part 15

207 18 1
                                    

"Aku mau nikahin Yuri, Jun."

Juni memijat kepalanya yang sedikit pusing. Bulir keringat kecil bermunculan di dahi. Lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu melipat kedua lengan kemejanya. Membuka dua buah kancing atas dan mengipas - ngipaskan majalah tipis dekat wajahnya. Padahal suhu ruangan berada di angka 18 derajat dengan kecepatan angin sedang.

"Ver, kamu nggak bercanda kan?" Juni mencondongkan tubuh menatap lekat pada adiknya.

Dua buah botol air mineral kosong tergeletak di atas meja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua buah botol air mineral kosong tergeletak di atas meja. Tangan besar itu mengambil beberapa buah tisu, menyapukan kertas lembut berwarna putih yang sebelumnya dilipat dua kali itu ke keningnya yang basah dengan keringat.

Vero menatap kakaknya, mengangguk dengan raut wajah yang juga serius.

Juni sangat mengerti sifat adiknya. Vero adalah orang yang sangat bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Sedangkan hal yang tengah dipintanya itu bukan sesuatu hal normal di keluarganya. Perasaan Juni jadi berkecamuk.

"Jun. Aku nggak bercanda, aku suka sama Yuri sejak kita kuliah. Kamu tahu itu."

"Tapi dia istri Abangmu, Ver." Juni mengangkat kedua tangannya.

Vero diam sejenak, mengambil air botol mineral yang ada di atas meja. Meneguknya hingga tandas tak bersisa. Dia pikir berbicara dengan Juni akan memuluskan maksudnya. Tapi ternyata kakaknya punya pikiran lain.

"Jun. Abang sudah wafat. Amelia juga pengen aku jadi bapaknya. Dalam agama kita, hubungan kami juga tidak dilarang. Apa salahnya?" tanya Vero.

"Bukan itu maksudku,Ver

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bukan itu maksudku,Ver. Hukum agama memang membolehkan, tapi jangan lupa. Kita hidup di negara yang punya adat dan budaya, omongan masyarakat juga akan mempengaruhi kredibilitas keluarga kita. Aku nggak masalah Ver, demi Allah. Malah bagus kalau kalian nikah."

"Tapi belum tentu pikiranku sama dengan Mami dan Papi, juga Ameri."

Juni beranjak dari tempat duduknya. Membakar sebatang rokok besar berwarna coklat dengan korek api lalu menghisapnya. Ada asap mengepul dari mulutnya. Suasana ruangan itu terasa menegangkan. Pria tinggi dengan tubuh kekar itu beranjak dari sofa hitam yang didudukinya. Berjalan lurus ke arah jendela membelakangi Vero.

Dari sana, Juni bisa melihat jalanan. Manusia-manusia ibu kota menggunakan kendaraan roda empat yang sekarang terlihat mengantri di tanah aspal berwarna abu-abu itu. Mobil-mobil terlihat kecil dari sini, seperti miniatur berjalan.

"Aku nggak tahu apa yang akan Papi dan Mami pikirkan. Makannya Ver, mengajak dia tinggal di rumahmu saja waktu itu aku nggak setuju."

"Iya Jun, aku salah. Sebenarnya aku ingin menikahinya setelah masa iddah. Tapi, Yuri nggak punya perasaan yang sama ke aku. So, i waited. Kejadian dengan Ameri adalah satu-satunya kesempatan."

Juni menengok ke belakang, kedua matanya menyipit.

"Dasar, reptil cap kaleng soda." Umpatan pedas itu keluar dari mulut Juni.

Lelaki kekar itu kembali berjalan menuju sofa. Menyentil cerutu yang tersisa setengah ke dalam asbak di atas meja, lalu mendaratkan bokongnya di sofa.Telunjuknya menunjuk tepat ke wajah pria di depannya. Jemari panjang yang tengah diselipi cerutu berwarna coklat itu terlihat mengepulkan asap.

"Kamu manipulatif, Ver."

Vero memalingkan wajahnya ke samping tertawa geli sambil menggelengkan kepalanya lalu menatap sang kakak dengan pandangan sulit diartikan. Ada seringai dari bibirnya. Pria itu mendecih, "Aku belajar dari kamu, Bang."

Juni tidak tahu saja jika selama ini dalang dari sulitnya Yuri menemukan pekerjaan adalah Vero sendiri. Dia akan mengontak perusahaan tujuan Yuri dan membuat mereka tidak mau menerimanya sebagai pegawai. Bukan apa-apa, niatnya tulus agar Yuri bisa fokus membersamai Amelia, dan dia lebih dari sanggup memenuhi kebutuhan ibu dan anak itu.

Juni teringat bagaimana cara dia mendapatkan Viola. Menggunakan kelemahan Viola saat membutuhkan uang bagi ibunya yang sakit. Juni menjebak Viola, sehingga perempuan malang itu harus mau menikahinya, agar ibunya bisa dioperasi.

Hanya Vero yang mengetahui itu.

"Ngomongin soal dosa, aku ini bukan orang bener. Tapi kamu Ver, diantara kita bertiga putra Elderenbosch. Kamu yang paling paham agama. Harusnya kamu sadar tinggal seatap dengan yang bukan muh- apa itu namanya?"

"Mahram, Jun. Mahram." Sahut Vero.

"Nah Mahram,"

"Itukan sudah dosa,Ver."

Vero menempelkan kedua siku ke paha, menjambak sedikit rambut hitam bergelombangnya. Pria itu menarik nafas panjang.

"Iya, Dosa. Aku salah, Jun."

Ada tawa renyah menggema, diiringi gumpalan tisu yang beterbangan kesana kemari, hingga salah satunya tepat mengenai kepala Vero. Pria berambut hitam itu menegakkan tubuhnya menoleh pada sang kakak.

"Sudah sejauh mana kamu, sama dia?" tatapan mata Juni menelisik, seperti seorang detektif yang mencoba menginterogasi tersangka.

"Gila, aku nggak ngapa-ngapain. Sumpah!"

Juni memicingkan kedua matanya dengan jahil. Tidak mempercayai kata-kata sang adik. Bagi Juni, jaman sekarang ini berbuat hal seperti itu sudah biasa.

"Aku cuma peluk sama cium pipi dan kening aja!" pungkas Vero tak terima dituduh yang tidak-tidak oleh kakaknya.

Mendengar pengakuan Vero, Juni melempar bantal sofa tepat ke wajah adiknya.

"Dasar, reptil. Lebih lama Yuri disitu bisa bahaya!"

"Makannya, bantuin aku dong. Biar segera nikahi dia, please. Bantu aku yakinin Papi sama Mami," mohon Vero.

Seketika ruangan itu berubah hening, tak ada suara yang keluar dari bibir kedua pria itu. hanya suara bising klakson mobil dari jalanan yang terdengar. Ruangan ini terletak di lantai 22 gedung perusahaan Juni.

"Argh!" Juni menjambak rambut cepaknya yang hanya punya panjang lima senti itu. Dia pusing, bagaimana cara menyampaikan ini kepada keluarganya nanti? Vero yang punya keinginan dia yang repot.

Juni berjalan keluar dari ruangan itu tanpa berkata apapun. Vero ikut berdiri, ekspresi kakaknya itu memang sulit ditebak.

"You owe me two week vacation at Nihiwatu for my baby moon, Ver!" teriak Juni sambil berlalu.

Itu adalah kalimat persetujuan dari Juni. Vero mengepalkan tangan sambil berseru, "Yes!"

"Jangankan cuma vacation di Nihiwatu Jun, Resortnya aja gue beli buat lu!" 

Turun Ranjang (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang