Part 8

4.1K 284 7
                                    

Namun, apa yang tampak di depan rumah saat hendak mengunci pintu, membuatku tertegun. Segera aku kembali ke kamar untuk mengambil ponsel yang berada di atas kasur dan mencari sebuah nomor di layar pipih tersebut. Lalu menghubungi seseorang yang tadi kulihat dari balik jendela.

"Assalamu'alaikum. Lih, kamu ngapain di depan rumah? Dari tadi tuh belom pulang?"

"Waalaikumussalam. Iya, Na. Mobilku mati nih."

"Hah? Kok bisa? Ya udah aku keluar sebentar."

Aku segera mengambil payung dan membuka pintu depan kembali. Melangkah hati-hati di teras yang licin menuju pagar yang masih terbuka dan mengetuk jendela mobil perlahan.

"Kok bisa mati? Kenapa?" tanyaku saat jendela itu terbuka.

"Gak tau, Na. Paling nunggu hujan reda aja, baru bisa ngecek."

"Kenapa gak bilang dari tadi? Kamu kan bisa tunggu di dalam."

"Khawatir kamu udah tidur, Na." Galih memperlihatkan cengiran khasnya.

"Belum sih. Oh ya, kamu udah sholat Isya belom? Sholat dulu sana. Aku buatin kopi ya."

Kami pun masuk beriringan. Setelah menunjukkan letak kamar mandi dan menyiapkan perlengkapan sholat, aku beranjak menuju dapur. Menjerang air di cerek dan menunggu. Sesekali menatap punggung tegap yang tengah mendirikan sholat di ruang tengah yang bersebelahan dengan dapur.

Tanpa bisa dicegah, pikiranku kembali mengingat kejadian beberapa jam lalu. Menyentuh kembali rasa sakit yang telah bersemayam di relung hati. Tetap merasa bersalah hingga semua ini terjadi. Ah, seandainya aku perempuan yang normal, mungkin saja ....

Hingga suara nyaring dari cerek yang mendidih membuyarkan lamunanku. Secepat kilat kuraih cerek tersebut dengan tangan kosong dan mengangkatnya. Namun, tiba-tiba aku tersadarkan oleh rasa panas yang tak tertahankan di telapak tangan, membuat benda itu terlepas dan menghantam lantai. Hingga isinya terciprat ke segala arah, termasuk ke kakiku. Tanpa sadar sebuah desisan lolos dari mulutku.

"Kenapa, Na? Astaghfirullah. Cepat taruh di bawah air mengalir!" Galih yang baru selesai sholat, panik melihatku yang berjongkok sambil mengamati kaki yang memerah. "Kok bisa sih, Na? Ada keran lagi gak buat basuh kaki?"

"Di belakang dekat mesin cuci," jawabku pasrah.

Galih meraih lengan dan membantuku ke arah belakang dengan langkah yang sedikit tertatih. Meski tak tahu di mana letak mesin cuci, tapi ia sedikit mengenal rumah ini. Lalu menyalakan keran air setelah melepas selang mesin cuci dan menempatkan kakiku tepat di bawahnya. Membiarkannya terbasuh air yang mengalir.

"Kamu bengong kali ya, Na, sampai bisa begini," ujar Galih pelan seraya berjongkok dan mengamati kakiku.

Aku tak tahu harus menjawab apa, juga tak tahu pula apa yang kurasakan saat ini. Sebentuk keharuan menyelinap di hati, membuat kaca-kaca mulai terbentuk di mata. Ah, belum pernah aku diperlakukan seperti ini oleh suamiku sendiri.

"Ada yang kena lagi gak? Tangan gimana? Na? Kok jadi diem gitu?" Galih mengangkat wajahnya kemudian berdiri setelah melihat aku yang terdiam. "Hei, kok bengong? Kenapa?"

Aku kembali tersadar lalu tersenyum sambil menggeleng. "Gak apa-apa, aku aja yang teledor tadi, angkat cerek tanpa serbet." Kuangkat tangan kanan tepat di bawah keran, merasakan kesejukannya menyentuh telapak yang sempat memanas.

Giliran Galih yang terdiam sambil menghela napas berulang kali. Merasakan dirinya yang tengah menatapku lamat-lamat, membuatku tak berani menoleh sama sekali. Entah apa yang ia pikirkan saat ini.

"Udah nih. Ke depan lagi, yuk." Aku tersenyum dan berjalan terlebih dahulu, disusul Galih setelah mematikan keran.

"Obat buat luka bakar ada?" tanya Galih. Aku yang teringat dimana meletakkan kotak obat, refleks berbalik untuk menuju kamar yang memang berada di area belakang. Membuat kami hampir saja bertabrakan jika tak dicegah oleh Galih yang memegang bahuku.

Everything for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang