Pagi itu Ben diminta oleh pengelola makam untuk mengunjungi seseorang. Namun hari itu, Ben harus mendatangi kampus tempatnya mengajar terlebih dahulu. Bukan untuk mengajar, tapi Ben harus menemui salah satu pengurus kampus. Walau jam masih menunjukkan pukul 7 pagi, Ben sudah sampai di taman kampus.
Ben memang harus datang lebih awal. Ben harus 'mencegat' Profesor Harum sebelum memasuki gedung kampus sepagi itu. Jika ia datang satu jam lebih lambat atau sekitar pukul 8 pagi ke atas, sudah dipastikan Ben harus mereschedule pertemuannya dengan Prof. Harum karena jadwal yang begitu padat. Selain menjadi salah satu pengurus kampus, beliau juga adalah ketua departemen penelitian kampus tempat Ben mengajar.
Pagi itu, Ben seakan mengenang saat dulu masih duduk dibangku perkuliahan. Ia teringat dengan beberapa teman-temannya saat itu. Hardi yang kini menjadi seorang pilot, Raja yang kini menjadi seorang kepala cabang di sebuah perusahaan, dan Ringgit yang memilih menjadi seorang peternak walau sebelumnya menjadi karyawan di sebuah perusahaan. Ah, rasanya waktu berlalu begitu cepat.
"Ben!" tiba – tiba seorang wanita cantik menyapa Ben yang sedang duduk melamun. Wanita itu seperti sudah mengenal Ben.
"E..., ya," sahut Ben. Ben merasa pernah melihat wanita itu di ruangan Prof Harum, tapi ia tak tahu siapa wanita itu. Rambutnya panjang lebat bergelombang.
"Aku Syila. Aku salah satu asisten Prof Harum," ucap Syila sambil menjulurkan tangannya menyalami Ben.
"Ah .. ya. Aku rasa pernah melihatmu di ruangan Prof Harum. E ... Apa ada keperluan denganku?"
tanya Ben agak ragu."Maaf sebelumnya, aku diminta bertemu denganmu oleh Prof. Beliau menyampaikan permintaan maaf karena pagi ini, beliau ada sebuah keperluan ke luar kota untuk menjadi narasumber. Sebetulnya, aku pun harus menemani beliau pagi ini. Namun, Prof memintaku untuk menemuimu terlebih dahulu. Katanya ada beberapa dokumen yang harus beliau tandatangani. Jadi, aku menemui untuk meminta dokumen itu untuk aku berikan ke Prof untuk ditandatangani nanti," jelas Syila dengan suara yang lembut.
"Wah, kalau seperti ini malah aku yang meminta maaf kepadamu sudah merepotkanmu. Apa tidak apa – apa ini?" ucap Ben merasa tidak enak kepada Syila. Wanita cantik itu yang sepertinya sedikit lebih muda dari Ben atau bahkan mungkin sepantaran.
"Tentu saja tak masalah. Lagi pula memang ada yang harus aku ambil terlebih dahulu di ruanganku."
Ben terlihat mengambil beberapa dokumen di dalam tasnya. Sesekali ia memeriksa kembali dokumen – dokumen yang akan ditandatangani oleh Prof Harum. Jangan sampai sudah jauh – jauh diberikan oleh Prof Harum, tapi ada dokumen yang salah dibawa.
"Ini dokumen – dokumennya. Sekali lagi mohon maaf telah merepotkanmu," ucap Ben.
"Tak masalah. Jika semua sudah ditandatangani oleh Prof Harum aku akan mengabarimu lagi. Kalau begitu aku duluan, ya, Ben," ucap Syila menuju ke dalam gedung.
Ben pun masih terlihat duduk di sebuah taman kampus itu. Padahal hari masih pagi. Ia pun kembali memeriksa tasnya. Khawatir ada beberapa dokumen yang salah dibawa atau mungkin terlupa. Setelah memastikan semuanya aman, Ben pun bergegas menuju parkiran motor. Ia kembali teringat dengan Raja. Dulu, ia seringkali menebengnya apabila pulang dari kampus saat ia kuliah di salah satu kota.
Ben segera mengendarai sepeda motornya menuju alamat yang sudah diberikan kepadanya. Alamat itu terletak di Jalan Merbabu yang sebenarnya lebih dekat dengan area pemakaman. Ben harus berbalik ke arah sana. Ia tiba – tiba teringat dengan Syila, salah satu asisten Prof Harum tadi. Ah, kenapa aku tiba – tiba memikirkannya. Ben seakan langsung menepis kehadiran Syila dipikirannya.
Sedari kemarin, bahkan sepanjang perjalanan menuju alamat yang dituju, Ben merasa penasaran ada apa gerangan? Bahkan, menurut Seno, pengelola pemakaman disambangi beberapa orang dari kepolisian. Namun, Seno pun tak begitu tahu apa yang ditanyakan oleh orang – orang yang mengaku dari pihak kepolisian.
Ben terus menggeber sepeda motornya menuju alamat yang dimaksud. Jalan – jalan yang dilalui tentu sudah tak asing lagi. Jalan – jalan itu seakan membuka kembali masa – masa saat Ben masih di bangku sekolah dulu. Walau kini memang ada banyak hal yang berubah. Ben terlihat menepi di sebuah pertigaan jalan.
"Ben!" tiba – tiba terdengar seseorang memanggil Ben.
Ben yang sedang menepi di sebuah lahan kosong dekat pertigaan jalan menengok ke asal suara. Terlihat seorang lelaki menghampiri Ben. Ben pun berusaha keras untuk mengenali siapa lelaki yang baru saja memanggilnya. Lelaki itu berapakain rapi layaknya seorang pegawai yang akan berangkat kerja.
"Ben! Ah, aku tak mengira akan bertemu di sini," ucap lelaki itu mendekati Ben.
"Ah, kamu Zan. Aku pikir siapa?" jawab Ben mematikan mesin sepeda motornya.
"Aku kemarin bertemu dengan Randu. Dia bilang kamu pulang kampung katanya," tukas Adzan. Randu adalah petugas porter yang berjumpa dengan Ben di stasiun.
"Ngomong – ngomong, apa kamu akan berangkat bekerja?" tanya Ben.
"Aku memang akan berangkat ke kantor, tapi bukan untuk bekerja." ucap Adzan sambil duduk di sebuah bangku kayu di pinggir lahan itu diikuti oleh Ben.
"Maksudmu?" tanya balik Ben heran. Adzan terdiam tak menjawab langsung pertanyaan Ben. Jalan – jalan itu terlihat sepi, tak terlihat banyak kendaraan dan orang yang berlalu lalang.
"Sebulan yang lalu aku sudah resign dari tempatku bekerja," sahut Adzan.
"Aku pikir kamu sudah berapakaian rapi seperti ini sudah siap untuk berangkat bekerja. Ngomong – ngomong, kenapa kamu resign dari tempatmu bekerja dulu?" tanya Ben. Adzan tertawa mendengar pertanyaan Ben. "Kenapa malah kamu tertawa?"
"Aku pikir alasanku resign kurang lebih sama denganmu," jawab Adzan. Kini giliran Ben yang terdiam. "Sebelum aku memutuskan resign, perusahaanku mendatangkan motivator, tentu saja dengan tujuan agar para karyawan di perusahaan dapat meningkatkan kinerja dan semangat dalam bekerja. Namun, setelah mengikuti acara motivasi itu, aku malah termotivasi untuk berhenti bekerja di perusahaan itu."
"Kenapa malah kebalikannya?" sahut Ben.
"Entahlah, tapi aku merasa yakin untuk mencari kebahagiaan lain di luar sana. Aku tidak ingin bekerja hanya sebagai rutinitas."
"Lalu, kamu berpakaian rapi seperti ini? Apa kamu sudah mendapatkan apa yang kamu cari?" tanya Ben.
"Aku sekarang membantu sebuah perusahaan yang bergerak di bidang ekspor dan impor. Walau itu adalah hal yang baru, tapi aku sangat menikmatinya."
"Wah, itu keren sekali!" tukas Ben.
Terlihat Ben dan Adzan beranjak dari duduknya. Mereka harus melakukan pekerjaannya masing – masing hari itu. Ben melanjutkan perjalanan menuju alamat yang dimaksud. Rawi memberitahu Ben melalui pesan singkat bahwa dia, Madi, dan beberapa pengelola makam sudah berada di sana. Kebahagiaan memang terletak pada bagaimana kita mensyukuri kehidupan yang telah diberikan Sang Pencipta kepada kita. Orang lain boleh kaya dari pada kita, mereka mungkin saja lebih bergelimang harta, dan mempunyai apa yang kita tidak miliki. Namun, kebahagiaan hidup terletak pada hati yang bersyukur.
Ben pun sampai di tempat yang dituju. Ada sebuah misi yang sepertinya harus mereka lakukan. Namun, Ben dan kawan– kawan masih belum mengetahui dengan detail misi apa yang akan mereka kerjakan nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarjana Penjaga Makam (Judul Horor, Cerita Penuh Makna)
General FictionBen memutuskan resign dari tempatnya bekerja. Iming-iming kenaikan gaji pun tak begitu ia hiraukan. "Ini bukan persoalan uang, tapi ... " ucap Ben. "Tapi apa?" potong Winda salah satu temannya. "Aku sudah mulai tidak menikmati apa yang aku kerjakan...