Part 32

1K 156 25
                                    

Aku baru saja masuk kamar dan hal pertama yang kulihat adalah lelaki tercintaku tengah berada di depan lemari. Tangannya sigap mengaitkan kancing satu demi satu. Aku pun mendekat dan meraih dasi yang sebelumnya telah aku siapkan di atas kasur.

"Na, aku hari ini ada meeting sampai malam kayaknya. Kamu gak usah tunggu ya, makan aja duluan, kunci pintu juga. Nanti aku kabarin kalo udah selesai."

Ia pun sedikit menengadah, memberiku kesempatan memasang dasi di tempatnya. Setelah sekian lama berlatih, akhirnya aku mahir juga memasang benda tersebut dengan benar. Merapihkan kerah kemejanya lalu membantu memakaikan jas. Selesai sudah ritual pagi hari, lelaki tercintaku kini sudah siap ke kantor.

"Kamu gak jadi ikut ke Bali kan, Lih?"

"Nggak kok. Masa iya aku ninggalin istri tercinta ini sih." Galih memiringkan kepala dan tersenyum. 

Aku segera membalas senyuman tersebut dan mengecup pipinya sekilas. "Makasih ya, Lih. Sarapan dulu yuk."

Kami pun keluar dari kamar menuju meja makan, di mana aku telah menyiapkan sarapan sebelumnya. Tak mewah hanya nasi goreng oriental dilengkapi telur mata sapi dan segelas jus jeruk. Galih segera melahap sarapan yang aku siapkan, sementara aku mengambil tas ke ruang kerjanya.

Kehidupan kami sudah kembali normal saat ini. Galih sudah tak uring-uringan karena kejadian di supermarket tempo hari. Aku pun masih tetap bekerja dari rumah. Tiap dua hari sekali office boy datang mengantar dan mengambil berkas yang harus aku tanda tangani. Sebetulnya hal tersebut bisa saja dilakukan via email, tapi entahlah Pak Frans tampaknya lebih senang membuat office boy kami mondar-mandir ke sini, hihi.

"Na …."

Aku mendekat dengan tas ransel hitam di tangan. Berdiri di sisi Galih yang hampir menyelesaikan sarapan, tapi ia langsung mengisi kembali piringnya. Keningku berkerut heran, tak biasanya ia sarapan sebanyak ini.

"Duduk sini! Sarapan. Jangan bolak-balik aja. Kasian anakku kelaparan." Galih menepuk kursi makan yang di dekatnya. Memaksaku untuk duduk di sana. Mau tak mau aku tertawa melihatnya.

"Iya. Iya."

"Pokoknya aku gak mau kamu sama si kecil kenapa-kenapa. Apalagi aku lagi gak bisa pulang cepat. Hmm … atau kamu ikut ke kantor aja, biar aku bisa ngawasin, gimana?"

Kembali aku tertawa. Kadang-kadang ia memang bersikap berlebihan seperti ini. Seperti aku tak punya pekerjaan saja di rumah.

"Mau ngapain di sana, Lih? Palingan juga ditinggal meeting."

"Ya, paling nggak, kamu gak ngurus rumah sampai kecapekan kayak kemarin. Udah aku bilang biar aku aja yang bersihin kamar mandi, iya kan? Kalo kamu kepeleset gimana, Na?"

"Iya, Lih. Iya. Aku hari ini santai-santai aja deh. Janji. Sama paling kerjain gambar dikit aja. Gimana?"

"Oke. Janji ya. Sini aku suapin." Galih menyodorkan sesendok nasi goreng ke arahku, yang segera kusambut dengan membuka mulut. Bergantian kami saling menyuapkan, biarpun Galih sudah hampir menyerah, tapi akhirnya tandas juga piring tadi.

"Jahat kamu, Na, aku disuruh nambah lagi. Ntar kalo aku ngantuk di jalan gimana?"

"Ya udah, gak usah ke kantor aja?"

"Jangan mancing gitu dong, Na. Ntar aku beneran gak ngantor, kamu repot sendiri loh."

Lagi-lagi aku tertawa mendengar ucapan Galih. Mana mungkin ia akan tega merepotkanku, karena yang biasa terjadi saat akhir pekan adalah aku yang dipaksa duduk manis di depan televisi sementara ia yang bekerja membereskan rumah.

"Udah sana berangkat, nanti keburu macet." Aku berdiri dan menyodorkan tas pada Galih. Lalu mencium tangannya takzim, yang dibalas dengan kecupan di kening. Kemudian ia sedikit berjongkok dan mengecup perutku yang mulai membesar meski belum terlihat jelas. Detik berikutnya ia pun keluar dari unit hunian kami.

Everything for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang