[Lebih Kejam dari Pembunuhan]

195 24 3
                                    

Hari ini Felinda kedatangan tamu lebih tepatnya bakal calon nanti. Maka dari itu, sekarang ini mereka ingin saling bertemu agar semakin kenal. Karena selama ini mereka hanya berkomunikasi melalui ponsel—chatting. Memang belum ada kesempatan karena kesibukan masing-masing.

Pagi pukul 10 waktu Indonesia barat itu, Felinda mempersiapkan segalanya untuk tamu yang akan berkunjung ke rumah. Seperti suguhan, tentu saja yang lain— membersihkan rumah. Walaupun pada dasarnya rumah itu selalu bersih karena Felinda yang sering mengepel dan menyapunya.

"Assalamu'alaikum." Felinda terkejut mendengar uluk salam dari depan. Ia bergegas mencari tudung hijab lantas memakainya, tak peduli rapi atau tidak ia segera menuju depan untuk membukakan pintu.

"Wa'alaikumussalam." Begitu setelah menjawab salam, Felinda melempar senyum pada tamunya. "Silakan."

"Lagi sibuk, Dek?"

Fariz. Tamu Felinda.

Namun selang beberapa menit, ada yang datang ke rumah Felinda. Dan kedatangan itu sebenarnya tidak ingin Felinda sambut karena orang tersebut yang ingin ia hindari. Bhayangkara. Tubuh tegap itu menjulang tinggi di hadapan Felinda yang berada di ambang pintu. Karena ia tadi penasaran dengan orang yang memarkirkan motor di perkarangan rumahnya.

"Hai!" sapa Bhayangkara dengan tersenyum namun lain hal dengan Felinda diam dan Fariz yang bertanya-tanya dalam pikirannya.

Seolah tersadar Felinda langsung melontarkan maksud tujuan Bhayangkara. "Ngapain kesini?"

"Mau kenalan sama orang tua kamu, ada?"

"Siapa, Dek?" Felinda sontak menoleh ke belakang.

"Orang nggak penting." Felinda menjawab dengan kalem, berbeda saat berhadapan dengan Bhayangkara yang masih setia tersenyum walaupun ia belum dipersilahkan sama sekali atau bahkan tidak akan.

"Jelas akan menjadi penting," Bhayangkara menimbrung percakapan mereka.

Fariz yang sedari tadi dibuat penasaran itu memilih beranjak lantas mendekati Felinda dan Bhayangkara.

"Kamu siapa?"

Bhayangkara tersenyum lantas mengulurkan tangannya dan disambut Fariz. "Ayah dari anaknya Anya Felinda."

Fariz mengerutkan dahinya tak paham. Tapi saat hendak bersuara, ibu Felinda merapat ke arah mereka bertiga yang lebih tepatnya baru saja pulang dari sebuah acara pengajian pagi.

"Assalamu'alaikum, eh, ada tamu."

"Wa'alaikumussalam." Mereka menjawab dengan kompak.

Ibu Felinda masuk rumah kala Bhayangkara sedikit bergeser. Dua lelaki yang sedang berperang melalui tatapan itu menyalami ibu Felinda dengan bergantian. Dan terkejut kala melihat kehadiran Fariz.

"Mas Fariz udah dari tadi?" tentu saja, ibu Felinda mengenali walaupun baru pertama kalinya bertemu. Alasan memanggil Fariz dengan sebutan mas karena untuk belajar membiasakan Felinda.

"Baru aja, Bu."

Lalu ibu Felinda beralih menatap ke arah Bhayangkara yang masih berada di ambang pintu, memang sengaja Felinda tidak mempersilahkannya. Lantas kemudian bertanya, "Ini siapa, Fel?"

Felinda melirik Bhayangkara dengan raut tak suka. "Orang minta sumbangan, Bu. Ibu ada uang?"

Lain hal dengan Bhayangkara yang menatap tajam ke arah Felinda, namun kali ini harus menahan sabar sebelum nanti apa yang akan terjadi. Tunggu saja.

"Disuruh masuk dulu, Fel. Ibu ambilkan dulu uangnya." Setelah ibu Felinda berlalu, Bhayangkara dan Felinda saling menatap seperti sama-sama mengirimkan signal perang. Namun tak lama, karena Felinda tersadar hal yang dilakukannya bisa menimbulkan kecurigaan Fariz.

Kusempurnakan Separuh AgamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang