Part 20

6.2K 380 23
                                    

Hari telah beranjak senja. Mentari semakin turun di ufuk barat. Jingga memenuhi cakrawala. Tapi aku masih setia di sini. Menatap anak-anak yang masih berlari ke sana-sini dengan kaki-kaki mungil yang bergerak lincah. Lalu di lapangan sebelahnya tampak beberapa remaja masih asyik bermain voli.

Seperti yang kubilang tadi, aku masih setia di sini. Duduk dan melihat semua ini membuat perasaanku sedikit ringan, meski sesak itu masih terasa. Ya, aku telah berada di sini sejak pergi dari rumah Galih beberapa jam lalu.

Entah apa sebabnya hingga aku melangkah ke sini. Taman yang tak jauh dari sekolahku ini tak banyak berubah. Tetap ramai dengan anak-anak dan berbagai aktivitas olahraga. Tak sedikit pula pedagang asongan yang berkumpul di sekitar tempat ini. Mungkin berharap anak-anak itu menyerbu dagangan mereka.

Aku hanya memandang semua itu dengan perasaan yang ... entah. Karena di sinilah tempatku dan Galih kerap menghabiskan waktu saat jam pelajaran kosong, sebelum mengambil kue buatan ibu yang dititipkan di warung-warung.

"Kamu ngapain masih buka buku aja, Na? Gak seneng banget kayaknya nemenin gue di sini?" Galih merebut buku di pangkuan yang tengah kutulisi dengan tugas dari guru Biologi. Lantas membacanya kencang-kencang.

"Ihhh, apaan sih, Lih! Nyebelin banget deh. Balikin gak buku gue? Gue laporin guru piket juga nih, kabur di jam pelajaran." Aku berdiri dan mulai berbalik, bermaksud kembali ke sekolah, meski hanya pura-pura.

"Eit. Eit. Jangan ngambek dong. Jelek tau manyun begitu."

"Biarin! Udah tau jelek, masih juga dikejar."

Galih tertawa keras mendengar ucapanku. Lantas menarik tanganku dan memaksa untuk duduk kembali. "Iya. Iya. Maaf. Mana orangnya yang bilang jelek? Sini suruh lawan aku!"

"Gak ada! Orangnya udah ke laut."

Galih kembali tertawa. "Mau batagor gak? Mumpung abangnya belom pergi tuh. Kamu biasanya seneng batagor abang yang itu."

Aku melirik ke arah Galih. Baru sadar jika ia menggunakan kata aku dan kamu. Manis bener kedengarannya. Kesambet apa ya ini orang? Tadi bikin aku kesal, sekarang sok manis-manis.

"Kenapa liat-liat? Naksir?"

"Ihh, GR. Ya udah gue aja yang beli batagor, ini kan jatah gue traktir." Aku berdiri kembali hendak menuju penjual batagor langganan kami.

"Aku aja ya. Itung-itung permintaan maaf."

Mataku kembali menyipit melihatnya. "Lih? Lu sakit?" Tanganku tergerak ke arah keningnya.

"Ngapain sih, Na? Gue gak sakit tau!"

"Abis tumbenan banget pake aku-kamu segala." Aku lantas tertawa melihat wajah kesalnya.

"Gue balik aja deh, lu lagi nyebelin banget dari tadi!"

Ya ampun, ini orang lagi PMS apa ya, sensitif banget dari tadi. Terpaksa deh aku mendekat dan berdiri tepat di depannya. Memberi senyum termanis yang kupunya.

"Ngapain senyum-senyum gitu? Minta dicium ya? Jangan di sini, banyak orang."

Seketika mataku membulat. "Apaan sih lu. Mesum deh." Aku meninju lengannya pelan.

"Lagian senyum-senyum gak jelas gitu. Ya udah buruan sana kalo mau traktir, keburu pergi itu abangnya."

Aku kembali tersenyum mengingat saat itu dan saat-saat bersamanya, meski hanya sekejap. Karena Galih langsung dikirim orang tuanya ke luar negeri begitu penyataan lulus diumumkan.

"Eh, Ratna kan?"

Aku menoleh ke arah sumber suara. Seraut wajah yang terasa tak asing dengan dihiasi senyum ramah. "Kalo gak salah ... Stevi ya?"

Everything for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang