Part 33

952 167 59
                                    

Malam telah melewati tengahnya. Keheningan kian memeluk bersama kesepian yang semakin kentara. Menyisakan aku yang masih belum mampu memejamkan mata. Entah ke mana perginya kantuk yang biasanya hadir tiap kali mulai bersentuhan dengan bantal. Meski telah dipaksa, tetap saja mata ini masih enggan terpejam.

Ah, apa yang harus aku lakukan?

Sejak panggilan ditutup beberapa jam yang lalu, aku tak memiliki keberanian untuk menghubungi lagi. Bahkan sekadar mengirim pesan pun tak punya nyali. Takut hanya membuatku berprasangka buruk pada Galih. Bisa saja ia akhirnya diwajibkan ikut, karena rapat pemegang saham memang sangat penting kan.

Sudah, Na. Sudah. Dia gak bermaksud bohong kok. Hanya saja urusannya lebih besar dan penting ketimbang dirimu yang cuma perkara lupa mengabari saja. Bukankah selama ini dia tak pernah lupa mengabari di manapun dia berada? Justru kamu yang sering lupa memberi kabar. Iya kan?

Sudah ya. Lebih baik kamu tidur sekarang. Dijamin besok atau lusa suamimu juga sudah pulang. Ingat, bukan cuma kamu yang butuh istirahat, tubuhmu terlebih bayimu lebih membutuhkannya. Please, jangan jadi egois karena masalah sepele begini.

Pelan tanganku bergerak ke perut. Memberi usapan lembut di sana. Lalu menyentuh kasur tak bertuan yang terasa dingin di sebelah. Tiba-tiba setitik bulir bening mengalir di pipi. Maafkan ibumu ini, Nak. Sama sekali gak ada niat mencurigai ayahmu, hanya saja ….

🍃🍃🍃

Alarm berbunyi untuk ke sekian kali, yang lagi-lagi hanya kumatikan tanpa ada keinginan membuka mata. Serasa ada yang mengganjal di pelupuk mata hingga tak mampu membuka. Aku lebih memilih untuk meneruskan lelap kembali. Namun, dering telepon yang masuk tiba-tiba mengurungkan niat semula, saat kuintip nama Niken tertera di layar. Mau tak mau aku harus menjawabnya.

"Ya, Ken," jawabku dengan suara pelan yang terdengar serak.

"Mbak Ratna baru bangun?"

"Eng, iya nih, Ken."

"Tumben nih. Emang tidur jam berapa, Mbak?"

"Abis subuhan kayaknya, Ken. Kenapa? Eh, jam berapa sih ini?"

"Udah jam sembilaaaannn, Mbaaakkk. Eng, gak ada apa-apa sih. Cuma mau ngasih tau, aku kirim email tadi, perhitungan biaya aja kok. Nanti tolong dilihat ya kalo udah melek."

Aku tertawa pelan. "Aku udah bangun lagi, Ken. Oke, oke. Bentar aku cuci muka dulu ya."

"Siap, Mbak. Enak ya yang kerja di rumah, suami berangkat, bisa tidur lagi."

Aku tak menjawab hanya kembali tertawa pelan. Tak perlulah gadis itu tahu tentang rumah tanggaku. Biar jadi urusanku saja.

"Haha, iya dong, Ken. Makanya kamu buruan nikah. Udah ketemu orang tuanya Mas Wildan kan?" tanyaku yang tiba-tiba penasaran dengan perkembangan kedekatan mereka.

"Udah sih. Tapi susah, Mbak."

"Susah gimana? Ibunya gak suka sama kamu?"

"Ih, Mbak Ratna kepo deh. Sini dong ke kantor kalo emang penasaran, haha."

"Jahat kamu ya, Ken. Tapi, hmm … oke lah, aku ke kantor. Tunggu ya."

"Beneran nih, Mbak? Sama Mas Galih diizinin emang?"

"Iya. Gampang itu. Ya udah ya, tungguin aku. Jangan ke mana-mana."

Panggilan ditutup detik berikutnya. Aku pun bangkit dan bergegas ke kamar mandi. Bersiap-siap ke kantor. Terserah Galih akan marah atau apa, yang jelas aku butuh kegiatan untuk mengalihkan semua pikiran buruk ini.

Satu setengah jam kemudian, aku sudah tiba di kantor dengan diantar ojek online. Lega rasanya bisa menghirup udara bebas lagi. Keluar dari tempat yang membuatku merasa sesak semalaman ini. Urusan Galih, biar dipikirkan nanti saja. Sekarang aku harus bekerja.

Everything for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang