Hampir sepanjang sore, hujan turun. Bahkan, langit terlihat begitu gelap seakan malam datang lebih awal. Akhir - akhir ini, Ben sedang sibuk dengan penelitiannya sebagai seorang dosen. Di negara maju, seorang dosen tidak hanya mengajar, tapi juga seringkali melakukan penelitian. Malam itu, Ben habis berkunjung ke sebuah tempat. Lokasinya tepat disamping bekas bioskop tua. Disana, Ben sibuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang sempat tertunda.
Hampir pukul 9 malam, Ben menyudahi aktifitasnya. Ia pun berkemas dan langsung mengendarai sepeda motornya. Malam itu, udara masih terasa begitu dingin setelah diguyur hujan. Ben melaju ke arah pusat kota, memutar ke arah stasiun. Tepat di sekitar stasiun kereta api, Ben tiba - tiba menepikan sepeda motornya. Ia teringat dengan seseorang.
"Aku akan bekerja diluar, Ben. Walau mungkin setahun atau dua tahun disana. Setelahnya, aku akan kembali kesini, atau mungkin ada takdir lain yang sedang menunggku. Tapi, kesempatan itu sudah pasti akan aku ambil."
Ben terkenang kembali dengan ucapan seseorang. Sosok itu adalah petugas porter stasiun yang tak lain adalah Randu. Randu kini bekerja di negeri orang untuk mencoba peruntungannya mengubah nasib. Ben, akan merindukan kehangatan dari sosok Randu. Randu yang selalu memanggilnya saat berpaspasan di sekitar stasiun dan menawarkan makanan. Walau, ia pun hidup dengan keterbatasan, tapi tak mencegahnya untuk tetap berbagi.
Ben pun kembali menggeber sepeda motornya. Ditengah perjalanan pulang, terlihat seseorang tengah menyalakan api unggun ditengah lapangan dibelakang sebuah bangunan. Dulu, lapangan itu ditembok keliling. Tapi kini, tembok itu dibongkar sehingga dapat langsung terlihat sebuah jalan. Ben pun menghampiri sosok yang sedang menyalakan api unggun itu.
"Wah, dari mana Ben?" ucap sosok itu yang terlihat sedang menghangatkan badan sambil mengatur nyala api unggun.
Ben pun meletakkan sepeda motornya di sembarang tempat tak jauh dari nyala api unggun. Besar lapangannya lebih besar dari lapangan tenis.
"Biasa, ada tugas masa depan," seloroh Ben.
"Barusan Rawi kesini," ucap sosok itu lagi.
"Rawi? Pergi kemana dia?"
"Mengantar kunci ambulance."
Sosok itu adalah Mada. Mantan pegawai bank dan koperasi yang memutuskan untuk resign. Mada pun pernah bekerja sebagai penambang ilegal, walau hanya sebentar untuk menyambung hidup.
"Saat aku bekerja di koperasi, aku seringkali memberikan pinjaman dan menagih saat sudah tiba waktu bayar. Bukannya berhasil menagih, aku malah seringkali meminjami mereka dengan uang pribadiku walau untuk sekedar bertahan hidup satu atau dua hari. Para lansia tua yang seharusnya diperhatikan negara," tutur Mada saat pertamakali bertemu dengan Ben. "Aku tak tega menagih ke mereka. Mereka meminjam uang untuk membeli beras setiap harinya," lanjutnya lagi. Mada adalah anak rantau dari pulau seberang.
Mada terlihat mengambil kayu - kayu kecil di lapangan untuk menambah nyala api unggun.
"Jadi, apa kamu tak berniat melamar pekerjaan kembali?" tanya Ben menemani Mada duduk beralaskan rerumputan kering disekeliling api unggun.
Mada terlihat terdiam. Ia seperti sedang berpikir menjawab pertanyaan Ben.
"Entahlah! Tapi, aku lebih berminat untuk berjualan, entah itu makanan, atau sebuah produk. Setidaknya untuk saat ini," jawab Mada.
Sekarang, Mada bekerja membantu menjaga toko buku - buku bekas. Ia juga menyambi mengerjakan pekerjaan lainnya tanpa pilah pilih. Selama itu menghasilkan, Mada akan mengerjakannya dengan senang hati. Namun ada satu hal yang sangat sekali dihindari oleh Mada, yaitu RIBA.
"Ben!" panggil seseorang. "Sini, kemari sebentar."
Ben pun menghampiri orang itu. Diseberang lapangan itu memang terletak beberapa rumah warga.
"Ada apa, pak?" tanya Ben.
"Ini martabak telor untuk kalian," ucap Pak Irwan.
"Wah, jadi merepotkan ini," ucap Ben.
"Ah, tidak apa - apa. Ini sekalian termos dan gelasnya untuk minum. Saya taruh disini, ya." Pak Irwan meletakkannya di meja teras.
"Waduh makin merepotkan ini, pak.""Tak perlu sungkan. Kalau begitu saya masuk dulu, ya."
"Ohiya, pak. Silahkan."
Ben pun kembali ke lapangan menghampiri Mada dengan menenteng plastik yang berisikan martabak telor spesial yang masih belum dibuka dari kardusnya. Kardusnya masih terasa hangat.
Pak Irwan dan keluarganya adalah warga baru pindahan dari luar kota. Ia adalah seorang pengusaha. Mempunyai tiga anak perempuan. Anak terakhirnya masih duduk dibangku SMA, anak keduanya masih kuliah di Bandung yang setiap akhir pekan pulang ke rumah Pak Irwan. Sedangkan anak pertamanya bekerja disalah satu perusahaan pertambangan."Wah, bawa makanan nih. Panggil yang lain juga, Ben!"
"Boleh. Aku chat Rawi, ya."Malam itu, seakan semesta menemani Ben. Martabak telor spesial dan secangkir teh hangat dari Pak Irwan. Suasana bulan puasa semakin terasa, walau masih beberapa bulan lagi. Ben dan Mada bercengkerama sambil menunggu Rawi yang sedang mengantarkan kunci ambulance. Randu pergi, Mada pun datang. Begitu juga dengan keluarga Pak Irwan yang datang dengan keramahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarjana Penjaga Makam (Judul Horor, Cerita Penuh Makna)
Fiction généraleBen memutuskan resign dari tempatnya bekerja. Iming-iming kenaikan gaji pun tak begitu ia hiraukan. "Ini bukan persoalan uang, tapi ... " ucap Ben. "Tapi apa?" potong Winda salah satu temannya. "Aku sudah mulai tidak menikmati apa yang aku kerjakan...