Hate Monday

80 5 0
                                    


Ben begitu biasa disapa. Meninggalkan pekerjaannya di sebuah perusahaan dan melepaskan status sebagai karyawan tetap dengan gaji dan tunjangan – tunjangan yang lebih dari cukup. Ia mulai menikmati pekerjaannya sebagai petugas penjaga makam. Tak banyak perusahaan yang memberikan gaji dengan nominal yang begitu tinggi seperti di perusahaan Ben, apalagi jabatannya sebagai kepala bagian di perusahaan itu.

Jam hampir menunjukkan pukul 9 pagi. Ben sedang merapikan rumput – rumput di area pemakaman. Pemakaman tempat Ben bekerja memang seperti di design seperti taman dengan banyak pepohonan dan tumbuh – tumbuhan. Apalagi rumput – rumput di area pemakaman itu tak kalah dengan rerumputan seperti di klub – klup sepak bola Eropa, rapi dan enak dipandang.

"Ben!" panggil seseorang.

Terlihat seorang pria berjalan menghampiri Ben. Lelaki itu mengenakan baju koko lengan pendek warna biru muda dengan tangan kanannya memegang seplastik es kelapa muda.

"Ah kau, Bi!" sahut Ben melihatnya menghampirinya dan lalu duduk tak jauh darinya. Di atas rerumputan sambil menyeruput es kelapa muda yang ia pegang. Lelaki itu bernama Sahabi, tapi biasa dipanggil Abi.

"Apa kau mau?" ucap Abi menawarkan es kelapa muda yang ia genggam kepada Ben.

"Tidak, terim kasih. Dari mana kamu memangnya?"

"Joki!"

"Maksudmu? Joki apa? Joki three in one? Memangnya ada di kota ini?" tanya Ben heran sambil sesekali memeriksa kondisi tumbuh – tumbuhan di area pemakaman.

"Joki doa," sahut Abi.

"Ah," hela Ben sambil tertawa setengah terkejut menganggap apa yang diutarakan oleh Abi hanya gurauan saja.

Beberapa pedagang terlihat di area pemakaman itu. Sebagian hanya melintas di area dalam pemakaman, sebagian lain terkadang terlihat berteduh di sekitar pepohonan, apalagi saat waktu sudah siang. Area pemakaman itu memang seringkali dilewati oleh pedagang, bahkan saat hari sudah mulai gelap. Mereka seakan tak takut kalau yang mereka lintasi adalah area pemakaman.

"Mungkin rasanya aneh didengar oleh banyak orang pekerjaan itu. Aku pun tak pernah mengira akan berkutat dengan pekerjaan itu," ujar Abi. "Joki doa memang hanya sebutan orang – orang saja. Menurutku, mereka yang memerlukan jasaku itu, sepengamatanku adalah mereka yang terlalu sibuk dengan dunia," beber Abi lagi. "Bahkan mereka tak tahu bagimana cara mereka berdoa kepada Tuhannya. Mereka tak yakin dengan doanya," sambungnya lagi.

"Maksudmu? Tapi ngomong – ngomong, bagaimana awal mula kamu berkecimpung menjadi joki doa? Bukankah kamu sebelumnya adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan?" tanya Ben mulai penasaran. Ben meletakkan perkakas yang ia pegang dan duduk tak jauh dari Abi.

"Semuanya gara – gara Senin," ucap Abi.

"Senin? Senin siapa? Senin si pedagang cendol itu?"

Abi tertawa mendengar perkataan Ben. "Bukan pedagang cendol. Aku keluar dari perusahaan tempatku bekerja dulu, itu karena entah mengapa setiap hari Senin aku merasa malas untuk bekerja, sampai akhirnya aku sering tak masuk di hari Senin, dan pada akhirnya aku memutuskan untuk resign."

Ben terdiam mendengar cerita Abi. Ia seakan teringat dengan Mandra salah satu temannya yang juga sama seperti Abi tidak meyukai hari Senin yang pada akhirnya, ia pun memutuskan untuk resign dan membuka usaha. Bahkan usahanya meliburkan karyawannya di hari Senin. Entah mengapa, hari Senin seperti menjadi momok yang menakutkan untuk sebagian pegawai.

"Lalu, bagaimana awal mula kamu menjadi seorang joki doa?" tanya Ben.

Abi terlihat tertawa kecil. Ia terlihat terdiam sejenak. Mungkin mencoba untuk mengingat – ingat kembali awal mula bagaimana ia bisa menjadi seorang joki doa. Walaupun Abi sendiri tak pernah menganggap ia adalah seorang joki doa. Joki doa yang melekat pada dirinya memang berawal dari celetukan orang – orang saja saat itu.

"Setelah aku memutuskan resign dari pekerjaanku, saat itu aku masih ingat sekali, siang itu dan kebetulan hari itu adalah Senin aku melintasi pemakaman ini. Seseorang tiba – tiba memanggilku dengan raut wajah setengah kebingungan. 'Bi, kami membutuhkan bantuanmu. Cepat, ayo kita ke Blok B'. Aku pun menurutinya. Aku pikir aku akan diminta untuk membantu menggali kubur," terang Abi.

"Tapi nyatanya?" tanya Ben.

"Aku diminta memimpin doa setelah proses pemakaman."

"Bukankah seharusnya dari pihak keluarga ada yang memimpin doa?" tanya Ben heran.

"Seharusnya seperti itu, tapi saat aku tiba, jumlah peziarah bisa dihitung dengan jari tangan. Mereka pun tak ada satupun yang tahu doa yang dipanjatkan setelah proses penguburan. Setelah doa selesai pun, aku diminta dari pihak keluarga untuk datang di acara tahlilan. Betapa terkejutnya aku setelah sampai di rumah mereka, hanya segelintir saja yang datang. Aku pun menelepon teman – temanku untuk datang di acara tahlilan keluaga mereka, tentunya setelah seijin mereka dan dengan senang hati mereka malah memintaku untuk mengundang sebanyak mungkin untuk hadir mendoakan. Padahal mereka adalah keluarga yang kaya raya."

Ben terdiam mendengar cerita Abi. Ia teringat dengan pesan yang selalu disampaikan oleh guru agamanya dulu saat di bangku sekolah. Sehebat apapun manusia, sekaya apapun dia saat hidup, kelak saat dia mati, ia membutuhkan bantuan orang lain, bahkan untuk mendokan dirinya sendiri yang sudah kaku membujur.

"Sejak saat itu, kamu mulai menjadi joki doa?" tanya Ben.

Abi hanya tertawa. "Aku bukan joki doa. Aku hanya membantu mendokan saja. Bahkan aku tak mematok harga."

"Nah itu yang ingin aku tanyakan. Berapa bayaranmu itu?"

"Tidak, aku tidak meminta bayaran. Mereka sendiri yang memberiku. Aku tak pernah memintanya, apalagi mematok harga," tegas Abi.

"Tapi ngomong – ngomong, siapa gerangan orang yang bertemu denganmu itu dan tiba – tiba memintamu untuk memimpin doa?"

"Tentu saja kamu juga mengenalnya," jawab Abi.

"Ah, apa dia juga penjaga makam di sini?"

"Si Seno!" ucap Abi.

Kini Ben yang tertawa mendengar nama itu. "Dia memang kadang – kadang bertingkah jenaka, kadang – kadang Seno memang seperti itu, ya," sahut Ben diikuti tawa Abi.

Mereka berdua seakan bercerita dan tertawa seolah bukan di area pemakaman. Tiba – tiba terdengar seseorang memanggil. Ben dan Abi pun terlihat mencari asal suara itu. Terlihat seseorang sudah berdiri tak jauh dari mereka dengan memanggul cangkul di pundak kanannya.

"Ben, Bi! Ayo kita come on," ujar lelaki itu sambil memberi kode dengan tangannya.

Abi pun beranjak dari tempat duduknya. Ia berdiri dan menghampiri si lelaki itu, Rawi.

"Kalian duluan saja. Nanti aku menyusul," ucap Ben.

"Okelah kalau begitu," jawab Rawi berjalan dengan Abi.

Kalau Rawi sudah memanggil dan terlihat membawa cangkul seperti itu, pertanda bahwa ada tugas akhirat sudah menunggu. Ben terlihat sedang merapikan perkakas yang tadi ia gunakan. Ben pun terlihat menyusul Abi dan tentu saja Rawi. 

Sarjana Penjaga Makam (Judul Horor, Cerita Penuh Makna)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang