Part 22

4.9K 323 15
                                    

Cekatan tanganku mengoleskan selai cokelat pada selembar roti tawar lantas menyusunnya di atas teflon bersama roti lain yang telah kusiapkan sebelumnya. Sampai sebuah tangan merangkum tubuhku dari belakang. Disusul sebuah kecupan lembut di pipi.

"Sarapan apa kita pagi ini?"

Kumiringkan wajah hingga dapat melihat lelaki yang telah memakai setelan jas lengkap. Aroma citrus segar mampir di indera penciumanku. Tanpa sadar aku semakin merapat dan menghirup aroma segar itu lebih banyak.

"Kamu gak lagi godain aku kan, Na? Aku ada rapat direksi loh siang ini. Tapi kalo kamu maksa juga, gak apa-apa sih, aku bisa minta wakilin sama General Manager."

Sontak aku tertawa mendengar ucapan Galih. "Astaga ini orang. Siapa juga yang godain. Kamu tuh udah bikin aku mandi dua kali pagi ini, masa masih kurang juga?"

"Iya dong, kalo perlu hari ini kita gak usah ngantor, Na. Aku mau kok terkurung di kamar seharian sama kamu."

"Hahaha. Udah, udah. Aku tuh banyak kerjaan hari ini, jadi gak bisa bolos. Kamu sarapan dulu nih." Kudekatkan secangkir kopi dan sepiring roti bakar yang telah kuangkat dari teflon.

"Loh, kamu gak jadi masak, Na?"

"Masak apa? Sayang, kulkas kamu tuh kosong, masih untung masih ada roti di laci. Oh ya, kamu pulang jam berapa nanti? Aku belanja ya, trus pulang ke rumah sebentar baru ke sini."

"Perlu aku suruh orang buat anter kamu?"

"Gak usah, aku naik ojek online aja."

"Oke. Hati-hati ya. Aku usahain langsung pulang begitu rapat selesai."

"Oke. Oh ya kamu siapin baju kerja juga gak buat aku selain baju-baju aneh yang di lemari semalem?"

Galih tersenyum setelah meletakkan cangkir kopinya lalu melihat ke arahku. "Sayang, itu juga termasuk baju kerja loh, tapi khusus di depan aku aja," ujarnya dengan tawa renyahnya yang kutanggapi dengan mata mendelik.

"Enak aja. Itu mah maunya kamu. Kalo gitu, aku pulang aja deh. Toh masih ada rumah peninggalan ayah."

"Haha, gawat banget sih nyonya satu ini, ancamannya minggat dari rumah suaminya." Galih bangkit dari kursi dan mendekatiku yang tengah mencuci piring. Menarik tanganku dan memaksa agar duduk di kursi. "Kamu nih ya, bukannya sarapan malah sibuk cuci piring. Katanya tadi kesiangan."

"Tapi, aku--"

"–apa? Soal kemeja? Aku gak akan bawa kamu ke sini kalo belum siapin semua kebutuhan kamu. Udah sekarang kamu sarapan dulu."

Galih beranjak ke kamar dan kembali dengan sebuah paper bag di tangan. "Cobain. Cukup apa nggak."

Kuambil paper bag dan mengeluarkan isinya. Sebuah tunik merah muda lengkap dengan celana kulot warna abu-abu. Mengamatinya sejenak.

"Kayaknya sih pas. Makasih ya." Aku berdiri dan menghadiahi kecupan di pipi. "Kamu kok tau ukuranku?"

"Aku pernah bilang kan kalo aku udah hafal kamu luar dalam," tukas Galih dengan alis yang dinaikkan satu.

"Kamu gak bayangin aku yang macam-macam kan, Lih?" Mataku menyipit, mendadak curiga pada lelaki yang kini berstatus suami itu.

"Jangan su'udzon ya, Na. Tubuh kamu kan hampir setinggi Kak Viona, postur juga hampir sama. Gak perlu bayangin yang aneh-aneh juga aku langsung tau ukuranmu."

"Bener nih?"

"Ya ampun, Na. Sama suami sendiri gak percaya banget. Jadi kita sama-sama bolos nih? Oke. Aku sih seneng-seneng aja." Galih mulai membuka kancing jasnya. Mataku membulat demi melihatnya dan segera berlari ke kamar dengan paper bag di tangan. Masih bisa kudengar tawanya dari balik pintu.

Everything for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang