[Jangan Ganggu Lagi, Katanya]

186 24 2
                                    

Setelah mengobrol lama dengan ibu Bhayangkara, Felinda pun diantar pulang. Tapi sebelum itu, mereka mampir ke tempat makan—lebih tepatnya Bhayangkara yang mengajak Felinda makan. Karena Bhayangkara lapar dan pagi tadi belum sarapan, selain itu juga masih ingin berduaan dengan Felinda.

"Gue butuh bantuan, lo," kata Bhayangkara.

"Bantuan apa?" tanya Felinda dengan malas.

"Lo mau bantuin gue?"

"Bukannya kemari-kemarin bilang jangan ganggu lagi?" Ia melempar senyum smirk pada Bhayangkara.

"Harus?" Felinda tertawa pongah, ia cukup sakit hati dengan kejadian kemarin dan sekarang orang yang di hadapannya ini—yang telah menyakiti Felinda kemarin minta tolong padanya. Apa dia hilang akal?

"Kemarin aja seperti nggak butuh, bahkan sampe ngatain aku anak kecil dan nggak boleh ganggu. Padahal hati busukmu itu pengin melecehkan dan sekarang?" Felinda menatap tajam Bhayangkara. "Ngemis minta bantuan? Apa kamu waras?" Felinda melipat tangan di depan dada.

"Oke, gue minta maaf dan maaf."

"Maaf?" Felinda membuang muka. "Kamu baru ngucapin maaf padahal udah berapa kali kamu menyakiti?" Kemudian Felinda beranjak pergi meninggalkan Bhayangkara yang langsung berteriak, "Lo harus nikah sama gue!"

Felinda berhenti sejenak tanpa menoleh. "Mimpi aja sana, Bung!"

Bhayangkara mengejar Felinda lantas mencekal pergelangan tangannya. "Kita makan aja dulu, nanti gue anterin pulang."

Felinda berbalik kemudian menatap Bhayangkara masih dengan tatapan benci. "Tanpa kamu anterin pulang, aku masih punya kaki buat jalan."

Akhirnya Felinda melepas tangan Bhayangkara kemudian melangkahkan kakinya tapi lagi-lagi Bhayangkara mencekal Felinda tanpa jengah. Membuat si empu geram. 

"Oh, c'mon please! Bapak Bhayangkara yang terhormat, bisa lepaskan tangan ini?" Felinda mengangkat tangan yang dicekl Bhayangkara.

Sementara Bhayangkara menatap Felinda dengan sendu, ia benar-benar enggan untuk melepas gadis itu apalagi dengan respons ibunya saat bertemu Felinda begitu senang. Bhayangkara bisa melihat itu dari tatapan dan ekspresi yang dipancarkannya. 

"Please, Fe. Gue laper, kita perlu ngobrol juga!"

"Yang laper itu perut kamu bukan aku dan yang perlu ngobrol juga kamu bukan aku." 

Sakit hatinya perempuan memang susah untuk disembuhkan, sebenarnya itu juga berlaku pada laki-laki. Kesimpulannya, semua orang yang tersakiti itu akan susah memaafkan seseorang yang pernah menyematkan luka pada hatinya. Tapi, mungkin ada beberapa itu yang memaafkan tapi tidak untuk melupakan sakit  itu.

"Sekali ini aja, Fe. Jangan keras kepala!"

Mendengar kalimat yang mengandung kata kiasan itu membuat Felinda semakin murka. Ia memukul lengan Bhayangkara keras namun pada dasarnya pukulan itu tak berarti bagi Bhayangkara. "Kalau aku keras kepala, jangan ngajak nikah, Bung! Cari aja gadis lain."

Bhayangkara tak lagi menyahut melainkan memilih untuk menarik tangan Felinda dengan sedikit kasar. Ia ajak masuk ke rumah makan masakan Padang itu dan memilih untuk membungkus saja daripada menanggapi Felinda yang terus-terusan rewel.

Yang menjadi beban itu bukan yang meminta maaf melainkan yang memaafkan. Karena yang menyakitkan memang tak selalu baik.

~~~

Begitu tiba di rumah Felinda, Bhayangkara ikut masuk bahkan memerintahkan Felinda untuk mengambil piring sekalian sendok. Ia memang dilanda lapar. Maka dari itu dengan terpaksa Felinda mengambilkan alat makan itu untuk Bhayangkara. 

Kusempurnakan Separuh AgamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang