Part 34

1K 182 29
                                    

Lelah sekali rasanya hari ini. Lelah fisik, terlebih hati dan fikiran. Aku butuh sholat untuk melepaskan semua penat ini. Jadi, aku bangkit dan meraup tas hendak ke kamar. Di saat yang sama, pintu kamar terbuka. Sosok yang ingin aku hindari muncul dari sana. Membuatku langkahku terhenti.

"Na? Udah pulang? Kamu dari … eh, kantor …?" tanya Galih seraya menutup pintu kamar. Keningnya berkerut heran menatapku yang menenteng tas serta cardigan, lantas beralih ke arah laptop yang kutinggalkan di sofa. Aku yang mengerti arti tatapannya kemudian mengangguk pelan.

"Iya, aku ke kantor tadi."

"Kenapa? Ada yang penting?" tanyanya lagi. Kini ia sudah mendekat dan berhenti tepat di hadapanku. Melihatku intens.

"Gak ada, cuma kerja aja."

Galih manggut-manggut, entah apa yang dipikirkannya. "Udah sholat? Udah makan?"

Lagi-lagi aku hanya menggeleng, tak peduli itu untuk jawaban yang mana. "Aku sholat dulu ya."

Aku kemudian beranjak ke kamar dan duduk di tepian kasur setelah menutup pintu. Menghela napas panjang lagi. Tak tahu harus bersikap seperti apa saat ini. Lelah rasanya, sampai hampir menyerah. Apa ini pertanda aku harus menyerah setelah yang kami perjuangkan selama ini?

Aku pun bergegas ke kamar mandi. Wudhu kemudian dilanjutkan dengan sholat Maghrib. Mengulang-ulang menyebut asma-Nya, sengaja berlama-lama dalam lantunan doa. Memohon diberikan kekuatan menghadapi apapun yang datang di kemudian hari. Memohon kekuatan untuk tetap berdiri tegak apapun yang terjadi nanti.

Pintu terbuka dan Galih masuk saat aku sedang melipat mukena. Ia meraih tanganku lalu menepuk sisi kasur sebelah kirinya yang kosong. Aku pun mendekat dan duduk di sana dengan kepala tertunduk. Tangannya masih menggenggam erat tanganku.

"Udah makan, Na?" tanya pelan. Wajahnya menatap padaku yang masih tertunduk ini.

"Udah tadi," jawabku tak kalah pelan seraya mengangguk.

"Yah, padahal aku mau ajak makan di luar. Gimana dong? Aku lapar banget nih."

Ingin rasanya aku katakan bahwa aku tidak percaya ia kelaparan, sementara tadi kulihat ia tengah berada di restoran dalam foto terakhir. Namun, aku akhirnya memilih tetap diam. Tak berminat mengucapkan apa-apa saat ini.

"Na … aku minta maaf ya."

Ucapan singkat tersebut ternyata berdampak besar pada diriku. Buktinya bulir bening yang sejak semalam kutahan, mulai menetes satu persatu. Meski aku sudah bertekad untuk tidak menangis, tapi ia tetap terlepas tanpa bisa dicegah.

Galih mengeratkan genggamannya. Mungkin berusaha menguatkan aku untuk apapun yang akan diucapkannya.

"Tadinya aku gak mau ikut, tapi mama terus maksa sampai akhirnya semua yang hadir ikut maksa. Tiket juga udah disiapin mama, jadi aku gak bisa apa-apa, Na. Begitu rapat selesai, ternyata udah gak ada penerbangan lagi, terpaksa ditunda pagi ini pulangnya."

Semakin Galih menjelaskan, semakin deras air mata ini mengalir. Entah kenapa. Apa ingin menunjukkan, bahwa aku benar-benar tersakiti karena sikap lelaki ini? Entahlah.

Tiba-tiba Galih mendekapku erat. Mengecup sisi kepalaku berkali-kali seraya berbisik kalimat maaf. Namun, bibir ini tetap tak mau berkata-kata. Ia tetap diam membisu. Sementara Galih pun tetap tak melepaskan dekapnya.

🍃🍃🍃

"Na, bangun yuk, udah Subuh nih. Kita jamaah ya."

Galih menepuk pipiku pelan. Membangunkanku diiringi kumandang adzan Subuh dari ponsel Galih di nakas. Mataku membuka perlahan, meski masih terasa berat. Lalu ia membimbingku menuju kamar mandi, dilanjutkan dengan sholat Subuh berjamaah tak lama kemudian.

Everything for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang