Part 40

1.5K 208 54
                                    

"Apa yang harus Na lakukan, Bu? Na sudah berusaha jadi istri yang baik. Berusaha jadi menantu yang baik. Tapi kenapa selalu begini yang Na terima? Apa Na gak berhak bahagia?"

"Kenapa bahagia itu rasanya sangat sulit Na raih? Na gak minta apa-apa, gak minta harta apalagi permata. Na cuma ingin bahagia bareng Galih, bareng anak-anak. Apa itu terlalu muluk, Bu?"

"Maaf kalau nantinya ternyata Na gak bisa bertahan lagi, Bu. Entah kenapa rumah tangga kali ini begitu sulit dipertahankan. Semakin dipertahankan, semakin menyayat rasanya. Maaf kalau akhirnya Na menyerah lagi. Na takut Na lelah bertahan seorang diri."

Sudah cukup lama aku berada di sini. Bercerita pada ibu biasanya akan membuat sesak di hati terasa berkurang. Seperti dahulu kala. Lagi pula ke mana lagi aku harus pergi, selain ke sini? Ke tempat yang bisa memberi ketenangan di hati.

Sudah cukup lama aku berada di sini. Meluapkan segala gundah pada ayah dan ibu. Sejak matahari masih terlihat pendarannya hingga kini tertutup awan kelabu dan titik-titik air mulai turun. Entah mengapa tak ada niat sama sekali untuk beranjak dari sini. Meski rintik hujan telah semakin deras.

"Bu, sudah mulai hujan. Ibu bawa payung?" Tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku. Ternyata itu adalah bapak penjaga makam yang beberapa kali aku temui di sini. Aku hanya menggeleng pelan.

"Ibu nanti sakit loh. Mau saya antarkan pulang?" tanya sang bapak kembali. Lagi-lagi aku menggeleng dan terpaksa beranjak dari sana.

Bajuku sudah mulai basah terkena gerimis yang mulai berubah menjadi hujan. Tapi, aku tetap melangkah keluar dari areal pemakaman. Entah akan menuju ke mana. Tak mungkin aku kembali ke apartemen. Tak mungkin pula ke rumah lama, karena bisa jadi Galih sudah berada di sana sekarang.

Di depan sebuah warung kelontong aku berhenti dan meminta izin berteduh sebentar, karena tiba-tiba aku merasakan pusing kembali. Jadilah aku hanya bersandar di dindingnya yang sudah mulai mengelupas, berharap hujan ini segera mereda. Mungkin aku bisa menginap di rumah Niken, atau ke rumah Pakde Yudi saja ya?

Di saat yang sama ponselku berdering. Nama Ibu Nisa tertera di sana. Segera aku angkat dan terdengarlah suara perempuan yang begitu lembut yang mengingatkan aku akan sosok ibu. Tanpa sadar bulir bening kembali menetes yang segera aku usap kasar. Jangan cengeng, Na!

Dari seberang terdengar Ibu Nisa berkali-kali memanggil namaku, membuatku tersadar jika aku baru saja melamun. Aku pun segera meminta maaf, tapi entah mengapa isak yang aku tahan sejak tadi malah terlepas. Tak ayal membuat Ibu Nisa cemas dan menanyakan di mana aku berada. Tak tahu harus menjawab apa, aku pun kembali meminta maaf dan menutup panggilan.

Ternyata aku masih harus menunggu cukup lama hingga hujan mereda, meski tak benar-benar reda karena masih menyisakan gerimis yang cukup deras. Tapi, aku nekat melanjutkan langkah, siapa tahu ada taksi yang nantinya lewat. Tak peduli baju dan kerudung yang semakin basah, aku hanya ingin pergi dari sini, seraya memikirkan di mana aku bisa beristirahat malam ini.

Tiba-tiba sebuah mobil menepi di depanku. Pintu pengemudi terbuka dan sebuah payung terkembang, bersamaan dengan pintu penumpang dan tampaklah jika itu adalah Wildan yang tergesa memayungi Ibu Nisa sudah berjalan menghampiriku.

"Kenapa hujan-hujanan begini, Nak? Kenapa telepon ibu gak diangkat? Ibu cari ke mana-mana ternyata ada di sini?" tanya Ibu Nisa dengan wajah yang dipenuhi kecemasan, begitu pula dengan putranya.

Rasa bersalah perlahan merayapi benakku, betapa aku sudah membuat orang-orang baik ini cemas padaku. Aku berusaha tersenyum, tak ingin menambah kecemasan yang sudah terlihat jelas di wajah Wildan dan Ibu Nisa, tapi entah mengapa pandanganku malah mengabur disusul kegelapan sedetik kemudian. Yang tersisa hanya teriakan Ibu Nisa.

Everything for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang