Part 27

2.9K 309 70
                                    

"Mas …," desisku. "Kenapa kamu lakuin itu, Mas?"

Tiba-tiba Indra memegang lenganku erat. Wajah kami yang hanya berjarak beberapa senti saja, membuat embusan napasnya terasa di wajahku. Matanya menatapku dalam. Membuatku menahan napas seketika.

"Asal kamu tau, Na. Sedetik pun aku gak bisa melupakanmu! Setiap menit aku menyesali kebodohanku karna telah melepasmu!" Indra mengucapkan kalimatnya lamat-lamat dengan pandangan yang terkunci padaku.

"Apa maksud kamu, Mas? Ingat Intan, Mas! Juga istrimu yang sekarang sedang mengandung anakmu!"

"Saila? Hamil?" Mata Indra membulat seolah tak percaya pada pendengarannya sendiri.

"Ya. Dan aku ke sini cuma mau kasih tau kalo aku ketemu istrimu di rumah sakit. Asal kamu tau aja, dia ke sana untuk menggugurkan kandungannya. Ibu mana yang tega begitu, kalo bukan karena stress dan depresi yang dialami. Ingat Mas, Intan masih membutuhkan ibunya, jangan sampai ia jadi korban keegoisan kalian."

Aku menyentak lenganku hingga terlepas dari pegangannya. Lalu beranjak pergi. Saat itulah Indra mengejar dan membawaku dalam dekapannya. Membisikkan sesuatu. Susah payah aku berusaha melepaskan diri. Hingga akhirnya....

Plak!

"Jangan pernah sentuh aku lagi ya, Mas!" Aku menuding jari telunjuk ke arah Indra yang masih memegang pipinya yang memerah. "Aku bukan istrimu lagi dan kesempatan yang kamu minta tadi ... gak akan pernah ada sampai kapan pun!"

🍃🍃🍃

Kuletakkan plastik berisi belanjaan di meja makan, sesaat setelah menutup pintu. Bersyukur kerjaan hari ini tak terlalu padat juga tak ada jadwal temu dengan klien, hingga bisa pulang cepat setelah menyelesaikan beberapa gambar kerja. Bahkan sempat mampir ke supermarket sekadar membeli beberapa kebutuhan di rumah yang habis. Mungkin masih sempat memasak sebelum Galih tiba di rumah nanti. Tadi pagi ia sempat menjanjikan untuk pulang lebih awal juga.

Baru saja melepas pashmina instan, terdengar bel pintu berbunyi beberapa kali. Segera aku menyambar jilbab yang biasa dipakai sehari-hari di rumah dan melangkah ke depan. Tertegun sesaat setelah daun pintu terbuka.

"Boleh saya masuk?"

Sapa seorang wanita yang menyadarkanku dari lamunan. Aku pun membuka pintu lebih lebar, memberi kesempatan pada tamu sore itu untuk masuk. Setelah mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu, wanita anggun itu pun mendudukkan diri di sofa.

Aku melangkah cepat menuju dapur yang hanya terpisah oleh bufet sebagai penyekat ruangan. Tak lama kemudian, kembali dengan dua cangkir teh. Lantas menempati sofa di seberang wanita tadi setelah meletakkan teh di meja.

"Silakan diminum, Tante."

Tante Lyan mengambil cangkir di hadapan dan menyeruput isinya perlahan. Lalu meletakkannya kembali di meja dan menatapku. Tatapannya yang intens membuatku merasa tengah diinterogasi. Seiring dengan detak jam yang kian terdengar jelas.

"Saya akan merestui pernikahan kalian, asal kamu mengizinkan Galih menikah juga dengan Ryanti."

Meskipun diucapkan dengan nada yang biasa, tetap saja kalimat tadi menyentak perasaanku. Aku terpaku menatap wanita yang telah melahirkan lelaki paling kucinta. Tatapan kami bertemu, mencoba menyelami apa yang tersimpan di hati masing-masing. Hingga kesadaran itu datang, bahwa tak akan pernah mudah membuatnya menyukai apalagi menerimaku sebagai bagian keluarga mereka.

"Kenapa harus meminta izin saya? Bukannya Tante tinggal minta langsung aja ke Galih?"

"Dia pasti akan menolak mentah-mentah. Lain halnya kalo kamu yang minta, Galih pasti akan memikirkannya."

Everything for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang