Part 24

3.9K 285 35
                                    

"Gimana kalo masa depan itu ternyata tak seindah yang dibayangkan, Lih? Bukannya malah jadi penyesalan nantinya? Apalagi mamamu terlanjur marah besar begini."

Galih menangkup wajahku. Melihat dalam mataku yang kembali berkaca, lalu mengecup kening perlahan. "Mestinya mama liat betapa bahagianya aku sekarang, Na."

Galih membawaku dalam dekapnya, membuat air mata ini kembali tumpah. Ia tak memintaku menghentikan tangis, hanya membisikkan kata maaf untuk semua yang terjadi. Membiarkan aku meluapkan segala rasa di hati di tempat ternyaman yang bisa ia berikan.

"Tetaplah kuat, Sayang, agar kita bisa melewati semua ini bersama. Tetaplah di sisiku, karena aku bukan apa-apa tanpa hadirmu," bisik Galih saat kening kami bersatu, setelah ia melepas dekapannya.

🍃

Tampak jelas kemuraman yang melingkupi kami sejak tiba di rumah. Galih yang jadi lebih diam dari biasanya langsung merebahkan diri di sofa depan televisi sambil menutup wajahnya dengan tangan. Sama seperti saat berada di lift tadi, kami hanya berdiri berdekatan dengan tangan saling menggenggam. Tak ada yang berbicara, hingga pintu lift membuka kembali. Namun, dapat kurasakan ia menatapku lekat.

Kutinggalkan ia sementara waktu dalam kondisi demikian. Karena aku pun membutuhkan waktu untuk sendiri. Dan di sinilah aku sekarang. Mematung di depan wastafel sembari menatap bayangan diri di cermin. Sekuat tenaga menahan air mata agar tak menitik kembali, karena telah kuduga jika semua ini akan terjadi.

Entah berapa lama aku berada di toilet, tapi yang pertama kali terlihat saat aku keluar adalah Galih yang terduduk di tepian kasur dengan pandangan terfokus pada ponsel di tangan. Tak ada satu ekspresi pun yang dapat terbaca saat itu.

Namun, ia langsung mengangkat wajah dan tersenyum saat aku mulai mendekat. Menepuk sisi kasur sebelahnya yang kosong, lalu mendudukkan diri di sana. Membelai rambutku sejenak dan menarik tanganku untuk digenggam.

Setelah lama ditunggu, Galih tetap tak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya menatap tangan kami yang saling bertaut.

"Na … mestinya kemarin tuh kita gak usah nikah ya." Setelah lama terdiam, kalimat pertama yang diucapkannya sungguh membuatku terkejut.

"Maksud kamu apa? Kamu nyesel nikah sama aku, Lih?" Aku menoleh agar dapat melihat wajahnya lebih jelas.

"Sama sekali nggak, Na. Ada di sisi kamu adalah impian terbesarku. Justru aku malah takut kamu yang menyesal." Galih membelai wajahku lembut.

"Kenapa aku harus nyesel, Lih? Aku gak punya satu alasan pun untuk menyesal."

"Mama?"

Aku menggeleng pelan. "Dari hari pertama kita nikah, aku udah bayangin semua ini akan terjadi. Cepat atau pun lambat. Malah aku udah bersiap untuk semua kemungkinan yang terburuk. Jadi … ya udah, mau gimana lagi? Semua udah terjadi kan."

"Kamu gak benci mama, Na, setelah semua ucapannya?"

"Gak mungkin aku benci, sementara kamu terlahir dari rahimnya, Lih. Kamu bisa seperti sekarang karena hasil didikannya. Dan aku cuma tinggal menikmati hasilnya. Jadi, gimana aku bisa marah sama mamamu, Lih? Malah aku sempat berpikir kalo semua ini gak perlu kamu alami seandainya kamu menikahi Ryanti."

"Na … setelah kebersamaan kita, kamu masih bisa ikhlas melihat aku nikah sama Ryanti?"

Aku terdiam. Bingung harus menjawab apa. Tak tahu mana yang lebih menyakitkan, ucapan dan sikap Tante Lyan atau melihat Galih bersama wanita lain. Jika saat itu aku bisa dengan mudah memintanya menikah dengan Ryanti, tapi rasanya tidak untuk saat ini. Setelah merasakan manisnya berumah tangga dengan lelaki yang kini tengah mengusap tanganku, tak bisa dibayangkan bagaimana aku tanpa dirinya.

Everything for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang