Part 29

4.3K 327 67
                                    

Bumi mulai menggeliat kala azan berkumandang pagi ini. Meski sang mentari masih malu-malu menampakkan dirinya, tapi para penduduk bumi telah memulai aktivitasnya.

Seperti aku yang kini tengah bersimpuh di atas sajadah. Bersama lelaki tercinta yang telah mengikrarkan diri menjadi imam dan teman hidupku. Bersama mengucap syukur atas semua nikmat yang selalu tercurah, terutama untuk makhluk mungil yang saat ini diizinkan bersemayam di rahimku.

Semua begitu syahdu hingga sebuah sensasi muncul, yang mengharuskan aku segera beranjak ke kamar mandi kala salam baru saja terucap. Mengeluarkan semua yang tersisa di perut yang bahkan belum terisi sejak semalam. Tak lama lelakiku menyusul, memberi pijatan lembut di leher dan tengkuk ini.

"Udah?" tanya Galih saat aku selesai membasuh mulut. Kekhawatiran memenuhi wajahnya. Aku mengangguk seraya memberi senyum terbaik yang pastinya tampak aneh saat ini.

"Sabar ya, Sayang," lanjutnya dengan tangan mengusap lenganku. Sepertinya ia berusaha menyalurkan kekuatan agar istrinya ini tetap kuat meski hampir-hampir tak ada makanan yang sukses masuk, kecuali akan dikeluarkan kembali.

Kembali aku tersenyum. "Kamu tau kan kalo ini yang aku tunggu selama ini. Gak mungkin aku gak sabar kan, Lih?"

"Hei. Bukan kamu aja loh yang nunggu. Aku juga." Senyum terbaiknya pun terbit. "Yuk, sini. Aku olesin minyak kayu putih."

Tanpa menunggu persetujuanku, ia menarikku menuju kasur. Menumpuk beberapa bantal agar aku bisa berbaring dengan nyaman. Lantas mengoleskan perutku dengan minyak kayu putih yang selalu tersedia di nakas sebelah kanan.

"Gimana? Enakan?" tanyanya lagi. Demi melihat anggukan dan senyum dariku, ia melanjutkan dengan mengoleskan minyak tadi di telapak kaki ini sambil memijatnya perlahan.

"Aku mau buat jahe anget, kamu mau?"

"Gak usah, Lih. Aku mau merem sebentar aja," tolakku halus. Semata-mata hanya tak ingin menambah kerepotannya.

"Ya udah kalo gak mau."

Galih beranjak ke luar kamar dan kembali dengan gelas di tangan yang menguarkan aroma jahe ke seluruh ruangan. Menyeruputnya pelan di tepian kasur sebelah kananku.

"Hmm, enak banget ini. Jahe anget campur madu." Tampak sekali ia ingin menggodaku. Sesekali matanya melirik ke arahku. "Yakin gak mau, Na?"

Mau tak mau aku tertawa melihat kelakuannya. "Kamu sengaja godain aku ya, Lih? Kalo aku mau, nanti kamu gak kebagian loh."

"Lagian kamu tinggal bilang mau aja susah banget sih, Na," ucap Galih dengan wajah sedikit ditekuk sambil mengangsurkan gelas tadi padaku.

"Aku kan gak mau ngerepotin kamu terus, Lih."

"Kata siapa? Aku gak ngerasa direpotin kok. Udah tugasku membuat kamu nyaman di masa kehamilan ini. Jadi, please, jangan pernah merasa begitu ya." Pelan tangan Galih mengusap rambutku. Raut khawatir masih belum hilang dari wajahnya. Seolah ada sesuatu yang ingin diucapkan, tapi akhirnya diurungkan.

"Gak usah ngantor aja ya hari ini. Mukamu pucat, Na." Baru saja hendak menanggapi, tapi kemudian ia melanjutkan ucapannya. "Aku juga izin deh hari ini, biar bisa nemenin kamu di rumah. Gimana?"

Perlahan aku menghela napas, lalu mulai berbicara dengan hati-hati. "Lih, maaf banget. Aku udah ada janji dengan beberapa klien hari ini. Maaf banget."

"Gak bisa di-reschedule, Na? Aku gak mau kamu kecapekan."

"Besok aku baru free, Lih. Baru bisa izin besok. Gimana?"

Galih mengangguk dan melangkah ke luar, membawa serta gelas yang telah kosong. Kupandangi punggungnya hingga menghilang di balik pintu. Maaf, Lih. Bukan tak menghargai perhatianmu. Maaf sekali.

Everything for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang