Part 2

6.5K 288 3
                                    

Bagiku, berada seorang diri di rumah bukanlah hal yang aneh lagi. Sejak ibu tercinta pergi untuk selamanya, otomatis aku tak memiliki teman lagi dalam keseharian. Terlebih Indra, suamiku yang telah tiga tahun ini dipercayakan untuk meng-handle perusahaan tempatnya bekerja yang membuka cabang di Batam, semakin sibuk dengan pekerjaannya. Membuatnya semakin jarang pulang.

Bukan sekali dua, aku menawarkan untuk mengikuti dirinya. Namun, selalu saja ditolaknya. “Sayang pekerjaanmu, Rat. Kamu punya karier bagus di sini.” Selalu saja seperti itu alasannya. Meski tak kupungkiri bahwa yang dia ucapkan benar adanya, tapi sebagai istri yang baik, tentu saja aku akan meninggalkan pekerjaan ini untuknya.

Ya, aku tetap ingin menjadi istri yang baik. Meski kami menikah atas dasar perjodohan dari orangtua masing-masing. Namun, aku tetap menerimanya dengan sepenuh hati, sebagai bentuk bakti pada ibuku.

Meski hingga memasuki tahun ketiga ini kami belum dikaruniai seorang anak, aku tetap berusaha menjadi istri yang baik. Walau harus mengesampingkan rasa sepi yang terkadang hinggap.

Entah dorongan apa yang membuatku akhirnya membongkar kembali kotak penyimpanan barang-barang lamaku yang berada di gudang. Kuambil sebuah buku berwarna merah muda dengan gembok kecil yang hampir berkarat. Tanganku lalu sibuk mengaduk kotak tersebut, mencari kunci kecil untuk membukanya.

Ah, ketemu! Detik berikutnya gembok telah terlepas dan terbukalah buku yang selalu menemani saat aku harus melalui beberapa masa dalam hidup ini. Perlahan kubalik lembar demi lembarnya. Tanpa terasa bibir ini melengkungkan senyum, bersamaan dengan setitik air bening yang mengalir dari sudut mata.

Ya, itu adalah buku harianku. Teman sekaligus sahabat untukku mencurahkan semua rasa. Kuingat buku ini diawali dengan kehilangan yang mendalam saat ayah tercinta harus pergi akibat kecelakaan. Saat itu aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Hingga kehilangan yang kembali kurasa saat lelaki itu pergi dari hidupku. Lelaki yang tanpa diduga akan kutemui kembali.

Tiba-tiba ponsel di saku celanaku bergetar. Tampak nama Indra tertera di layar. Segera kugeser lambang telepon ke arah kanan.

“Assalamu'alaikum. Ya, Mas? Udah mendarat? Kok gak ngabarin sih? Mau dijemput apa naik taksi aja? Oh ya udah, aku tunggu di rumah ya.”

Tak lama panggilan itu pun berakhir. Kupasang kembali gembok tadi, lalu membawa buku penuh kenangan itu ke kamar. Kemudian bergegas berganti pakaian demi menyambut kepulangan Indra, setelah menyimpan buku tadi di laci meja samping tempat tidurku.

🍃

Satu jam kemudian, sebuah taksi berhenti tepat di depan rumah. Disusul Indra yang turun dari kursi belakang. Segera kubuka pintu, bahkan sebelum ia sempat mengucapkan salam. Lalu kusalami tangannya dan meraih tas travelling dari tangannya.

“Kok gak ngabarin dulu sih, Mas. Aku jadi terburu-buru deh masaknya.”

Indra tertawa renyah sambil menggandeng tanganku memasuki rumah. “Sengaja, mau kasih surprise. Udah hampir sebulan ini kan aku gak pulang. Kamu sehat kan?”

“Alhamdulillah, Mas. Mas Indra juga kayaknya gemukan ya.” Kuamati lelaki di samping dengan seksama. Benar, ia tampak lebih berisi dari saat terakhir kali pulang.

“Masa sih? Padahal kerjaan lagi padat-padatnya. Aku aja pulangnya malam terus.”

“Kasian. Pasti capek ya. Apa Ratna perlu ikut ke sana, Mas?”

“Gak usahlah, Mas masih bisa sendiri. Lagi juga kasian kamu, pasti bosan dikontrakkan setiap hari. Di sini kamu bisa kerja, bisa kumpul sama temen-temen,” jawabnya seraya mengecup puncak kepalaku.

Andai kamu tahu, di sini pun aku bosan dan kesepian, Mas. Tanpa ibu, suami, apalagi anak. Kuhela napas panjang menatap punggung yang tengah berjalan menuju kamar kami.

Everything for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang