Malam itu jam sudah menunjukkan hampir 8 malam. Ben sedang duduk di sebuah pos yang terletak di pertigaan jalan tak jauh dari area pemakaman. Malam itu terlihat sunyi. Lampu – lampu penerangan di jalan pun terlihat tak semuanya menyala. Terlihat soroton cahaya dari beberapa kendaraan yang melintas dan suara kendaraan yang setidaknya membuat suasana tidak terlalu menyeramkan.
"Ben!" suara Rawi memanggil. Sosok itu terlihat berjalan menghampiri Ben yang sedang asik menikmati heningnya malam.
Seseorang yang bisa dibilang baru dikenal, tapi rasanya seperti sudah mengenal begitu lama. Rawi anak seorang pensiunan PNS, darinya Ben banyak belajar hal. Rawi pernah mendapatkan kesempatan belajar ke Jepang saat duduk di bangku SMA selama beberapa bulan. Rawi juga pernah becerita suatu malam ia pernah di gerebeg bersama praktisi – praktisi judi alias orang – orang yang sedang bermain judi. Waktu dan tempat seakan tak berpihak kepada Rawi saat itu, atau mungkin semesta sedang memberikan pembelajaran hidup kepadanya.
"Kenapa kau memintaku datang sekarang? Bukankah seharusnya pukul 11 malam nanti?" tanya Ben seakan memprotes Rawi.
"Memang betul misi itu baru akan kita lakukan pukul 10 malam, tapi Madi meminta kita berdua untuk datang lebih awal. Katanya kita akan diajak ke sebuah tempat terlebih dahulu."
Bim ... ! Bim ... !
Terlihat mobil yang berhenti tepat di depan Ben dan Rawi dengan suara klakson seperti memanggil – manggil mereka berdua. Seseorang memanggil dari balik dalam mobil yang memang kacanya tidak tertutup sepenuhnya.
"Ben! Wi! Ayo masuk. Ayo kita come on!" ucap lelaki di balik kaca jendela mobil itu.
Ben dan Rawi mengamati mobil itu. Mobil sedan tua berwarna abu – abu.
"Kamu Di. Aku pikir siapa?" ucap Rawi.
"Betul. Aku pikir siapa?" sambung Ben. "Memangnya kita mau kemana?" tanya Ben.
"Sudah masuk dulu saja. Ngobrolnya sambil jalan saja," sahut Madi. Lelaki yang menyetir mobil itu adalah Madi.
Ben pun masuk ke dalam mobil duduk di samping Madi dan Rawi duduk di belakang.
"Tapi ngomong – ngomong, ini mobil siapa, Di?" tanya Rawi.
"Mobil sekolahan. Aku pinjam," jawab Madi enteng.
"Sekolah mana?" tanya Ben penasaran.
"Sekolah Kejar Paket di sana, sekolah tempat Seno mengajar," jawab Madi.
"Seno mengajar?" tanya Ben lagi.
"Ya, sekolah itu kekurangan pengajar sehingga membutuhkan beberapa orang yang berkualifikasi untuk mengajar," jawab Madi sambil terus mengemudi ditengah heningnya malam.
Madi, Ben, dan Rawi pun menyusuri ruas – ruas jalan kota dengan kecepatan yang tak terlalu ngebut. Kanan kiri jalan terdapat sebuah rumah makan dan terdapat beberapa mobil yang sedang terparkir tepat di pinggir jalan di depan rumah makan yang berjejer. Lampu – lampu kota terlihat terpancar menerangi malam.
Madi pun mengarahkan kemudinya ke arah utara. Kini mereka bertiga menyusuri jalan – jalan yang berisikan pusat perbelanjaan. Terlihat sebuah Mal yang cukup besar, walau tidak sebesar mal – mal di Ibu Kota. Terlihat beberapa hotel dan bangunan yang sepertinya sebuah perkantoran yang tentunya sudah tutup.
"Jadi, kita akan kemana, Mad?" tanya Rawi yang masih penasaran.
"Tenang saja, kita akan makan – makan," sahut Madi.
"Wah, apa kau baru gajian?" tanya Ben asal.
"Untuk makan – makan saja, tak perlu menunggu gajian, bukan?" balas Madi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarjana Penjaga Makam (Judul Horor, Cerita Penuh Makna)
General FictionBen memutuskan resign dari tempatnya bekerja. Iming-iming kenaikan gaji pun tak begitu ia hiraukan. "Ini bukan persoalan uang, tapi ... " ucap Ben. "Tapi apa?" potong Winda salah satu temannya. "Aku sudah mulai tidak menikmati apa yang aku kerjakan...