Part 9

3.9K 316 13
                                    

"Tau. Aku sempat dengar tadi. Tapi aku percaya Mbak Ratna wanita baik. Jangan sampai karena mempertahankan pernikahan ini, kita saling menyakiti. Kita ini sama-sama wanita kan, Mbak, pastinya kita dapat merasakan perasaan satu sama lain. Aku dan Intan gak siap jika harus kehilangan Mas Indra, meski pun status pernikahan kami saat ini hanya di bawah tangan."

Aku melangkah gontai menuju parkiran, sembari memesan ojek online dari aplikasi di ponsel. Saat itulah aku membaca pesan dari Galih.

[Sebentar lagi aku sampai, Na.]

[Na? Kamu pergi sama Indra?]

Ya ampun, kenapa aku bisa lupa sama sekali sama Galih?

🍃🍃🍃

"Assalamu'alaikum," sapaku seraya mengetuk pintu berwarna cokelat yang tertutup rapat.

Tak lama terdengar langkah-langkah yang mendekat, lalu daun pintu pun terayun membuka. Sebuah wajah anggun muncul di ambangnya, yang lantas tertegun demi mengetahui siapa yang berucap salam tadi.

"Ibu udah bangun, Mbak?" sapaku ramah.

"Udah, baru aja bangun," jawab Saila dengan mata mengerjap seolah baru terbangun dari tidur. Kemudian membuka pintu lebih lebar. Aku pun masuk setelah mengangguk dan memberi wanita itu senyum terbaik.

Aku langsung menuju kamar yang biasa ditempati Ibu Sira. Mengetuk pintunya perlahan dan masuk setelah mendengar jawaban dari dalam. Tampak ibu mertuaku telah jauh membaik dari saat terakhir aku menjenguknya di rumah sakit hampir dua bulan yang lalu.

"Ibu gimana kabarnya? Udah baikan kan?" tanyaku sembari duduk di sisi ranjang lalu menyalaminya.

Wanita yang telah berumur lebih dari setengah abad itu tersenyum cerah. "Alhamdulillah, Na. Kamu sehat? Kok jarang ke sini?"

"Iya, Bu. Nana lagi banyak kerjaan di kantor, jadi baru sempat ke sini."

"Bukan karena Saila kan?"

"Eh … bukan kok, Bu. Emang lagi lembur terus sekarang."

"Kamu udah ketemu Indra? Dia sekarang di mutasi lagi ke Jakarta."

Aku menggeleng pelan, "Belum, Bu. Baru ketemu Mbak Saila aja tadi."

Tiba-tiba pintu terbuka dan wajah Indra yang muncul di sana dengan Intan dalam gendongan. Aku pun bangkit dan menyalaminya. Namun, Indra malah mengangsurkan Intan padaku dan beranjak ke luar kamar. Titip sebentar ya, cuma itu yang sempat diucapkan Indra.

Kutatap bocah perempuan berusia satu tahun yang tengah tertawa ke arah neneknya, jelas sekali ia mewarisi mata, hidung dan bibir Indra. Lalu selebihnya adalah warisan dari ibunya berikut kulit putihnya. Cantik sekali.

Cukup lama Intan berada dalam gendonganku, bercanda dan bernyanyi hingga akhirnya ia jatuh tertidur. Aku pun bangkit hendak menyerahkannya pada Saila. Namun, sayup-sayup terdengar seseorang menyebut namaku dari ruang depan.

"Kamu ngapain ngasih Intan ke Ratna sih, Mas?"

"Emang kenapa, Sa?" Suara Indra jelas terdengar.

"Ya aku gak suka aja dia dekat-dekat sama Intan, aku juga gak suka dia ke sini, biarpun bilangnya mau jenguk Ibu, aku tetap gak suka."

"Jangan gitu, Sa. Ratna kan istriku juga. Kamu liat sendiri kan dia baik sama Intan."

"Gimana kalo dia cuma pura-pura baik biar kamu gak jadi ceraikan di--"

"Sa! Siapa yang bilang kalo aku mau ceraikan Ratna?"

Aku cepat kembali ke kamar Ibu Sira sebelum ada yang memergoki jika aku tengah mendengarkan percakapan mereka. Sementara Ibu Sira menatapku heran karena tidak jadi meletakkan Intan di boks bayinya.

Everything for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang