Part 8

226 20 1
                                    

"Kak, aku … aku mau minta maaf." 

Suara Ameri terdengar parau. Gadis itu tertunduk, rasa malu dan bersalah kian menyelimuti pikirannya. Untuk pertama kali dalam hidup, gadis itu menyingkirkan ego. 

"Kak-" 

Saat Ameri melangkah, Yuri terlihat terkesiap. Seperti ada rasa takut dan hati-hati. Ameri menyadari itu, betapa menyesalnya dia sampai membuat Yuri begitu. Gadis itu langsung berlutut sambil menangis. Memegangi kedua paha kaka iparnya yang gemetar. 

"Kak, aku minta maaf. Aku jahat banget sama kakak. Aku mohon kak, demi Allah. Ami buta, Ami cemburu sama kakak. Ami nggak tahu kalau selama ini …" 

Yuri memejamkan matanya, sembilu itu kembali hadir. Dia mengingat bagaimana Ameri memukulnya dengan membabi buta, mengingat setiap kata jahat yang diucapkan padanya. Kedua tangannya terkepal, Yuri menggigit bibir bawahnya sambil meneteskan air mata. 

Bukan, bukan Yuri tidak mau memaafkan adik iparnya. Tapi, rasa haru bercampur sedih itu menyelimutinya. Sebenarnya Yuri senang saat Ameri datang padanya. Tapi, baginya pelukan seorang suamilah yang dibutuhkannya saat ini. Sentuhan yang hangat dan menenangkan yang tidak pernah dirasakannya. 

"Kak, Ami tahu Ami nggak pantes dimaafkan. Ami memang keterlaluan sama kakak. Apalagi sama Amelia, Ami minta maaf kak," pinta Ameri.

Yuri tidak tega melihat adik iparnya memohon sambil berlutut. Perempuan itu cepat-cepat bangkit dari duduknya membantu Ameri berdiri.

 "Jangan gini, Ami. Bangun dek." 

"Kak, kakak mau maafin Ami kan kak?" tanya Ameri. 

"Kak, Ami nggak akan tenang kalau kakak sama Amel nggak maafin Ami. Ami jahat banget sama kalian," isak Ameri. 

Yuri mengusap air mata adik iparnya. Sebuah tisu putih menyeka kulit mulus Ameri. Postur tinggi Ameri membuat Yuri harus berjinjit. Sentuhan Yuri terasa hangat dan lembut.

Mengenyampingkan ego masing-masing untuk saling memahami dan memaafkan bukanlah hal mudah. Tapi, apa hak manusia untuk tidak memaafkan? Bukankah Tuhan saja Maha Pemaaf? Itulah yang menjadi dasar pikiran Yuri. 

"Kakak sudah maafkan Ami, kok. Kakak juga minta maaf sudah menutupi semuanya." 

Setelah tiga puluh menit menangis dan saling berpelukan,  keduanya kini duduk tenang di sebuah bangku.

"Kamu kesini sama siapa?" tanya Yuri. 

Ameri menunjuk Orion yang juga duduk di bangku belakang mereka. Yuri melihat lelaki berambut sebahu itu, Orion melambaikan tangannya sambil tersenyum. 

"Kakak nggak pernah bisa marah sama abangmu, Mi. Karena semua yang terjadi juga ada andil Kakak," ucap Yuri, manik matanya yang berwarna coklat terang itu menerawang ke arah awan yang bergerak pelan.

"Dulu, kakak terlalu terobsesi dengan karir. Sehingga mengesampingkan perasaan suami kakak yang butuh perhatian. Jadi, abangmu tidak salah seratus persen." 

"Aku pengen banget jadi diplomat, Mi. Jadi saat ada tawaran untuk bertugas selama dua tahun di Singapura. Aku langsung ambil tanpa berdiskusi dengan suamiku." 

"Padahal, Mas Arjuna bilang dia ingin punya anak." 

Yuri tersenyum getir, pandangannya kembali kabur karena airmata. 

"Penyesalan memang datang di akhir ya, Mi." 

Turun Ranjang (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang