Property

47 3 3
                                    


Luas wilayah Ben tinggal tak begitu luas, tapi bukan berarti sepi. Pekerjaan idaman di daerah Ben tinggal mungkin hampir sama seperti daerah lainnya. PNS, pegawai bank, pegawai rumah sakit, guru, atau setidaknya berstatus bukan sebagai pengangguran. Sore menjelang malam itu, Ben masih berkutat di kampus tempatnya mengajar.

Sedari pagi, Ben mengikuti seminar di kampus walau sedang libur semester. Seminar itu wajib bagi semua dosen pengajar. Setelah selesai mengikuti seminar, Ben pun diminta mengkoreksi tugas mata kuliah para mahasiswa yang sedang mengikuti semester pendek. Belum lagi, ia harus membuat power point untu mengajar mata kuliah di semester baru nanti.

Diam - diam, ada sosok yang sedari tadi memperhatikan Ben.

"Kamu Ben, ya?" sapa sosok itu.

Ben terdiam sambil menatap wajah seseorang yang menyapanya.

"Be... be... betul...," ucap Ben mendadak gagap. Sosok yang menyapanya adalah wanita cantik yang belum pernah Ben lihat sebelumnya di kampus itu.

"Aku Jelita. Dosen baru disini," sosok itu memperkenalkan diri.

"Ohya, pantas aku tak pernah melihatmu sebelumnya."

"Aku baru sebulan disini," balas Jelita lagi. Wajahnya begitu cantik didukung dengan badannya yang terlihat bagus. Ini pasti menjadi dosen idaman para mahasiswa disini.

"Wah, selamat bergabung, ya. Mengajar matkul apa?" tanya Ben.

"Kewirausahaan dan Manajemen Bisnis."

"Oh, aku baru ingat. Kamu pengganti Pak Iwan, ya?"

Jelita hanya mengangguk dengan senyum manisnya. Pak Iwan sebetulnya sudah memasuki masa pensiun. Tapi karena saat itu, kampus belum mendapatkan dosen pengganti, Pak Iwan pun diminta mengajar satu semester lagi. Hari sudah gelap. Jelita dan Ben menyudahi aktifitasnya. Mereka berdua berjalan menuju area parkir sambil berbincang.

"Ben!" panggil seseorang. "Kamu pulang dengan istrimu, ya, hari ini," ucap orang itu.

Sialan! Ben menggeretu dalam hatinya. Ia merasa tak enak hati dengan Jelita.

"Maaf, ya. Dia memang suka begitu."

"Tidak apa - apa, kok," ucap Jelita sambil tersenyum. Membuat Jelita tampak makin cantik dibawah sorotan lampu di taman parkir

"Kalau begitu, aku duluan, ya," pamit Jelita menuju mobil sedannya.

"Hati - hati, ya," balas Ben.

"Kamu juga," balas Jelita tak mau kalah.

Ben menuju sepeda motornya. Ben sesekali mencari sosok yang tadi sempat memanggilnya. Sosok itu adalah Baron. Lulusan Teknik Industri yang memilih berjualan disekitar kampus. Baron memang suka cletak cletuk kalo berbicara. Tapi, kadang terlihat suka melucu.

Ben pun mengendarai sepeda motornya. Ia menggunakan helm model pilot lengkap dengan pelindung matanya seakan bersiap menjelajah dunia. Ben menuju pusat kota, lalu ke arah timur. Semakin ketimur terasa semakin sepi, walau masih di area kota. Ben melihat sosok yang sudah tidak asing lagi sedang mengamati rumah kosong tepat di pinggir jalan.

"Wi! Sedang apa kamu?" panggil Ben.

"Ah, gila kamu, Ben! Mengagetiku saja," ucap Rawi dengan muka yang terlihat agak pucat. "Aku pikir setan," sambung Rawi.

"Wuuuhh! Sedang apa sih kamu?" tanya Ben penasaran sambil protes.

"Mengamati rumah ini."

Di pagar dan salah satu sudut rumah itu tertulis disebuah papan, "Rumah Ini Dijual. Hubungi Rawi" lengkap dengan nomor telepon yang bisa dihubungi.

"Kan kamu sudah menaruh plang di rumah itu lengkap dengan nama dan nomor teleponmu. Kenapa harus kamu tunggui disini?" tanya heran Ben.

"Aku dengar, rumah ini sulit terjual karena ada info kalau rumah ini singit. Jadi, aku mau mengamati," jawab Rawi

"Sudah, ajak Seno camping aja nanti di rumah itu," sahut Ben.

"Wah, idemu briliant juga, Ben" timpal Rawi sumringah.

"Ayo, kita pulang!" ajak Ben.

Dua kawan dekat itu berboncengan mengendarai sepeda motor. Menyelami udara yang sudah beberapa hari ini cukup gerah, walau di malam hari. Semenjak pabrik tidak beroperasi, Rawi mengambil kesempatan menjadi agen property. Lumayan komisinya kalau ada rumah yang berhasil terjual Baginya, hari - harinya harus diisi dengan berusaha.

"Ben, makan dulu, tak?" ajak Rawi.

"Apa kamu belum makan?"

"Dari pagi, aku hanya makan roti," sahut Rawi.

"Pantas saja ... Ah, tidak jadi."

"Pantas saja, apa Ben?" Rawi penasaran.

" Aku juga lupa, mau bilang apa tadi?"

Obrolan dua karib itu semakin malam semakin absurd. Ben berhenti dipinggir jalan seperti sedang memperhatikan sesuatu.

"Kenapa berhenti, Ben?" tanya Rawi.

"Perhatikan orang itu," kata Ben.

Ben dan Rawi memperhatikan seseorang yang sedang membeli sesuatu di warung sembako. Orang itu sedang membetulkan plastik yang berisi beras, telur, dan beberapa mie instan. Tapi, raut wajahnya memancarkan sebuah kebahagiaan paripurna. Mungkin, orang itu tak setiap hari bisa mendapatkan beras, telur, dan mie instan.

Bagi beberapa orang, memiliki makanan yang cukup pada hari itu adalah sebuah kebahagiaan, walau tak begitu mewah. Kamu tak bisa membandingkan kebahagiaan orang yang satu dengan yang lainnya. Malam itu, Ben dan Rawi seakan diperlihatkan sebuah kejadian yang sebetulnya sederhana, tapi penuh makna yang mendalam.

"Wi, Ben! Kalian ngapain bengong disini?" sapa Adan.

"Kenapa toh, Dan?" sahut Rawi.

"Di acara sekolahan ada kesurupan masal. Seno dan yang lainnya sudah kesana."

Ben dan Rawi pun kembali menggeber sepeda motornya mengikuti Adan. Adan adalah adalah guru di salah satu sekolah. Padahal, salah satu tokoh setempat, sudah mengingatkan pihak sekolah untuk tidak mengadakan kegiatan di malam hari. Kalaupun mau mengadakan kegiatan malam hari harus ada pendampingan.




Sarjana Penjaga Makam (Judul Horor, Cerita Penuh Makna)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang