68 - Wasana

3.1K 377 75
                                    

🦋 Halohai! 🦋

Setelah kemarin ngilang karena UTS, haloooo, akhirnya aku muncul lagi ke permukaan. 🖐🏻

Aku kira kalian udah ngga nunggu Amerta, loh, makanya aku santai aja ngga lanjutin. Ternyata masih ada yang nunggu.

🌙 Ya, walaupun aku sadar, antusiasme pembaca yang sekarang sama awal aku nulis Amerta udah beda banget, tapi ngga papa. Aku mau apresiasi ke kalian buat pembaca lama dan mungkin ada beberapa pembaca baruku. Mau ngucapin makasih aja buat pembaca lama yang masih setia sama cerita abal-abal ini, hehe. Buat pembaca baru, selamat menikmati, ya. Semoga kenyamanan yang kalian cari ada di sini. ☺️

Part ini cukup panjang, silakan menikmati semoga bisa dinikmati, yaaa.

Jangan lupa vote sama komentar yang banyak. Pokoknya ayo vote sama komentar terus biar aku semangat lanjutin. ❤️

Wasana; akhir.

Dua hari kemudian, Senin; 06.30

Detik ini juga untuk pertama kalinya seorang Abian Cakra Adiwarna masih mengenakan kaos oblong berwarna abu-abu dan celana jeans pendek kesukaannya. Memang, Senin kali ini tidak seperti biasanya. Jangan lupakan cuti yang Bian ambil selama tiga hari mendatang.

Bian yang baru saja selesai mandi pun berjalan menuju sebelah lemari besar kamarnya untuk meletakan handuk kembali. Nara yang tengah duduk di tepi ranjang hanya menggelengkan kepalanya sambil berdecak. "Kamu beneran ngga ke kantor, Mas?"

Bian lekas mengangguk. "Kapan saya main-main sama omongan saya?" tanya Bian serius.

"Emang lagi ngga banyak pekerjaan? Ke kantor aja ngga papa, sih, Mas."

Bian pun berjalan menuju tepi ranjang dan mengusap pundak istrinya itu. "Pekerjaan saya lagi ngga banyak, terus udah bisa diambil alih Darel. Kamu lebih penting," ujarnya sambil tersenyum.

"Kalau tiba-tiba ada client penting mau meeting gimana?"

Bian hanya mengerutkan kening. "Kamu, loh, kaya ngga pernah jadi sekretaris pribadi saya. Dulu waktu saya cuti satu hari aja jadwal udah saya padatkan ke minggu depannya, kan?" tanya Bian.

Terdengar kekehan kecil dari Nara. Benar juga yang dikatakan laki-laki yang berada di depannya itu. "Lupa aku."

"Kamu ngga perlu mikirin saya, pikirkan diri kamu jauh lebih utama."

Nara lekas mengangguk. "Makasih, ya, kamu beneran nepatin janji kamu buat temenin aku."

"Iya. Yuk, keluar. Udah ditunggu buat sarapan kata Mbok Nah tadi," ajak Bian.

Selanjutnya baik Nara maupun Bian keluar dari kamar untuk menuju ruang makan. Langkah Nara sudah semakin tersendat saat ini. Nara hanya berharap jika memang dalam waktu dekat ini dia akan melahirkan, maka dia hanya ingin untuk tidak menyusahkan orang-orang yang berada di sekitarnya.

Ingat, Nara tidak mau merepotkan orang lain. Selalu dan selalu.

"Loh, kok, kamu pakai kaus begini? Ngga ke kantor?" tanya Hanna yang baru saja duduk di kursi meja makan.

Setelah Bian menarik kursi untuk Nara, selanjutnya dia pun duduk di kursi yang biasa digunakan olehnya. "Cuti sampai Rabu, Ma. Takutnya ngga bisa temenin Nara," jawab Bian. "Kaila mana, Ma?"

"Ayah!"

Panjang umur. Baru saja ditanyakan keberadaannya, yang bersangkutan ternyata tengah berlari menuju kursi kosong di sebelah Hanna. "Ayah ngga ke kantor?" tanya Kaila. Rupanya bocah kecil itu pun keheranan.

Amerta - [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang