part 16

204 17 1
                                    

"Kalian gila!"

Lengkingan suara itu terdengar menakutkan. Membuat aura ruangan berukuran besar dengan ornamen klasik khas negara Yunani itu terasa mencekam. Bahkan gema suara itu membuat beberapa benda yang menggantung di langit-langit ruangan ikut bergoyang.

Source : Pinterest

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Source : Pinterest

Jonathan memang menakutkan, pria paruh baya itu seperti singa buas jika sedang mengamuk. Bahkan kedua putranya kini hanya bisa tertunduk di depan sang ayah. Sementara itu Diana sang istri lebih memilih diam dalam deraian air mata.

Source : pinterest

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Source : pinterest

"Papi nggak habis pikir, dimana otak kamu Ver?"

Alih-alih takut, Vero malah menegakkan tubuhnya menatap fokus pada lelaki paruh baya yang sedang mondar mandir di hadapannya.

"Vero, nggak main-main Pi, Vero serius."

Jonathan membalikkan badan, menatap putra ketiganya sekilas lalu menghembuskan nafas kasar seraya memijat keningnya.

"Bukan itu masalahnya,Ver. Apa tanggapan orang soal ini? Lagipula, Mami belum bisa terima soal Amelia."

Juni memicingkan matanya, ada rasa sakit saat nama keponakannya disebut. Amelia yang malang, korban dari nafsu sesaat kedua orangtuanya yang telah tiada. Yang tidak tahu menahu akan asal mula kehadirannya, tapi harus menelan pahit sedari lahir.

"Mi,"

Belaian lembut di kulit yang mulai terlihat keriput itu membuat airmata Diana semakin deras.

"Soal Amelia, Vero cuma mau bilang. Anak itu tidak pernah minta dilahirkan dengan cara seperti itu. Andai bisa, pasti Amel memilih menjadi putri kandung Yuri. Dan Mi, bagaimanapun ada darah Abang di tubuhnya. Ada darah Mami dan Papi, darahku, Juni dan Ameri."

"Bayangin, Mi. Amelia nggak tahu apa-apa. Dia juga nggak punya dosa apapun sama kita, Mi. Tapi kenapa harus Amel yang menerima kebencian dari keluarganya sendiri, kebencian dari hal yang tidak pernah dilakukannya. Amel itu korban, Mi."

"Apa Mami sama Papi tega sama darah daging sendiri?"

"Mi, Mami ngajarin Vero untuk berbelas kasihan. Allah aja Maha pemaaf, Mi. Dan Vero yakin, semua yang ditakdirkan Allah ke Abang, Amelia, Yuri, Mami dan Papi itu nggak ada yang kebetulan. Akan jadi dosa besar jika kita mengabaikan Amelia. Apalagi dia adalah Yatim piatu."

Sebuah kecupan lembut terasa hangat di buku tangan Diana. Meskipun Diana tahu apa yang dikatakan putranya benar, tapi masih ada rasa mengganjal di hatinya.

"Pi, tanpa sadar karena keegoisan kita. Satu keluarga ini juga telah menoreh dosa."

Jonathan sedikit tak terima dengan ucapan anak keduanya Juni. Lelaki tua itu menatap putranya.

"Juni bukan orang agamis kayak Vero, Pi. Tapi setahu Juni menunda atau memotong hak anak yatim adalah dosa besar. Dan tanpa sadar kita sudah zalim sama Amelia selama lima tahun."

"Apa maksud kamu Jun?" tanya Diana.

Lelaki berambut cepak itu berdiri dari tempat duduknya.

"Lima tahun, Mami dan Papi bekukan aset Abang. Membuat Yuri berhenti dari pekerjaannya, sehingga Yuri kesulitan mencari nafkah untuk menghidupi cucu Mami. Darah daging Mami. Padahal, Amelia masih bayi loh, Mi."

"Apa Papi sama Mami ingin membunuh Amelia juga?"

Bak tersengat ucapan pedas putra keduanya Diana hanya bisa terdiam. Begitu juga dengan Jonathan yang langsung duduk kembali. Lelaki itu merasa ulu hatinya mual. Seluruh tubuhnya panas menegang.

"Amelia, bayi yang nggak berdosa. Seorang anak yatim piatu yang haknya kita ambil, hanya karena rasa malu."

Diana tidak kuat menahan tangis. Begitu pula Jonathan yang walau terlihat tegar nyatanya ada tetesan air juga di sudut matanya. Lelaki tua itu hanya tertunduk diam.

Tanpa sadar mereka telah mencoba membunuh seorang anak tak berdosa. Jonathan bahkan mengutuk dirinya dalam hati. Betapa teganya dia pada makhluk kecil itu. Darah dagingnya sendiri.

"Nggak ada yang bisa merubah takdir itu, Pi."

Vero melangkah keluar dari ruangan itu, menutup pintu jati tua yang besar dengan ukiran Jepara di belakangnya. Pria itu memijat keningnya dan diam beberapa detik di sana. Saat mendengar suara nyala korek api, lelaki itu menegakkan diri berjalan ke arah benda itu berbunyi.

"Ugh!" Juni mengusap kepalanya yang sakit setelah Vero menjitaknya.

"Apaan, sih lu Ver?" rutuk Juni.

Kedua alis mata Vero berkerut, decihan kasar keluar dari mulutnya, dia menunjuk Juni tapi seakan lupa apa yang hendak dikatakannya Vero tidak jadi berbicara. Sementara sang kakak, malah menatapnya dengan tatapan mengejek.

"Udahlah, Ver. Tapi Papi sama Mami kan jadi setuju."

"Lo punya hutang ama gue,Ver. Ingat itu!"

Ada getar di saku jas yang Juni pakai. Lelaki itu membuka ponselnya, "Ah, Halo Sayang. Iya ... ini aku pulang. Mau tekwan? Iya Daddy belikan, Mommy sabar dulu ya. Oke. Bye Sayang."

"Binik gue telpon, balik dulu ya."

Vero hanya menyunggingkan ujung bibirnya.

"Bisa gawat ini kalau Yuri sampai tahu," gumam Vero. 

Turun Ranjang (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang