Resolusi

35 3 0
                                    

Pagi itu Rawi sudah terlihat di area pemakaman lengkap dengan perkakas yang biasa digunakan oleh tukang kebun. Tak lupa, Rawi mengenakan sarung tangan untuk memotong maupun membersihkan rumput – rumput, maupun ranting – ranting pohon yang sudah terlihat tidak rapi.

Jam belum genap menunjukkan pukul 6 pagi. Rawi begitu terlihat bersemangat menjalani aktivitas sebagai panjaga makam. Rawi terlihat begitu telaten membersihkan setiap area pemakaman. Makam di area itu memang hampir seluruhnya tak ada yang dimarmer atau kijing, tapi ditumbuhi dengan rerumputan yang dirawat dengan rapi.

Bahkan, di salah satu area ditumbuhi bunga mawar yang ditata seperti taman. Pengeola makam memang berusaha untuk mendesign area pemakaman sebagus mungkin, rapi, dan tidak menyeramkan. Semakin hari, Rawi lebih rajin dan produktif. Walau pergantian tahun masih lama, tapi Rawi seperti mempunyai resolusi tersendiri.

"Biasakan, untuk beraktifitas. Mengisi waktu dengan banyak hal. Seringkali, rasa malas membuat kita hilang arah." Rawi teringat dengan ucapan Seno. Walau usianya sepantaran, tapi sepertinya Seno lebih bijak dan kaya pengalaman.

Terlihat beberapa orang sedang melakukan olah raga. Salah satu area makam yang luasnya hampir seluas lapangan sepak bola itu memang seringkali digunakan untuk beraktifias. Entah mengapa, lahan itu dibiarkan kosong? Letaknya di ujung berbatasan dengan ruas jalan. Disana, Seno seringkali melakukan solo camping pada malam hari ditemani api unggun .

Rawi sesekali mengarit rumput – rumput dan merapikan rumput  yang tingginya tidak sama agak terlihat rapi. Ia mengumpulkan potongan rumput – rumput itu di tampah bambu, lalu memasukkannya ke dalam karung beras yang sudah tidak terpakai. Biasanya, nanti ada warga yang mengambilnya untuk pakan ternak.

"Wi, Rawi!" panggil seseorang. "Kebetulan bertemu kamu," sambungnya lagi.

"Wah, ada Pak?" tanya Rawi.

"Ini loh, ada sesuatu buat kamu," ucapnya sambil memberikan sebuah amplop panjang coklat.

"Buat saya, Pak?" tanya Rawi sedikit heran.

"Iya, buat kamu."

"Surat apa ini, Pak? Apa saya dipecat?"

"Opo toh. Bukan surat. Itu sedikit uang buat kamu. Anggap saja bonus dari pengurus makam karena kamu sudah rajin bertugas menjaga makam," bebernya.

"Bonus?" tanya Rawi semakin heran.

"Ya sudah, bapak ke pasar dulu ya," pamit orang itu.

Antara bingung dan senang, Rawi membuka amplop itu. Isinya uang yang tidak terlalu banyak, tapi juga tidak bisa dibilang sedikit. Orang itu adalah Pak Nenda. Rawi teringat dengan pertemuannya dengan Pak Nenda. Orang yang pertama kali bertemu di pemakaman dan menawarkan pekerjaan untuk menjadi petugas makam kepadanya dan Ben setelah bergelut dengan jambret di pemakaman.

Pengelola makam memang cukup memperhatikan para penjaga makam. Walau bayarannya tidak sebanyak pekerja kantoran pada umumnya. Tapi dari mereka yang sudah bekerja lama, pengurus makam begitu peduli dengannya, seperti memberikan sembako gratis pada hari – hari tertentu seperti lebaran, malam tahun baru, atau hari tertentu lainnya. Membayarkan secara kolektif iuran kesehatan dari kocek pribadi para pengurus makam. Belum lagi, THR lebaran dan juga terkadang bonus untuk para pekerja yang dianggap bagus dalam penilaian kerjanya.

Ketua pengurus yang sekaligus ketua dewan masjid adalah seorang dokter spesialis. Pengurus lainnya berasal dari latar belakang profesi yang berbeda – beda. Termasuk Pak Nenda, dulu ia adalah seorang PNS. Setelah pensiun, ia memilih untuk berwirausaha.

Rawi kembali meneruskan pekerjaannya. Kali ini semangatnya bertambah extra. Rawi dibuat cukup terkejut, saat melihat salah satu nisan. Usianya menyentuh
lebih dari 100 tahun saat meninggal. Sedikit sekali orang yang harapan hidupnya bisa menyampai usia 100 tahun.

"Rawi!" panggil seseorang.

Laki – laki itu sedang duduk di bawab pohon ketapang sambil melambaikan tangannya ke Rawi. Rawi pun menghampiri orang itu. Madi yang ternyata sedang bermain catur. Memang, terkadang saat waktu luang, sesekali para penjaga makam meluangkan bermain catur.

"Wi! Pagi sekali sudah bekerja. Tumben, tak bersama Ben," ucap lawan catur Madi yang tak lain adalah Seno.

"Bukankah Ben sedang pergi dengan salah satu pengurus makam ke salah satu keluarga yang dimakamkan disini?" jawab Rawi. "Kalau tak salah, mereka pergi setelah subuh tadi," sambungnya lagi.

"Oiya, aku dengar karena ada salah satu jenazah di pemakaman  yang ingin dibongkar," timpal Madi.

"Dibongkar?" tanya Rawi.

"Kalau aku tidak salah karena jenazah itu ingin dipindahkan di pemakaman keluarga," sahut Madi. "Tapi, apa kalian tahu?" imbuh Madi.

Seno dan Rawi saling mengernyitkan dahinya.

"Kenapa memangnya?" tanya Rawi.

"Sebetulnya, makam itu sudah dibongkar beberapa hari yang lalu dan akan dipindahkan, tapi saat dibongkar ... ," Madi menghentikan ceritanya.

"Jangan menakut – nakuti," sergah Rawi yang pada dasarnya memang agak penakut.

"Jenazah itu masih utuh. Bahkan kain kafannya masih terlihat baru. Bukan itu saja, ada aroma yang begitu harum disekeliling jenazah itu. Padahal, sudah dikuburkan selama 30 tahun. Wajahnya pun terlihat cerah. Saat aku lihat nisannya, usia saat meninggal baru 30 tahun," papar Madi.

"Wah berarti, jenazah itu sudah berusia 60 tahun, kan," ucap Rawi.

Madi, Rawi, dan Seno tiba – tiba kompak terdiam. Hal apa yang menyebabkan jenazah itu begitu spesial. Secara ilmiah, seharusnya jenazah itu sudah hancur dimakan cacing – cacing maupun makhluk dibawah tanah.

"Aku jadi penasaran menunggu berita dari Ben. Apa jadi jenazah itu dipindahkan?" tanya Seno.

"Ohya, pagi ini, aku akan mentraktir kalian makan di warung Mbah Komar," ucap Rawi.

"Wah, ada gerangan apa, Wi? Kebetulan, aku sudah rindu dengan masakannya," sahut Madi.

"Tentu saja kamu merindukannya. Di Australia mana ada bukan?" ledek Rawi.

"Bisa saja kau," balas Madi.

Walau menunya cuma sederhana, tapi rasanya begitu luar biasa. Telur orak arik, tempe oreg, dan mendoan dengan nasi yang masih hangat. Apalagi alasnya dari daun pisang, tak ada piring. Hanya 3 menu itu saja. Rawi, Madi, dan Seno pun menuju warung Mbah Komar yang kini diteruskan oleh istri dan anaknya. Warung itu cukup unik, berada di tengah perkebunan dengan banyak pepohonan. Hanya tersedia beberapa meja dan kursi kayu saja. Tak ada atap genteng seperti warung pada umumnya. Memasaknya juga masih memakai kayu bakar. Tempatnya masih berada dekat dengan area pemakaman. Kendalanya hanya satu, jika hujan turun.

"Sen, apa kamu tak berniat camping di kebun warung Mbah Komar?" celetuk Madi

"Boleh juga," jawab Seno singkat dan padat.

Hari itu, Rawi bertekad akan mengisi hari – harinya dengan produktifitas. Selain sibuk mencari lowongan kerja yang lebih baik, ia juga kadang ikut membantu Seno menanam tanaman hidroponik. Terkadang, Rawi juga menekuni hoby barunya, memancing.

Sarjana Penjaga Makam (Judul Horor, Cerita Penuh Makna)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang