Jam sudah menunjukkan hampir pukul 9 malam. Rawi terlihat di pos ronda dekat tempat tinggalnya. Ia seperti sedang menunggu kedatangan seseorang. Kebetulan malam itu adalah hari Sabtu atau malam Minggu. Hari yang pada umumnya digunakan untuk sebagian orang beristirahat atau melepas lelah karena selama seminggu terakhir lelah bekerja. Namun tidak untuk Rawi dan kawan-kawan. Rawi terlihat memperhatikan kondisi sekitar. Tidak terlalu ramai, tidak pula terlalu sepi. Sesekali melintas pedagang nasi goring dengan gerobag khasnya.
"Wi!" sapa seseorang dengan sepeda motornya menghampiri Rawi yang sedang duduk di pos ronda.
Lelaki itu adalah Ben. Ia langsung menghampiri Ben dengan menghela nafas.
"Aku pikir kau tidak datang. Hampir saja aku berangkat sendiri," ucap Rawi sedikit lega.
"Berangkat sendiri? Memangnya naik apa?"
"Tentu saja aku masih mempunyai sepeda."
"Lagi pula mana mungkin aku tidak datang. Malam ini kita ditugaskan untuk jaga malam di pemakaman. Walau kita adalah petugas penjaga makam, kita tetap harus mempunyai tanggung jawab dan integritas," seloroh Ben.
Jadwal Ben hari itu memang cukup padat. Setelah menjaga makam sampai pukul 2 siang, ia ditelpon oleh pihak kampus untuk menggantikan salah satu dosen yang berhalangan hadir untuk mengajar kelas karyawan jenjang master. Setelah selesai mengajar, Ben kembali ke pemakaman. Salah satu pengurus meminta beberapa petugas untuk melakukan piket malam. Ben teringat dengan ucapan Madi, "Kalau kita diminta untuk piket malam di pemakaman, itu berarti situasi sedang tidak baik-baik saja."
"Ben, kenapa kamu melamun? Kita harus bersemangat malam ini," tukas Rawi seperti memberikan motivasi kepada temannya itu.
"Bilang saja kau takut, bukan?" tukas Ben.
"Baru kali ini seumur hidupku, menjaga makam pada malam hari. Pantas saja, kita mendapatkan gaji bulanan untuk pekerjaan ini, ternyata ada risiko yang harus ditanggung," terang Rawi.
"Bukankah setiap pekerjaan mempunyai risikonya masing – masing, bukan?"
Ben dan Rawi pun berboncengan menuju tempat bekerja mereka, pemakaman. Tempat yang pada akhirnya menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi semua umat manusia di muka bumi. Menyusuri ruas-ruas jalan di malam hari. Rasanya, jika malam itu tidak ada tanggung jawab terhadap pekerjaan, Rawi akan lebih memilih bersantai dirumah. "Wi, sedang memikirkan apa kau?" tanya Ben memecah kesunyian malam sambil menyetir sepeda motornya.
"Aku hanya teringat dengan perkataan Madi. 'Orang sehat yang paling banyak menganggur kelak yang paling banyak hisabnya'. Jadi, aku sangat bersyukur mendapatkan pekerjaan ini," ucap Rawi.
"Oh, itu mengapa kamu begitu bersemangat," sahut Ben. "Ohya, nanti kita ke kontrakan Madi terlebih dahulu, ya. Aku titip sepeda motorku disana. Setelah itu, kita jalan bersama ke pemakaman," sambung Ben lagi.
"Tapi ngomong-ngomong, ada gerangan apa kita diberikan ronda malam menjaga makam? Apa ada agenda khusus?"
"Ada atau tidak ada agenda khusus, bukankah itu bagian dari pekerjaan, bukan?" ucap Ben.
Ben terus memacu sepeda motornya. Matanya mulia terasa kantuk. Di pertigaan depan, Ben membelokkan sepeda motornya. Kontrakan Madi memang tak jauh dari area pemakaman. Walau tak cukup besar, tapi cukup nyaman untuk melepas lelah setelah seharian bekerja. Terlihat seseorang sedang duduk dibangku kursi panjang yang terletak didepan sebuah pagar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarjana Penjaga Makam (Judul Horor, Cerita Penuh Makna)
General FictionBen memutuskan resign dari tempatnya bekerja. Iming-iming kenaikan gaji pun tak begitu ia hiraukan. "Ini bukan persoalan uang, tapi ... " ucap Ben. "Tapi apa?" potong Winda salah satu temannya. "Aku sudah mulai tidak menikmati apa yang aku kerjakan...