Part 13

247 19 2
                                        


Aroma masakan menghiasi ruangan, menari - nari di indera penciuman Vero. Membuat perut rata atletisnya meronta ingin diisi. Yuri tengah memasak di dapur. Aroma bawang bombay dan bawang putih begitu menggugah selera.

Pria itu baru saja pulang setelah melaksanakan sholat subuh di masjid. Pria yang masih memakai sarung dan baju koko itu langsung melenggang ke dapur saat mencium aroma menggiurkan dari masakan Yuri.

Ada rasa hangat di hati Vero, pria itu diam-diam memandangi Yuri yang tengah sibuk dengan peralatan dapur dari kejauhan. Vero mengingat mendiang kakaknya, Arjuna. Biasanya Arjuna pagi-pagi begini sudah bergerilya di dapur. Membuatkan ketiga adiknya bekal makan siang sebelum pergi kuliah atau bekerja.

Vero dan keempat saudaranya kurang perhatian orangtua. Keduanya sibuk mengurus bisnis keluarga sehingga mereka dititipkan kepada para pengasuh terpercaya. Dan Arjunalah yang menggantikan kekurangan itu.

Melihat Yuri, terbersit rasa sesal dan juga benci pada mendiang kakaknya. Bagaimana mungkin, Arjuna sang kakak panutan berubah menjadi pria jahat dan menyakiti perempuan yang dikenalnya sabar dan baik. Tapi, bagaimanapun Arjuna juga yang membesarkannya.

Pria itu jadi teringat Amelia, keponakan kecilnya. Anak kandung sang kakak. Amel akhir-akhir ini tidak seceria dulu. Gadis kecil itu jauh lebih pendiam, bahkan terkesan murung. Bahkan Amel sering merengek saat Vero hendak pergi ke kantor dan terus memanggilnya dengan sebutan 'Papa'.

"Ver, kok berdiri di situ?"

Lamunan Vero terhenti saat Yuri memanggilnya. Pria itu melangkahkan kaki ke meja makan. Meja kayu jati berukuran sedang berbentuk bulat dengan lima kursi mengelilinginya. Vero melihat sudah tersedia beberapa jenis makanan disana. Bahkan Yuri juga menyiapkan tiga kotak makanan. Pria itu tersenyum simpul.

Sama persis seperti mendiang Arjuna.

Kalau orang bilang jodoh adalah cerminan, mungkin itulah yang terjadi pada Yuri dan Arjuna.

Bolehkah Vero merasa cemburu dengan itu?

"Bekalnya kok banyak, Ri?" tanya Vero.

Yuri menanggalkan celemek yang dipakainya. Kedua tangannya dengan mulus melipat kain itu lalu menyimpannya ke sebuah rak, kemudian berjalan menghampiri pria yang kini tengah duduk di kursi sambil memasukan makanan ke dalam piringnya..

"Buat kamu, aku, sama Amel, Ver. Aku mau cari kerja. Tak apalah jadi kasir minimarket pun mau."

"Mini market?" tanya Vero, pria itu mengangkat sebelah alisnya tak suka.

"Ya kamu nggak nawarin aku kerja di perusahaan kamu sih, kejam deh," canda Yuri.

"Kalau aku nggak kerja, siapa yang mau nafkahin aku sama Amel. Kamu?" Yuri tertawa, "Memangnya kamu suamiku apa?"

Mendengar itu Vero terdiam sejenak, tenggorokannya mendadak kering dan gatal, dia tersedak. Membuat Yuri segera berlari mengambil air minum lalu membantu pria itu mengusap-usap punggungnya.

"Pelan kalau makan, Ver. Duh." Yuri menegur pria itu.

Vero meneguk air putih yang di sodorkan Yuri dengan sekali teguk. Dia mengambil tisu lalu mengelap mulutnya. Pria itu memandang perempuan berkaos merah muda itu.

"Aku mau bicara serius sama kamu, Ri."

Tatapan pria itu berubah menjadi sangat serius. Yuri bisa merasakan hangat sentuhan Vero di buku tangannya. Perempuan itu mengedipkan mata beberapa kali.

"Duduk," pinta Vero.

Yuri menuruti perintahnya, perempuan itu duduk tepat di samping pria berbaju koko putih itu. Dalam remangnya lampu ruang makan, wajah Vero terlihat bercahaya. Mungkin karena dia baru pulang dari masjid, pria berkulit honey itu effortlessly ganteng hanya dengan peci putih di kepalanya.

Dipandangi seperti itu, Yuri merasa tegang. Tanpa sengaja perempuan itu menggigit bibir bawahnya. Apalagi tangan Vero dengan erat memegang tangannya.

"Ayo nikah, Ri."

Pernyataan pria itu membuat kepalanya serasa dihantam truk. Yuri, tiba-tiba saja merasa pusing. Perempuan itu tanpa sadar mengambil gelas berisi air yang baru saja diminum Vero lalu meminum air itu hingga tandas. Dia mengatur nafas agar detak jantungnya tidak berdegup kencang.

"Be- bercanda kamu, Ver." Perempuan itu menepis tangan Vero.

"Nggak, sama sekali nggak bercanda."

Pria itu diam sejenak, memilih kalimat yang tepat untuk disampaikan.

"Ri, kita sudah tinggal bareng lima bulan. Dan Amelia juga sekarang manggil aku Papa."

Sekilas Yuri jadi ingat kejadian kemarin saat dia berbelanja di swalayan komplek apartemen tempat tinggal mereka. Bukannya Yuri tidak tahu kalau belakangan banyak rumor beredar di kalangan ibu-ibu apartemen bahwa dia dan Vero tinggal bersama tanpa menikah. Padahal mereka tinggal di apartemen yang notabenenya penghuni jarang berinteraksi. Tapi dasar Vero bujangan wahid cap kayu jati, selain para mbak-mbak executive muda, mbak-mbak kasir alfimart dan indimart pun mengenal, Mas ganteng bernama Vero dari unit D itu.

Vero memang supel, membuatnya mudah dikenal bahkan Mang Sapri, tukang parkir basement unit D saja sampai pernah menyodorkan putrinya Neng Astri untuk dinikahi. Belum lagi Mbak Eva dari Unit seberang yang setiap jam 05.00 sore rajin banget mengirimi kopi dan cemilan. Belum Lidia si artis tok tok, yang tiap Sabtu ngetuk pintu untuk ngajak candle light dinner. Sejak mereka melihat keberadaan Yuri dan perlakuan Vero pada dirinya dan Amelia, rumor mulai berkembang.

Janda kembang Apartemen Green Village, karena itu juga nama Yuri jadi terkenal di kalangan security. Pantas saja setiap berpapasan dengan para ibu-ibu atau mbak-mbak di lift, tatapan mata bengis nan julid selalu diterimanya. Bahkan pernah Yuri mendapat perlakuan judes dari mbak Alfimart saat berbelanja kebutuhan bulanan.

"Kalau itu, kamu tenang aja Ver. Aku bakal pindah besok ke apartemen aku," potong Yuri. Sepertinya perempuan itu salah paham dengan maksud Vero.

"Bukan, Ri. Amelia butuh sosok seorang bapak. Dan aku lebih dari bersedia untuk itu, Ri. Lagipula, aku juga merasa senang ada kamu disini."

"Ver, please. Jangan ngadi-ngadi deh kamu." Yuri beranjak tergesa dari kursi itu. Dia bergegas meninggalkan ruang itu menuju kamarnya. Tapi langkahnya terhenti saat sebuah tangan menariknya. Perempuan itu bisa merasakan hembusan nafas Vero yang hangat di lehernya. Kedua tangan Vero sudah mendarat di pinggangnya. Memeluknya erat.

"Niatku baik, Ri. Aku sayang sama kamu."

Yuri terpaku, tak mampu berkata apapun. Rasanya tubuhnya jadi lemas tak bisa digerakkan. Bisikan Vero di telinganya membuat sekujur tubuhnya meleleh.

"Aku, Nggak tahu Ver. Aku ... semua ini terlalu mendadak."

Vero membalik tubuh mungil perempuan itu. Kedua netra mereka bertemu. Vero menyandarkan wajah Yuri ke dadanya. Mengusap pucuk kepala perempuan itu penuh kasih sayang.

"Aku nggak main-main,Ri. Wallahi. Rasakan detak jantungku. Aku juga deg-degan. Awalnya aku cuma simpatik sama kamu. Kamu begitu kuat,Ri."

"Salahku, Ri kalau punya rasa ini ke kamu?" tanya Vero lirih.

Yuri tidak bisa menjawabnya. Degup jantung Vero terdengar di jelas ditelinga Yuri. Degupan itu sedikit tidak teratur, sama seperti suasana hati pria itu. Bukan salah siapapun jika rasa itu tumbuh seiring berjalannya waktu. Namun permasalahan tepat atau tidaknya perasaan itu menjadi ganjalan bagi keduanya.

"Sebenarnya, aku suka sama kamu sejak kuliah. Tapi aku nggak mungkin bersaing dengan orang yang aku sayangi juga, Ri. Kamu dan Abangku sama-sama begitu berarti buatku."

"Tapi aku istri kakakmu, Ver." Yuri melepaskan diri dari pelukan pria itu.

"Ri, Arjuna sudah wafat." 

Turun Ranjang (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang