Aku juga mendapat upah untuk merawat rumah ini. Walau tak besar, tapi patut disyukuri."

       Keranjang kayu milik Yono terlihat hampir penuh dengan buah mangga hasil petikkannya. Mangga arumanis. Rumput - rumput hasil mengarit di halaman rumat kosong itu, Yono masukkan kedalam karung. Ada sekitar 3  karung besar hasil mengarit. Yono menaruhnya diatas gerobag sejajar dengan keranjang kayu yang berisikan mangga.

         "Rumput yang kamu kumpulkan itu untuk apa?"

         "Untuk pakan kambing milik Pak RT."

          "Dapat upah juga?"

           Yono tak langsung menjawab pertanyaan Ben. "Oh kalo itu tidak, maksudku tak selalu. Kadang dapat, kadang dibarter dengan yang lain, minimal dikasih makan sama Pak RT. Lalu, kamu ada keperluan apa tadi aku liat dari toko alat tulis seberang?" Giliran Yono yang mengajukan pertanyaan.

        "Oh, aku habis membeli materai dan map."

       "Kalau begitu aku duluan ya," pamit Yono. "Ini untukmu," ucap Yono sambil memberikan satu kantong plastik berisikan buah mangga hasil petikkanya.

        "Ah, repot - repot amat, No. Lagi pula, kamu buru - buru sekali?"

        "Sudah ditunggu Pak RT. Belum lagi aku harus menjual sebagian mangga ini dipasar. Setelah itu, aku mau memancing."

         "Mancing?"

          "Lumayan, untuk menu makan beberapa hari."

          Ben terdiam, lalu terlihat tertawa kecil.

         "Kenapa kamu tertawa seperti itu?" ucap Yono.

        "Tidak apa - apa. Katanya pengangguran, tapi kok jadwal kegiatanmu padat sekali."

        "Ah, sialan! Kamu meledekku?" protes Yono. Tak lama, Yono pun ikut tertawa.

        Ben  dan Yono pun berpisah. Ben melanjutkan perjalanannya dengan sepeda motornya menuju Kampung Jasem, sebuah wilayah perbatasan Kota dan Kabupaten. Minggu itu, Ben ada sebuah keperluan. Ia diminta untuk mengambil sebuah dokumen. Ben, teringat dengan janji nanti malam. Ia diundang oleh Bu Umar untuk makan malam. Lebih tepatnya untuk mencoba menu baru warung makannya. Sejak kejadian itu, warung makan Bu Umar berangsur - angsur kembali normal.

       "Kamu tahu siapa yang melakukan itu?" Ben teringat dengan pertanyaan Rawi. "Orang itu kini sakit," sambung Rawi lagi.

          Tapi Ben, tak begitu memikirkanya. Ben hanya ingat, barang siapa berbuat buruk kepada orang lain, sesungguhnya ia sedang menyakiti dirinya sendiri. Barang siapa berbuat baik kepada orang lain, susungguhnya kebaikan itu akan kembali kepadanya.

      Ben pun sampai di komplek perumahan yang dituju. Tapi, ia masih mencari - cari blok yang ia catat di handphonenya. Akhirnya, rumah yang ia cari - cari pun ketemu.
      
        "Kulonuwun," panggil Ben dari luar rumah.
          
          Baru satu kali panggilan, terdengar suara orang membuka pintu dari dalam. Seorang laki - laki, terlihat menuju ke arah Ben.

         "Ben, ya!" sapa orang itu.
         
          Ben terdiam sejenak. Bagaimana mungkin, orang itu tahu kalau yang datang adalah dirinya? Bisa saja kurir paket, debt collector, atau petugas PLN. Secara statistik pun, peluang menebak sesuatu dengan tepat sangat kecil. Kecuali orang itu pernah melihat fotonya sebelumnya.

       "Loh, malah ngelamun. Masuk toh," ucap orang itu.

      Ben pun masuk kedalam rumah orang itu. Halamannya begitu asri penuh dengan pepohonan dan pot bunga.

        "Pak Sani, ya?" tanya Ben memastikan bahwa orang itu adalah orang yang ia cari. Jangan sampai salah, karena Ben diminta untuk mengambil dokumen penting.

        "Bener," jawab Pak Sani polos.

         Walau Pak Sani sudah terlihat tua, tapi pembawaanya seperti anak gaul SMA. Pasti saat sekolah atau saat kuliah, pernah menjadi Ketua OSIS atau aktivis kampus.
    
       "Ini dokumennya sudah disiapkan. Tapi masih dalam bentuk draft, ya. Ini dibawa dulu, nanti kalau sudah sepakat antar ke-dua belah pihak, baru tanda tangan diatas materai," ucapnya gamblang.

         Ben pun hanya mengangguk dan mengambil dokumen yang terbungkus sebuah map plastik warna biru muda.

        "Ngomong - ngomong, rumahnya dijual toh, Pak?" Ben memberanikan bertanya, karena tadi melihat sebuah tulisan "Dijual" yang ditempel di luar pagar.

         "Masa diasuransikan? Sampeyan mau beli, toh?" Lagi - lagi, Pak Sani menjawab dengan lelucon. Tapi satu yang Ben yakini, walau baru pertama kali bertemu, Pak Sani pasti orang berpendidikan.

         "Ah, enggak pak. Uang dari mana? Orang saya cuma penjaga makam kok."

         Pak Sani tertawa mendengar jawaban Ben. Ben hanya terdiam, dalam hatinya, ia berkata, apanya yang lucu?

        "Sampeyan berarti belum kenal," sahut Pak Sani.

        "Belum kenal siapa, pak? Maaf, saya kurang paham."

        "Tuhan Sang Pencipta, kalau mau ngasih uang ke hambanya, tak peduli orang itu kerjanya apa? Mau penjaga makam, penjual kaki lima, bahkan ke seorang pengangguran pun. Kalau Dia itu berkehendak, detik itu pun, terjadi. Tidak ada yang bisa menghalangi."

        Ben terdiam. Tiba - tiba, kakinya agak bergetar. Ia seperti sedang ditampar oleh sebuah kebenaran yang terkadang seringkali dilupakan. Ben semakin yakin, bahwa Pak Sani bukan hanya orang yang berpendidikan, tapi juga mempunyai pemahaman ilmu yang mendalam.

       Perjumpaan yang cukup singkat. Namun hari itu, Ben mendapatkan banyak hal berarti dari Pak Sani. Ben pun berpamitan. Ia mengendarai sepeda motornya ditemani cahaya senja yang mulai menampkkan sinarnya. Satu pesan dari Pak Sani sebelum berpisah, "Jangan Nganggur. Nganggur Itu Berat. Biar Aku Saja."

        Pesan yang disampaikan Pak Sani disampaikan dengan ringan. Sifatnya yang kadang ngocol, menjadikan pesan yang disampaikan Pak Sani mudah untuk ditangkap, tanpa terasa digurui. Ben pun tiba - tiba teringat dengan penelitiannya yang mangkrak ditengah jalan. Pertemuan dengan Pak Sani, membuatnya kembali termotivasi. Siapa tahu impiannya bisa melanjutkan kuliah di Yale University bisa terwujud, bukan?

         

    

Sarjana Penjaga Makam (Judul Horor, Cerita Penuh Makna)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang