Part 18

4.2K 313 9
                                    

Aku kembali ke ruangan dengan wajah ditekuk. Tanpa sadar meletakkan tas terlalu keras di meja dan menyambar gelas berisi air di meja. Meletakkan gelas kembali agak terlalu keras hingga menimbulkan suara berisik. Niken yang masih duduk di kursi kerjaku tak melepaskan pandangan herannya dariku.

"Kenapa sih, Mbak? Kok kayaknya kesel banget."

"Gak apa-apa, Ken."

"Gak apa-apa tapi kok kesel gitu? Gimana makan siangnya sama Pak Galih? Kok udah balik aja."

"Gak jadi, Ken. Tau-tau aja Wildan muncul, trus Galih marah dan kami bertengkar." Kutarik kursi dari meja sebelah dan mengenyakkan diri di atasnya.

"Eh, kok jadi begitu?"

"Aku juga gak tau kenapa jadi emosi waktu Galih minta aku buat jatuhin Wildan. Padahal dia tau kalo kami lagi terikat kerjasama."

"Alasannya apa, Mbak?"

"Menurut Galih itu hanya modus Wildan untuk pendekatan."

Tanpa diduga Niken malah tertawa. Lalu menutup mulutnya dengan tangan saat melihatku melotot ke arahnya. "Berarti Pak Galih cemburu tuh, Mbak."

Aku menarik napas. "Gimana yang tadi aku minta terusin? Udah sampe mana?" tanyaku berusaha mengalihkan perhatian agar kekesalan ini berkurang. Ya, inilah caraku mengurai perasaan, menyibukkan diri dengan pekerjaan. Seperti yang selama ini kulakukan.

Niken menjelaskan bagian mana saja yang telah dikerjakannya dan memintaku untuk mengoreksi. Aku mengangguk melihat gambar kerja yang ditunjukannya. Lumayan, sudah banyak kemajuan dibanding awal-awal ia mulai bekerja. Kuminta Niken melanjutkan pekerjaannya, sementara aku berwudhu dan mendirikan sholat Zuhur di sudut ruangan.

Baru saja melipat mukena, Niken memberi tahu jika ada seorang wanita yang mencariku. "Orangnya nunggu di bawah, Mbak."

Aku mengangguk dan bergegas turun setelah merapikan riasanku kembali. Bukan, bukan riasan yang berlebihan, hanya bedak dan sedikit lipstik warna natural.

Langkahku tertegun di anak tangga terakhir demi melihat siapa yang menanti di sana. Selarik perasaan menyelinap di hati, namun tetap kuayunkan kaki mendekati wanita itu.

"Ryanti ...."

Gadis itu menoleh dan berdiri, lantas menyalamiku dengan senyum tersungging di bibir. "Maaf gak kasih kabar dulu kalo mau ke sini, Mbak. Mudah-mudahan Mbak Ratna lagi gak sibuk ya."

"Kamu tau dari mana kalo saya kerja di sini?"

"Saya tanya Kak Vio kemarin."

"Oh, begitu. Ada perlu apa nih jauh-jauh ke sini." Aku mengajak Ryanti duduk kembali di sofa tamu yang ada di dekat resepsionis. Meminta office boy untuk membawakan minuman. Aku memang sering kedatangan tamu, hingga tak akan ada yang curiga jika melihatku mengobrol di sini.

"Hmm ... begini, Mbak. Saya mau minta tolong sama Mbak Ratna. Karena saya tau cuma Mbak Ratna yang bisa membantu."

"Bantuan apa nih? Kenapa gak minta tolong Kak Viona aja?"

Wanita yang kutaksir masih di awal dua puluh tahunan itu sejenak meragu. "Begini, Mbak. Saya paham banget gimana kedekatan Mbak Ratna dan Mas Galih. Saya juga paham kalo dia gak punya perasaan apa-apa sama saya biarpun sikapnya tetap baik, tapi saya gak bisa membohongi diri sendiri kalo saya benar-benar udah jatuh hati sama Galih."

Meski telah bisa menduga, tak pelak aku tetap terkejut mendengar Ryanti mengungkapkan semua perasaannya. Menatap lamat-lamat gadis yang tengah tertunduk. Kesedihan membayang di wajah putihnya.

"Minum dulu, Ry," tawarku saat office boy mengantarkan teh hangat. "Terus apa yang bisa Mbak bantu?"

Ryanti mengangkat wajah, selarik harapan dapat kulihat di matanya. Mungkin merasa bahwa aku bisa menolong kesulitannya dengan melontarkan pertanyaan tadi.

Everything for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang