Part 25

3.5K 273 24
                                    

"Mbak Saila?" sapaku pada wanita yang menoleh dengan raut yang lain dari biasanya.

"Eh, Ratna." Saila memaksa seulas senyum saat aku duduk di sebelahnya. "Kamu apa kabar, Na?"

"Alhamdulillah baik. Mbak Saila sama siapa? Mau periksa hamil? Intan mana?" Aku menengok kanan dan kiri, mencari gadis kecil yang mungkin sekarang sudah lancar berjalan.

"Intan di rumah sama ibu. Hmm ... iya, Na, mau periksa hamil."

"Wah, Intan mau jadi kakak. Selamat ya, Mbak. Aku ikut senang dengernya."

"Hmm ... iya, makasih, Na. Tapi kayaknya gak bisa aku terusin kehamilan ini, Na."

"Maksud Mbak Saila apa?" Kulihat dengan seksama wajah cantik yang tengah dirundung duka itu. "Mbak Saila mau gugurin kandungan? Kenapa, Mbak?"

"Na! Abis ini giliran kita loh ya." Galih mengingatkan dari tempat duduknya semula yang berjarak tiga kursi dariku sekarang. Aku menoleh dan mengiyakan.

Lantas kembali menatap wajah ayu dengan bulu mata lentik yang mengerjap beberapa kali, seolah tengah mengusir titik-titik bening yang mulai menggenangi sudutnya.

"Mbak, apa ada masalah dengan kandungannya? Atau kalian yang bermasalah sampe mau menggugurkan kandungan? Mbak Saila serius?"

"Saya gak tau lagi harus gimana, Na. Saya ...."

"Mbak, sekali pun kalian ada masalah, bayi itu tidak bersalah. Coba Mbak liat, di sini banyak banget ibu hamil, tapi gak sedikit juga yang harus berjuang untuk bisa hamil, termasuk saya. Dan Mbak Saila harus bersyukur karna gak ada di posisi saya."

Saila tiba-tiba menoleh dan menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Membuat sensasi aneh seketika muncul di benak.

"Na! Yuk, masuk!"

Galih yang telah berada di depanku menyodorkan tangannya, membuatku menoleh dan melihat sekilas pada tangan yang mengarah padaku. Bagai tersadar, aku pun berdiri dan menyambut tangan Galih lalu memasuki ruang praktek dokter bersama. Meninggalkan Saila yang masih tertunduk di sana.

"Kalo boleh tau, sudah berapa lama menikah?" tanya dokter wanita yang masih tampak energik di usianya yang sudah tak muda lagi.

"Baru seminggu, Dok," jawab Galih mantap.

"Masih pengantin baru kok udah ke sini?" Dokter yang ternyata bernama Shinta itu menahan senyum seolah melihat kejadian yang lucu.

Aku yang tak tahu harus menjawab apa, memutuskan untuk diam saja. Menyerahkan pada lelaki di sisi kananku, biar dia saja yang menjawab. Pasrah jika ia akhirnya menceritakan tentang pernikahanku sebelumnya.

"Emang kalo masih pengantin baru, gak boleh ke sini ya, Dok?"

Setengah tertawa Dokter Shinta melihat ke arah kami bergantian. "Bukan begitu, Pak. Biasanya pengantin baru kan masih nikmatin bulan madu, tapi Bapak, hmm–melirik sejenak ke buku yang diserahkan perawat tadi–Galih … malah khawatir tentang anak. Biasanya yang cemas tentang kehamilan itu, mereka yang pernikahannya udah di atas satu tahun."

Galih menghela napas sebelum menjawab. "Hmm, begini Dok. Saya itu kan kerjanya sering ke luar kota. Kasian istri saya yang cantik ini kalo sendirian di rumah. Nah, kalo ada anak kan, istri saya jadi ada temennya di rumah."

"Oh, begitu. Ya, ya saya paham maksud Bapak ...."

Entah apa lagi yang diucapkan dokter tersebut, karena pikiranku terlanjur dipenuhi oleh sosok lelaki yang ternyata pandai sekali mencari jawaban tanpa harus membuka kisah masa laluku. Perlahan aku menoleh ke kanan, menatap dalam-dalam lelakiku yang tengah mendengar penjelasan dokter, dari samping. Entah mengapa air mata tiba-tiba bersesakan di sudut mata, membuatku mengusapnya perlahan.

Everything for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang