Part 39

1.3K 176 61
                                    

"Are you serious?"

Mata Galih membulat saat aku selesai menjelaskan. Tampaknya tak percaya dengan pendengarannya sendiri. Aku mengangguk samar dengan senyum tertahan. Namun, respon Galih saat itu tak diduga, ia lantas meletakkan kakiku di sofa, turun dari sofa, berjongkok di depanku, lalu membawaku dalam dekapnya. Bahkan menciumku berkali-kali hingga tak ada satu bagian wajah yang terlewati.

"Udah, Lih. Udah." Aku tertawa sambil berusaha menjauhkan wajahnya, tapi itu tak berarti apa-apa karena ia masih saja menciumi.

"Biarin! Hukuman buat kamu nih, yang udah jahat sembunyiin dari aku."

"Hahaha, udah, Lih. Geli tau."

"Biarin! Rasain pembalasanku, Na!"

"Ampun, Lih. Ampun. Iya, maaf. Maaf." Setelah aku berucap demikian, barulah Galih melepaskanku. Namun, ekspresi wajahnya masih menyiratkan jika ia masih menyimpan dendam atas perbuatanku. Aku tersenyum simpul melihatnya mencebik begitu.

"Jahat banget sih. Gara-gara aku gak temenin kontrol kemarin pasti ya."

"Haha, itu tahu! Gak enak kan rasanya! Sama, aku juga gak enak waktu tahu Sofia pegang ponselmu!"

Galih menghela napas panjang. Sepertinya ia lebih memilih mengalah jika aku sudah mengungkit kejadian tempo hari. "Aku kan udah minta maaf, Na. Udah ya, please. Gak usah diungkit lagi. Iya, aku tahu aku salah. Tapi gak gini juga dong balasnya. Tega kamu, Na! Ini kan bayiku juga."

Tangan galih kini beralih pada perutku. Mengusap lembut bagian tubuhku yang kini mulai membuncit. Lantas mengecupnya dengan sepenuh hati. Bahkan terlihat matanya dipenuhi bening-bening kristal di sudutnya. Membuat perasaan bersalah ini semakin menjadi.

Mungkin memang tak seharusnya aku menyembunyikan semua ini. Lelaki ini lebih berhak dari siapapun untuk mengetahui keberadaan dua malaikat kecil ini. Tapi, karena ego yang lebih besar, membuatku melakukan semua ini.

"Maafin aku ya, Lih."

Galih menggeleng. Disekanya sudut mata perlahan. "Nggak, Na. Kamu gak salah. Justru aku yang harusnya minta maaf juga berterima kasih untuk semuanya. Makasih ya, sekarang aku jadi manusia paling bahagia karena kalian bertiga."

Sekali lagi ia mendekapku penuh kehangatan. Membuatku merasa jadi wanita paling bahagia, karena dicintai oleh lelaki ini. Makasih, Lih.

Tiba-tiba saja ia mendaratkan sebuah kecupan di bibir seraya membisikkan permohonan izin di telinga. Aku yang mengerti apa maksudnya pun mengangguk pelan, lantas itu mengangkat tubuhku dan mulai melangkah ke kamar.

"Aku tahu kamu capek, tapi maafin aku, Na. Maaf banget."

🍃🍃🍃

"Sayaanngg, bangun, yuk. Udah adzan subuh nih, kamu belum mandi."

Pelan aku merasakan sentuhan di pipi, tapi tak juga membuatku membuka mata. Malah sebaliknya, kembali terpejam rapat. Seakan ada batu yang mengganjal di kedua kelopaknya.

"Mandi, Sayang. Apa perlu aku bawa ke kamar mandi?" Suara Galih kembali terdengar. "Oke, aku angkat ya, jangan kira aku gak kuat, Na."

Merasa tangan Galih sudah berada di belakang leher dan lutut, aku pun sontak terjaga. Memaksa menarik diri untuk duduk dengan susah payah lalu mencubit lengan Galih keras-keras.

"Sakit, Na! Jahat banget sih!"

"Lagian iseng. Main angkat aja. Bisa gak selesai-selesai nanti mandinya."

Namun, Galih malah tertawa keras mendengar protesku. Sepertinya yang kukatakan memang sudah ada dalam pikirannya. Dasar mesum!

"Su'udzon aja sih sama suami sendiri."

Everything for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang